Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Epilog 2012

  • Senin, 24 Desember 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Tahun masehi 2012 hampir habis. Banyak yang berubah meskipun tak semua orang bisa melihat secara kasat mata. Sudah setahun saya meninggalkan banyak hal. Saya mungkin orang yang keterlaluan karena pergi tanpa pamit. Menutup pintu - pintu, dan menjadikan satu - satunya rumah maya ini sebagai rumah yang  pintunya senantiasa terbuka untuk siapapun. Sebenarnya masih ada yang dirindukan. Beberapa memang masih berharga untuk dikenang. Apalagi karena teman lama dan jauh datang berkunjung. Saya suka sekali. Semoga Anda baik - baik juga di seberang sana. Tetapi, saya masih ingin menempuh jalan ini.

    Begitulah. Kemudian dalam perjalanan ini ada yang menjadi warna baru. Fluktuasi kehidupan pun adalah keniscayaan. Ibarat krayon sekarang saya memiliki yang 24 warna. Saya terus belajar menggambar. Sebagian dengan goresan warna dasar. Tumpukan buku yang kian menggunung jadi hutang membaca.  Apa boleh buat, slowly but surely make it done; make it happen.

    :)

    Anak–anak masih jadi sekian persen bagian yang mendominasi hidup saya. Tahun ini tiba–tiba saya jadi ibu beranak banyak. Anak–anak sudah semakin bertambah besar dengan bermacam polahnya. Di antaranya tentang putri kembar saya yang cantik - cantik, tetapi centil. Mereka bikin saya pusing dan gregetan.

    November yang telah saya mendapat hadiah batu berbentuk hati dari Jejes (8). Selagi berlatih kungfu, anak itu melihat benda itu teronggok di lapangan. Batu itu berdiameter 1,5 cm. Bisa dibuat bandulan kalung. Pulangnya ia langsung mencari saya yang sedang bereksperimen bikin puff stick di dapur dan bilang, “Buat Tante”.   Dalam beberapa malam pertama, terkadang saya pandangi  hadiah itu. Aneh juga bentuknya bisa seperti itu,  dan aneh pula mata Jejes bisa setajam itu menemukan batu hati  untuk saya.

    Sementara itu, dalam waktu dan tempat yang berbeda My Little Kijang (5) tahu–tahu muncul dan menyempil di antara saya yang sedang membaca dan Jejes yang sudah pulas. Meskipun saya pura–pura membaca dan membiarkannya berceloteh sendiri, sebenarnya saya senang sekali ia menginap. Karena sebelumnya saya sempat berharap  ia bermalam di rumah. Lalu, saya ceritakan hal ini pada ayahnya, dan komentarnya, “bahasa batin.”  Keren sekali.  Seperti ada magnet di antara kami, dan My Little Kijang langsung menjawab “panggilan” saya. Menakjubkan sekali memang, bila kejadian serupa terulang beberapa kali dengan orang yang berbeda, orang–orang yang secara terpendam ingin saya temui dan muncul beberapa saat kemudian. Andai saya Power Puff Girl, saya benar–benar ingin punya kekuatan yang lebih besar dan  “memanggil” orang yang ingin saya lihat dan bersamanya. 

    :)

    Saya bukan orang yang insensitif. Banyak saudara saya yang sulit tinggal di rumah mereka sendiri, terusir dari rumah yang merupakan haknya, atau berjuang mempertahankan keutuhan rumahnya. Maksud saya tentang saudara  - saudara yang tinggal di sekitar kita maupun yang berada di seberang samudera, seberang benua. Sangat memilukan melihat itu dan tak bisa berbuat banyak. Jadi saya berusaha menahan diri agar tidak lagi euforia. Apalagi seolah–olah memiliki kehidupan paling bergelimang kebahagiaan.

    Tidak perlu pula  “mencuri” kebahagiaan orang lain. Pemandangan kehidupan orang lain yang ditampakkan itu bukan kehidupanmu. Tiap orang memiliki kehidupan istimewa yang hanya dia sendiri yang bisa merasakannya.  Seperti dialog dalam You’ve Got Mail : “I live my life simple and worthy,” maka demikianlah keadaan saya saat ini.

