Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Di Tepi Lapangan

  • Kamis, 29 September 2011
  • rani nuralam
  • Label: ,
  •      Berpostur atletis dan berkostum menantang seperti Si Cantik Venus William jadi modal tersendiri dalam bertanding. Tapi ini pertandingan serius. Bukan waktunya pasang senyum manis atau adu mode. Di sini tidak bisa pasang akrobatik kocak macam Eddy Hartono mengembalikan bola dari selangkangannya dalam pertandingan ganda putra bulu tangkis di tahun 90an. Yang harus dilakukan adalah mengintimidasi lawan dengan memasang wajah garang dan menggeram - geram ala Monica Seles.

         Tapi game pertama berlalu dengan kemenangan lawan sehingga ketika giliran pegang service, emosiku sudah menumpuk. Bola dilempar tinggi satu derajat ke langit. Gravitasi membawanya turun dan tepat berada dalam jarak pukul. Raket mengayun. Menghantam bola dengan keras seolah seluruh energi menjalar ke setiap helai senar raket, melesatkan bola ke seberang jaring dengan sangat cepat hingga lawan kehilangan fokus ke arah mana bola akan datang. ACE! 

         Dan wasit berteriak lantang, "FIFTEEN - LOVE!" Nilai pertama. Mataku berbinar. Memang bola cantik. Aku berbisik.

         Dan kau! Nah coba! Bagaimana rasamu mendapat love setelah disergap ace? Ledekku dalam hati. Dalam pertandingan tenis lapangan, Love berarti  zero. N-O-L!  Eufimisme dalam tenis. Aku meringis. Tapi aku tahu, kata sehalus itu bukan untuk menyejukkan hati, dan aku tahu saat ini di seberang sana dia sedang meningkatkan status waspada jadi awas. Mengantisipasi pengembalian bolaku.  Baik. Ayo, kita coba yang ini! Karena dadaku sudah mendidih kalah di game pertama.

         Segala rasa membanjiriku dalam permainan. Bola - bola kuhajar sekuatnya dengan harapan lawan mati kutu. Memang benar lawan mati kutu jadi aku dapat nilai. Tapi tak jarang bola membentur net atau jatuh jauh dari garis masuk. Kalau sudah begitu aku cuma bisa mengumpat dalam hati. Pertandingan jadi panjang dan alot. Kami sama - sama tak mau menyerah. Kami sama - sama berniat merebut gelar sang juara. Di game kedua, skor kami jadi satu sama.

         Game ketiga jadi penentuan. Pertambahan nilai berkumandang nyaring. Terkadang terdengar memekakkan telinga, kali lain menjengkelkan hati. Mau rasanya membanting raket niru - niru John McEnroe waktu masih berlaga di turnamen tenis internasional. Bisa juga kuledakkan dendam kesumat ini dengan menembak telak tubuh lawan dengan bola (atau dengan shuttlekok seperti dalam bulu tangkis). Mempermalukan lawan sedemikian rupa karena gagal mengejar nilai.

         Siapa yang tak tahu kalau pemain handal dan raketnya seolah bermutasi? Pemain dapat memutar - mutar posisi grip raket sesuai kehendaknya. Melempar bola ke tubuh lawan merupakan cara halus memukul lawan untuk melampiaskan kekesalan. Isyarat tangan minta maaf pada lawan sesudah itu sudah pasti tidak tulus. Itu cuma cara diplomatis mengelabui penonton. Buat pemain bau kencur, mereka masih bisa berkilah sesuatu tentang ketidaksengajaan atau bahwa itu hanyalah kecelakaan.

        Terbesit keinginan main mata sama wasit, tapi jelas tidak bisa. Wasit kami tidak peduli siapa pun di antara kami yang menang atau kalah. Dia tidak berniat mencurangi salah satu di antara kami. Kami ini berteman, dan dia mengira ini cuma latihan main - main. Dia sedang menikmati duduk di kursi yang lebih tinggi dan membentakkan angka - angka. Tapi memang, apa enaknya main curang? Merendahkan diri begitu, tidak sehat dan tidak sportif. Sangat kekanak - kanakan, dan kekonyolan itu sebaiknya dalam filem Stephen Chow saja.