    Tahun ini masih ada harapan yang belum tercapai. Tetapi saya yakin ada waktunya ketika keinginan itu terkabul.  Insya Allah.  Karena beberapa niat atau titik tolak sudah terwujud/dimulai pada waktu yang istimewa :1 Muharam 1433 H, 12 Rabiul Awal 1433 H, 1 Ramadhan 1433 H, 23–11–11, 10–11–12. Tentang hal–hal itu, jatuh waktunya pun tanpa direncanakan. Seringkali saya tercenung karena baru menyadari belakangan. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.

    Dengan segala kerendahan hati kumuliakan diriMu. Hanya Engkau yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, maka kumohon muliakanlah dia, dia, dan dia pula. Semoga hari esok tetap menjadi hari penuh pengampunan dan berkah; bermanfaat lebih banyak buat orang lain, dicintai lebih besar oleh yang dicinta; mendapat cinta dan kecintaan baru segudang, berlabuh dan melahirkan anak - anak kami yang tampan - tampan, cantik - cantik, dan sehat - sehat, dan mereka bernama hafidz dan hafidzah, serta sejahtera, juga sehat wal afiat. Ya Rabbi, saya kalau sudah bicara seperti ini memang terlihat tua, maka dari itu saya memohon padaMu pula agar diberi kemudaan sehinggga senantiasa bercahaya dan caiyo, termasuk dikabulkan permintaan yang off the record itu ya, Ya Allah! Amin YRA. (*)

    Lorong

  • Senin, 17 Desember 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Pernahkah kamu berangkat ke arah gelap?
    Tempat segala yang bernama lelah hinggap?

    Berdiri saja dengan tenang
    Aku akan mengajakmu menyentuhi lorong-lorong yang tak kaukenal, cuma dengan matamu
    Dengan hatimu. Dengan napasmu yang tenang dan kauatur tarikan dan hembusannya
    satu demi satu
    Dengan degup jantungmu yang ritmik, dan sedikit kaubesarkan suaranya
    Kaudengarkan suaranya
    Kaubesarkan suaranya
    Dan kaudengarkan suaranya

    Berdiri saja dengan tenang
    Pada sebuah hutan yang gelisah
    Bebauan daun-daunnya merambati wajahmu dengan jelas
    Menebarkan aroma sejuk yang mengaliri bagian dalam lehermu,
    paru-parumu,
    bahumu,
    kedua tangan dan telapak tanganmu,
    perutmu,
    menjalari betis hingga setiap sisi telapak kakimu
    dan sekujur tubuhmu yang tetap berdiri tenang
    dalam bayang-bayang

    Tak sedikit pun kau rela beranjak
    Karena kau semakin ingin memahaminya dengan menutup matamu rapat-rapat
    Sehingga keindahan ini semakin sedemikian jelas kaulihat
    dengan tarikan napasmu
    dan degup jantungmu

    Berdirilah dengan tenang, dan beri dunia yang kaukenal ini warna
    Beri ia suara, seperti desau angin atau bunyi-bunyi malam yang hening
    Semakin membuat kelopak matamu terkunci rapat, dan sedikit bergerak.
    (Biarkan saja dan tetap berdirilah di sana, dengan tenang)

    Lihatlah.
    Persis di depanmu ada lorong yang gelap,
    Lorong di antara bongkahan batu cadas yang keras
    Batu dengan lumut hutan perawan yang basah
    Di mana aku ingin mengajakmu ke sana

    Melangkahlah dengan pelan, masuki keheningannya dengan sabar.
    Dan sedikit demi sedikit kautinggalkan cahaya hutan yang remang.

    Pandanganmu mulai mengabur, sedikit masih seperti ada saputan putih yang pudar,
    lalu gelap dan sunyi.
    Sunyi dan gelap.
    Sesunyi desau dedaunan yang semakin jauh.

    Kamu hanya bisa melihat dengan kaki yang telanjang
    Merambati tanah dengan sedemikian hati-hati.
    Tanah yang lembut dan basah, pada lorong yang semakin jauh.
    Dan gelap semakin ada pada di antara dua kelopak matamu
    Lalu kedua kelopak matamu semakin berat menekan ke bawah,
    dan kau pun tenggelam dalam ketenangan

    Kini, aku ingin mengajakmu berjalan pada sepuluh langkah yang kaukenal.
    Dan pada langkah kesepuluh, kau akan menuju cahaya di sebuah mulut lorong.

    Langkah satu, berjalanlah dengan senyap.
    Langkah dua dan tiga, matamu mengenali warna lorong yang gelap.
    Kakimu menyentuhi detail tanah lembut yang basah

    Langkah empat, kau semakin jauh, dan matamu seribu kali lebih teduh
    Langkah lima, enam, tujuh, kau meneliti tarikan dan hembusan napasmu yang tenang
    Degup jantung pun ritmik terdengar dengan gerak yang teratur
    Langkah delapan kau mulai melihat satu titik cahaya di depan, dan napasmu semakin tenang
    Langkah sembilan, kau semakin mendekati cahaya yang kian membesar, membentuk spektrum yang memasuki lorong di mana kau berada.

    Matamu mulai mengenal dinding sekelilingnya. Kau memberi warna, kau memberi rasa, dan kau mulai memahami, bahwa saat ini kau semakin mendekati mulut lorong itu.

    Langkah sepuluh, kau kini persis berada di mulut lorong yang terang.
    Di luar, cahaya kabut hutan yang damai, menenggelamkanmu dalam kesempurnaan hidup.
    Kau hirup energinya, memasuki sel-sel tubuhmu, menebarkan kesehatan yang merambat dari kepala, wajah, leher, dada, tangan, perut, betis dan telapak kakimu.

    Dan bersamaan dengan itu, kamu memandang hidup dengan semangat kebahagiaan yang sempurna
    Hidup adalah cahaya kabut yang damai, adalah detak jantung yang sehat dan teratur, adalah tarikan napas yang segar dan lepas, adalah masa depan yang cerah
    adalah tubuh yang sehat
    adalah impian indah yang menjadi ada

    Hiruplah cahaya kabut itu, dan kau menghirup semangat hidup yang menjalari setiap jalur napasmu.
    Lalu diam. Dan nikmati saja ekstase diri, dalam senyap yang membuatmu malas untuk bergerak
    Malas bergerak, dalam sunyi dan senyap.
    Dalam tidur yang lelap

    (Lalu pada tiga puluh detak jantungmu sejak ini waktu, kau pun terjaga pelan.
    Pada tiga puluh detak jantungmu sejak ini waktu, kau terbangun dengan tenang.
    Maka berhitunglah hingga tiga puluh detak jantungmu, sejak ini waktu...)


    Asep Herna, 17 November 2011

    Pulang Kampung 1

  • Senin, 03 Desember 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Jalan – jalan Keliling Ambarawa, Jawa Tengah













    Enaknya yang punya kampung, apalagi ke sebuah kampung indah yang ada di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah hmmm bikin iri. Melongok ke selokan saja rasanya maknyes. Got di sana adalah kali kecil berair jernih. Tanpa jentik nyamuk, kecuali ikan cere, udang, kepiting, dan ular kadut. Hawanya sejuk. Rumah keluarga besar itu merupakan bangunan tua dengan beberapa kali renovasi. Tampilannya sudah seperti kebanyakan rumah di Jakarta. Di ruang tengah berdiri gebyok jati abad 19, beberapa pintu berpalang kayu dan pawon yang bertungku kayu. Ada amben. Rumah sudah berlantai tegel dan keramik, penerangan bukan lagi sentir atau petromaks, dan pewaris rumah hanya pakai kain dan kebaya saat ada hajatan penting. Suguhan makan besarnya - salah satunya - adalah ikan nila goreng. Ikan nila dari kolam sendiri. Lalu, disantap sebagai teman makan nasi. Eh, jangan membayangkan nasi itu disuguhkan dalam sangku anyaman bambu ya? Tapi kami menciduknya langsung dari magicjar! Saat bersantap kenikmatannya lebih dari lumayan. Slurp. Menginap di sana seakan tinggal di sebuah vila di kawasan wisata Puncak.