         Kuputar otak cari jalan menambah angka. Kombinasi pukulan slice, backhand, ace dan seterusnya jadi andalan mengumpulkan angka. Namun, tidak ada service maut berujung ace seperti itu lagi.  Pil pahit harus ditelan bulat - bulat bila bertanding pakai emosi, begitu para pelatih kerap berpesan. Ironisnya pidato penting itu kerap tidak diindahkan oleh murid - muridnya yang angkuh.
         Usai pertandingan itu ia duduk di sisiku di bangku kayu itu. Memancingku dalam percakapan ringan. Ball boy sudah raib sehabis beres mengumpulkan bola - bola yang tercecer dan menerima tips. Wasit kami tengah salin di kamar mandi. Aku lebih tertarik melihat lapangan kami yang telah kosong, dan menikmati kenangan jabat tangan barusan setelah wasit memaklumatkan si pemenang. Kusuguhkan jawaban pendek - pendek buatnya. Aku tak peduli reaksinya. Itu lebih baik ketimbang mengambil resiko menangkap kepalsuan dalam matanya atau mendengar nyanyiannya yang berkepanjangan. Kami masih akan bertemu lagi minggu depan, di sebuah pertandingan lain dan seperti biasa berselubung spanduk pengumuman : "pertandingan persahabatan".

       Aku kebas dan siap menggilasnya kapan saja jika mau.

       Aku berdiam diri barang sebentar. Ada deru angin menyapu lapangan kami. Kuhabiskan sunquick dan air putihku. Pulang memang tanpa trofi, tapi air yang menyegarkan itu dan akhir pertandingan telah jadi obat penawar dahaga. 

         Langit jingga lalu berubah merah, dan pada akhirnya kelam total. Pada saat itu aku sudah di rumah. Membiarkan sepasang sepatu kets dan kaos kaki tergolek di depan pintu masuk. Mencemplungkan handuk dan baju kotor ke mesin pencuci. Mengantung raket di cantelan paku. Agak malaman, dalam tidur, aku mimpi tengah berguru pada Yayuk Basuki .

    Waktu Bahagia

  • Kamis, 22 September 2011
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • adalah

    waktu bersenang – senang di dapur tanpa harus mencuci piring


    waktu nasi bakar, kaki naga, kuku macan, kapal selam, sarang semut, telur gabus, terang bulan, putri ayu, kembang goyang, pacar cina, sup biduk sungai musi, cuma perlu seiris, secuil, sepotong, semangkuk, atau sebuah

    waktu seluruh racun mengalir deras melalui pori – pori kulit, menetes satu – satu dari kening dan akhirnya membasahi  tubuh dalam udara pagi yang sejuk, teduh, dan lengang

    waktu meliuk dalam nada yang mengalun di udara

    waktu intuisi atau firasat buruk ternyata salah sama sekali , dan akting berlaku untuk panggung yang sesungguhnya saja

    waktu hati telah rapi dan hijau seperti lapangan tenis Wimbledon, namun berjuta kali lebih lapang sehingga tak ada lagi api yang berkobar karena telah padam


    waktu hadiahNya turun sebagai anugrah batin yang tak terperikan


    waktu kalimat - kalimat kauliyah dalam Al Quran cuma perlu dilantunkan pelan – pelan dan ekslusif


    waktu rumah masih jadi tempat nyaman kedua setelah mesjid atau mushola; dan pantai demikian pula gunung 

    waktu tangan kanan disembunyikan dari tangan kiri, dan mereka tersenyum

    waktu tangan kami bersentuhan dan ia menggandeng lembut

    waktu kulahirkan anak – anak kami, dan mereka jadi penyejuk hati kami dan orang di sekeliling mereka

    Ah, seandainya jadwal waktu bahagia terpampang jelas di papan pengumuman jadi aku tahu pukul berapa mereka datang; jadi bisa kusambut dengan perayaan. Apa dayaku bila waktu bahagia yang telah direncanakan sendiri tahunya gagal? Mungkin tertunda. Tapi waktu itu selalu ada. Sampai takkan sanggup kususun daftar kenikmatanNya karena kemunculannya kadangkala cuma melalui bayi – bayi yang mungil itu, yang melompat ke pangkuan, datang mendekap, menciumku, sambil berkata, “Aku sayang padamu, Bibi.”

    ....

    rani nuralam, 2011

    Bolehkah Aku?