    BENDUNGAN GRUNGGUNGAN
    Sebagai pemanasan sebelum ke tujuan wisata, kali kecil yang bersisian dengan sawah dekat rumah kami menginap kami sisiri. Gemericik air memang instrumental musik paling yahud, sementara pemandangan hamparan padi ibarat permadani penyejuk mata. Tujuan perjalanan adalah Bendungan Grunggungan yang didirikan tahun 1989, yang dengan berjalan kaki perlu sekitar tiga puluh menit yang terasa singkat. Di sana tak ada pengunjung lain, tak ada atraksi pertunjukan apapun atau pun pedagang suvenir. Yang ada cuma bendungan, desau pohon bambu dan kotekan kami karena tempat itu tidak dimaksudkan sebagai tempat tujuan wisata oleh pemerintah setempat. Sampai di sana ya cuma duduk beristirahat dan menikmati alam.


    RAWA PENING
    Desa kami berada di atas bukit, dan dari tempat kaki berpijak tampak Rawa Pening. Kata ‘pening’ berasal dari "bening". Rawa itu adalah sebuah danau sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas 2.670 HA, tempat ini menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. 

    Dengan berojeg ria dari Desa Kayuwangi, tempat kami menginap itu ke Rawa Pening perlu 15 menitan dengan ongkos sepuluh ribu perak. Kalau santai, tinggal jalan kaki turun ke kaki bukit sambil menikmati pemandangannya yang ciamik. Lalu, naik (the one and only) angkot yang biasa beroperasi, dan cukup bilang pada kenek atau supir dengan tata krama ketimuran, “Ke Rawa Pening, Mas!” maka Anda akan diantar sampai depan gerbang.

    Tentang Rawa Pening, ada sebuah cerita fantastis yang pernah dituturkan seorang tetua di sana bertahun – tahun yang lalu. Konon di dalam Rawa Pening itu hiduplah seekor ular sebesar pohon kelapa! Hiiii … Ya ya ya, memang bikin bergidik. Makanya ketika bertandang ke tempat itu, imajinasi saya sudah kemana – mana, membayangkan ada mahluk itu dibalik eceng gondok yang menutupi danau itu. Padahal tempat itu sangat indah, cahaya matahari pagi memang bikin efek kehangatan dramatis. Di lokasi yang sama terdapat area wisata, Bukit Cinta, nama yang provokatif. Patung naga melengkapi keunikan tempat itu seolah – olah menegaskan tentang legenda Rawa Pening itu.

    Asal Usul Rawa Pening
    Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri. Penduduk desa tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami, namun ia hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.

    Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah? Siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomoyo. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.


    Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.

    Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta.

    Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!” Nenek menuruti saran anak itu.

    Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta. Ia coba ikut dan meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu, bahkan ia ditendang agar  ergi dari tempat pesta. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam, kecuali janda tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa menjadi rawa-rawa, karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening” yang berada di kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Harga Tiket pada hari biasa: Rp 3.000, hari libur dan tanggal merah: Rp 3.500, tarif Kapal: Rp 30.000 / 30 menit maksimal 8 orang.


    CANDI GEDONG SONGO
    Kalau sudah di kampung, Candi Gedong Songo selalu terangan – angan kembali. Terakhir ke sana tiga puluh tahun yang lalu. Kesadaran tentang sejarah ketika masih di bangku SD dan masa dewasa jelas berbeda. Candi ini termasuk salah satu peninggalan budaya Hindu dari zaman Syainlendra pada abad IX (tahun 927M). Lokasinya berada di desa Candi Kecamatan Ambarawa di lereng Gunung Ungaran. Jarak Gedong Songo - Kota Ambarawa 14 km, dan Gedong Songo - Kota Semarang 39 km . 

    Dalam http://www.indahnesia.info/2010/06/pagi-hari-di-kompleks-candi-gedong.html dikatakan, gedong dalam bahasa Jawa artinya bangunan, songo artinya sembilan. Secara harafiah, Gedong Songo artinya sembilan bangunan. Namun, pada kenyataannya, jumlah candi yang terdapat di kompleks ini resminya hanya lima (beberapa referensi menyebutkan enam). Lalu, mengapa disebut Gedong Songo? 

    Kompleks candi yang berdiri sekitar abad 8-9 M ini ditemukan oleh penjajah Belanda pada abad ke-18. Waktu itu, mereka mencatat ada sembilan buah bangunan candi di dalam kompleks ini. Inventarisasi berikutnya yang dilakukan sekitar abad ke-19 awal, entah mereka mencatat dengan baik atau tidak, sempat tercatat hanya tujuh bangunan yang tampak hingga pernah disebut Gedong Pitoe oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Tampaknya fenomena ini bukanlah sesuatu hal yang mistis. Penginventarisasian pada jaman dahulu yang agak semrawut mungkin menjadi penyebabnya. Barulah pada awal abad ke-20, bangunan-bangunan dalam kompleks candi ini secara resmi diketahui hanya ada lima buah saja, hingga sekarang (sekali lagi, beberapa referensi menyebutkan enam kompleks candi). 

    Posisi lokasi candi berjauhan bisa bikin lelah, tetapi jasa penyewaan kuda sebagai transportasi sudah disiapkan untuk disewa. Jadi tidak perlu khawatir, pengunjung bisa menyewa kuda-kuda itu. Gedong Songo ini buka mulai pukul 06.30 - 17.00. Sepotong tiket masuk harganya Rp. 5.000. 


    PALAGAN AMBARAWA
    Di sini pengunjung bisa lihat sepenggal peninggalan perjuangan tentara Indonesia melawan kompeni. Lokasinya berada di pusat kota Ambarawa. Jarak Palagan - Kota Ungaran 15 km, Palagan - Kota Semarang 35 km.

    Museum Isdiman (Monumen Palagan Ambarawa) didirikan pada 15 Desember 1973 dan diresmikan pada 15 Desember 1974 oleh Presiden RI ke-2 yakni Presiden Soeharto. Museum Isdiman didirikan untuk mengenang pertempuran yang terjadi di Ambarawa melawan sekutu. Di mana pada peristiwa yang heroik tersebut gugur Let.Kol Isdiman yang diberondong oleh sekutu pada saat timbang terima jabatan di SD Tempuran (Jambu) tak jauh dari kota Ambarawa. Jalannya pertempuran dipimpin langsung oleh Kol. Sudirman dengan siasat Supit Urang mulai tanggal 20 November 1945 – 15 Desember 1945. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1945 dijadikan hari Infanteri. Monumen ini sendiri didirikan pertama kali tanggal 15 Desember 1973 (peletakan batu pertama). Jumlah koleksi yang ada di museum ini adalah pakaian sejumlah 5 set, senjata 25 jenis, lukisan-lukisan dan maket teknik supit urang, 1 pesawat, 1 kereta, 1 tank, 2 truk, dan meriam. Sementara koleksi utama dari museum ini berupa senjata dan pakaian yang digunakan dalam pertempuran di Palangan Ambarawa.

    Buka setiap hari Pukul 08.00 – 16.00. Biaya tiket masuk pada hari biasa Rp 4.000, hari Minggu/besar Rp 5.000.




    MUSEUM KERETA API
    Lokasi di kota Ambarawa. Berdekatan dengan Palagan Ambarawa. Jarak Museum Kereta api - Kota Ungaran 15 km, Palagan - Kota Semarang 35 km. 

    Kota Ambarawa di Jawa Tengah merupakan kota tua yang pada jaman kolonial Belanda merupakan daerah militer. Menjelang akhir abad ke-19 Raja Belanda ketika itu, Willem I, ingin mendirikan stasiun kereta api di kota itu guna memudahkan mengangkut pasukannya menuju Semarang. Maka, pada, 21 Mei 1873 dibangunlah Stasiun Kereta Api Ambarawa di atas tanah seluas 127.500 meter persegi. Stasiun itu kemudian dikenal dengan sebutan Stasiun Willem I.

    Pada 1970an, kegiatan di stasiun itu mulai ditutup. Mula-mula yang dihentikan pengoperasiannya adalah jalur Ambarawa - Kedungjati - Semarang. Pada 1976, layanan untuk lintas Ambarawa - Secang - Magelang, serta Ambarawa - Parakan - Temanggung juga ditutup.

    Setelah penutupan kegiatan itu, Stasiun Kereta Api Ambarawa dijadikan Museum Kereta Api. Peresmian museum dilaksanakan pada 8 April 1976 oleh Gubernur Jawa Tengah kala itu Supardjo Rustam bersama Kepala PJKA Eksploitasi, Soeharso. Sebanyak 21 lokomotif kuno yang menggunakan bahan bakar kayu yang pernah digunakan dalam pertempuran, khususnya kereta yang mengangkut tentara Indonesia dalam perang menghadapi tentara Belanda, diabadikan di sana.

    Museum Kereta Api Ambarawa merupakan satu-satunya museum kereta api berteknologi kuno yang digunakan sebagai alat transportasi sejak masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia sampai dengan tahun 1964. Lokomotif yang ada di museum itu merupakan penarik gerbong yang digerakkan dengan bahan bakar kayu dan batu bara. Tiga lokomotif di antaranya masih dapat beroperasi dengan baik.Di museum itu juga terdapat tiga mesin hitung, tiga mesin ketik, beberapa pesawat telepon dan peralatan kuno lainnya yang dulu digunakan di stasiun tersebut.

    Wisatawan yang datang ke museum itu akan disuguhi pemandangan alam yang indah, bangunan dengan arsitek kuno, dan lokomotif dengan menggunakan bahan bakar kayu dan batu bara. Pengunjung juga masih bisa menikmati perjalanan dengan kereta api kuno tersebut.

    Stasiun Ambarawa memiliki lokomotif tua yang masih sanggup digunakan untuk mendaki jalur pegunungan dengan roda bergigi. Kereta bergerigi itu masih mampu berjalan pada kemiringan 30 derajat menuju stasiun Bedono yang berjarak sembilan kilo meter dengan waktu tempuh satu jam dengan penumpang 80 orang. Untuk menikmati perjalanan wisata menggunakan kereta api uap bergerigi buatan Jerman tahun 1902 dan dua gerbong buatan Belanda tahun 1911, wisatawan dikenakan tarif dua juta rupiah untuk sekali jalan, namun mampu mengangkut puluhan orang. Tiket masuk museum seharga Rp. 3.000 untuk orang dewasa dan Rp. 2.000 untuk anak – anak.


    KOLAM PEMANDIAN MUNCUL
    Tempat ini ada di kaki bukit tempat kami menginap. Di sisi bukit yang lain. Terkenal sebagai kolam renang umum yang airnya jernih dan sangat dingin. Lokasinya berada di Desa Rowo Boni, Kecamatan Banyubiru.  Jarak dari Ambarawa - Pemandian Muncul adalah delapan kilometer. (*)


    Referensi :

    Sabit Merah

  • Senin, 05 November 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Dua pasang mata dalam gelap, membunuh hati dan rasa
          - Kini hanya sebagian dari kita yang masih ada, tidak lagi bulat.
            itu keindahan seperti sabit di malam hitam
          - Ya .. alam kita hitam
            Bukan, alam kita terang, merah menerawang
          - Ya .. sabit kita merah, karena hadir di darah – darah kita

    Paginya dua mayat tidur dengan mata terbuka
    orang – orang lalu lalang di depannya
    anak – anak tertawa sambil melompat – lompat di atas perut meraka.
    Seorang imam hanya menitiskan setetes air mata, Kemudian lalu
    dari tubuh yang sia – sia, karena mati oleh rasa yang terbunuh bukan
    lagi drama yang bisa menarik rasa.

    Malam kedua setelah mayat berbau busuk
    lewat seorang penyair, menarik darah-darah mereka yang telah membeku
    di langit … bulan tidak lagi bulat


    Haidar Faisal, 1988
























































    Aku Menari Untukmu

  • Senin, 22 Oktober 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Ya! Aku yang membiarkanmu matamu terpancang padaku, hanya padaku, memperhatikanku menari. Aku ingin kau lihat kesempurnaan yang tidak sempurna atas  setiap gerakanku, buku – buku tubuhku, peluhku bahkan merasakan bauku. Kutampilkan tarian tentang  seberkas pelita, segumpalan  awan, sehimpunan seroja, segulungan benang, dan sebuah gelembung udara. Setiap liukan mengikuti tabuhanmu. Setiap hentakan adalah melodimu. Meskipun senandungmu hanya ada dalam anganku, tapi aku menari untukmu. Apakah kau suka? Apakah sudah tepat? Katakanlah! Kupersembahkan semua kerepotan ini untukmu, hanya untukmu. Karena aku mencintaimu, apalagi.





    R. Nuralam. 22 Oktober 2012

    CCTV ITU!

  • Senin, 15 Oktober 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Di seantero jagat raya ini, salah satu hal yang menyenangkan dan bersifat positif adalah menari. Tempat berlatih formal biasanya di sanggar atau klub erobik. Di sana you can see your own body movement in the mirror and feel special. It is the moment that you don’t have to put your make up, being sweat, and freely follow the music. And no need to worry, when you dance you still look cool and beautiful kok. : )

    Watching the dancing competition on B Channel, You Got to Dance 2011, feel like you’ve got an enlightment! Even when martial art presented in the competition, they just look great and graceful. The masculinity smooth style. The right choreo and music make your eyes widely open. W-O-W! Awesome deh pokoknya!

    Dancing always a fun thing. Kegiatan tak kenal umur! Kecuali mungkin karena dibatasi budaya lokal. Tak perlu cemas harus ke taraf prodancer untuk menari. Tetsuko Kuroyanagi, penulis buku Toto Chan, Gadis Kecil di Jendela pada masa kecilnya melebur sebagai sebatang pohon, tokoh menyeramkan, angsa, atau angin saat menari. Seringkali kita pun memiliki hal “gila” waktu balita sehingga bebas bergerak ya ‘kan? Mau menari gaya apapun, kebebasan ada di tangan sendiri. Di usia matang, mengapa tak sedikit “gila” and have fun dengan menari. Cause it makes you feel abegeh. Really! Hahaha.

    Pada taraf tertentu aerobic terasa bukan kegiatan olahraga semata, tetapi menari. Bila dulu kusebut olahraga, kini latihan. Dinamikanya lebih progresif. Gerakannya lebih variatif. Yang dilakukan bukan lagi single step, double step, atau v step dalam hitungan 2 atau 4 x 8, namun dalam 8 hitungan, kau harus melakukan 8 gerakan berbeda. Koreografinya semakin rumit karena komposisi turning, jumping, grape vine, running, twisting, etc. yang variatif, selain gerakan dasar seperti single step, double step dan v step yang sudah disebut sebelumnya. Mendapat gerakan begini, rasanya ini benar – benar I’m in the right insanity. Hahaha. Sulit sekali. Itulah sebabnya, latihan “sangat sangat perlu sekali”. Yang menarik, dengan melakukan aerobic dancing pengaktifan fungsi otak kanan dan otak kiri  lebih optimal. Detak jantung pun terpompa alami.

    Hakikat latihan menari pada akhirnya adalah mempertunjukkannya. When you notice, You Got to Dance’s competitor, they not just compete to be the best, but – as they say – they are delightful and honored to entertain the audience. About the showtime, it’s a kind of difficult thing for me, and one in a way it become a paradox. But, one has the independency to choose the selected and spesific audience; and what he/she wants to do with the dance. As for me, i’ve set my heart to exclusively performing my dance to a distinctive audience.

    Tetapi, ketika kejutan muncul di tengah – tengah keasyikan menari, hal itu bagai sebuah guncangan gempa tektonik. (Lama – lama tulisan saya seperti hasil terjemahan ya? Padahal kalimat ini pop up of nowhere. Hahaha). Bagaimanapun kita harus terus berlatih dan belajar, bahkan sampai di negeri Cina. Tapi, jangan terlalu hanyut saat menari di klub baru – dimana semua koreo baru yang diperlukan tersedia – kau tak pernah sadar siapa pemilik mata yang sedang memandangmu. Maka lain kali baik – baiklah  menjaga diri dimana  pun kau berada. Karena itu! Lihat, di atas itu! Yang berada di pojokan langit - langit itu! C – C – Tv! Closed Circuit Television! Bayangkan sebuah kamera pengintai di ruang latihan ladies only! Ck ck ck … Kau tak tahu siapa dan bagaimana orang yang sedang memandangmu, tapi sudah pasti ia atau mereka tidak termasuk dalam one of your specific audience list. Oh boy! Hmmmm … .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .

    Matahari

  • Senin, 01 Oktober 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Demi matahari dan cahayanya,
    dan bulan apabila mengiringinya,
    dan siang apabila menampakkannya
    Dan malam apabila menutupinya.
    Dan langit serta yang membangunnya.
    Dan bumi serta yang membentangkannya.
    Dan diri serta yang menyempurnakannya.
    Maka Dia mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatannya dan ketaqwaannya.
    Sungguh beruntung orang – orang yang mensucikan dirinya.
    Dan sungguh merugi orang – orang yang mengotorinya.


    (Asy Syams : 1 – 10)

    Surat Bartholomew Rossi

  • Senin, 24 September 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • 20 Juni 1930

    Sahabatku yang baik,

    Saat ini aku tidak punya siapa pun di dunia ini untuk kuajak bicara, dan aku sekarang duduk sendirian dengan pena di tangan, berharap kau ada, khususnya, menemaniku di sini – kau akan dipenuhi rasa terpesona yang lembut, seperti biasa, melihat pemandangan yang  kunikmati sekarang ini. Aku sendiri dipenuhi rasa hampir tidak percaya hari ini – kau pun pasti akan begini kalau bisa melihat sendiri apa yang kulihat – di kereta api, tapi itu saja tidak akan banyak memberi petunjuk bagimu. Kereta api ini berjalan menuju Bukarest. Hebat sekali, begitulah seakan kudengar kau berkata di sela – sela peluit kereta. Tapi itu benar. Aku tidak berencana pergi ke sini, tapi sesuatu yang luar biasa membawaku ke mari. Aku berada di Istanbul sampai beberapa hari yang lalu, melakukan riset kecil yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun, dan di sana kutemukan sesuatu yang membuatku ingin datang ke sini. Bukannya ingin, persisnya; lebih tepat kalau kusebut aku sangat takut, tapi merasa terdorong. Kau orang yang sangat rasional – kau tak akan peduli sedikit pun mengenai hal – hal itu, tapi aku sungguh berharap memiliki otak seperti otakmu dalam perjalanan ini; aku akan membutuhkan setiap notkah otakku dan itu pun mungkin belum cukup untuk menemukan apa yang kucari.
    … .
     
    Sahabatmu,

    Bartholomew Rossi

     

    The Historian, Elizabeth Kostova, hal. 447

    Museum di Kota Tua Jakarta

  • Senin, 17 September 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Koleksi Museum