  • Minggu, 11 September 2011
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Duh, Gusti! Masih tahu aku tentang rasa malu. Tapi mulutku terus menganga dan aroma alkohol menguar tajam dari mulut. Kata - kata yang menyembur tiada terkira : acak - acakan, tidak senonoh, penuh air liur. Bauku tengik. Dakiku pun menghitam. Baju 20 hari ini tak dibilas kalau tak kena hujan. Kumal, dekil dan semakin lusuh setiap hari. Sebentar lagi compang - camping dan bakal mengumbarkan auratku ke mana - mana.

    Setiap hari aku tenang berdiam diri di trotoar berdebu itu. Kalau bosan, geser selangkah. Kalau diberi nasi bungkus, bisalah pindah ke ujung jalan. Tapi aku selalu kembali ke situ. Kakiku tebal karena lumpur. Nggak apa - apa sih, enak juga nyeker.

    Tak ada lagi yang berani menyentuhku. Orang Depsos malah tak satu pun menunjukkan batang hidung mereka. Siapa pun takut kena jotos tinjuku ini. Dikiranya aku orang sinting nyasar. Biar saja! Memang sudah hilang akalku ini. Tidak ada yang ngaku teman. Bahkan Tomi menghilang. Hubungan kami pernah sangat erat,  sampai akhirnya aku bokek dan ia tak lagi datang menghibur. Saat aku bersahabat dengan rasa sepi, yang ada hanyalah kehampaan. Hampa! Ya Tuhanku, hampa! Aku jadi gambar ironi ketika teronggok di bawah sorot lampu jalan. Tapi, apa peduliku! Itu dulu. Sepertinya rohku sudah menghilang. Lesap di suatu malam tersedot sinar lampu jalan

    Eh, tahunya aku ketemu orang gila lain yang menyodoriku Jack Daniels! Aku bersorak sorai. Barang mahal nih! Tak ada Tomi, Jack Daniels pun jadi! Setelah mencecap beberapa tetes, pikiranku mendadak terang. Teringat gambar kenikmatan duniawi, dan karenanya hidupku pun kembali gembira. Tapi jadi kusadari betapa tidak keruannya tubuhku. Memalukan! Semua harus ditata dari awal. Begini, ... .

    Iya, pertama aku mau mandi dulu! Gosok gigi yang lama dan mandi pakai sabun bintang filem kenamaan. (Aku bisa membayangkan air yang membasuh tubuhku yang sudah digosok berubah coklat.) Lalu, dikeringkan dengan handuk lembut punya biniku. Setelah itu akan kukenakan baju koko warna putih, dan sarung biru motif kotak - kotak, serta kopiah. Bila persediaan parfum masih ada, tentu akan kupergunakan. Dengan sekali semprot tubuhku wangi ke mana - mana. Setelah bersih aku akan bernyali menghadap Tuhan di rumahNya dan mengajukan permohonan. Begitulah. Semua harus dipersiapkan dengan baik sebab minggu depan sudah lebaran. Di hari yang suci itu aku akan berangkat ke lapangan buat Shalat Ied berjamaah.  Semua bergembira merayakan kemenangan. Oh, betapa indahnya! pikirku.

    Tapi aku terkikik. Kuteguk minuman surga itu lagi. Glek! Glek! Glek! Hiks! ... Huh, menggelikan! gusarku.

    Aku merasa merana seketika, seolah seseorang yang kusayang mati disambar geledek di depan mukaku. Aku 'kan tak bisa punya keinginan itu! Sudah terlalu lama aku menggembel. Aku hanya bernyali menatap tanah tempatku berpijak; dan bahkan tak berkuasa memerintah saraf dan perbuatanku sendiri agar selaras. Aku telah ditendang keluar dari rumah yang dulu kutempati. Kini aku tak punya tempat kembali, walaupun ingin. Duh, Gusti kalau saja aku bisa bertutur baik layaknya orang berbudaya, aku cuma ingin bilang kalau aku ingin sekali pulang dan tidur dengan nyenyak.

    Pada Suatu Ketika

  • Minggu, 04 September 2011
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Wong takon
    Wong sing tur kang angkoro
    Antarane riko aku iki

    Sumebar ron ronane koro
    Janji sabar
    Sabar sak wetoro wektu

    Kala mangsane
    Titi kolo mongso

    Pamudjiku ti biso
    Sinutra korban jiwanggo
    Pamungkase kang tur angkoro
    Titi kolo mongso


    Sujiwo Tejo, 2002
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint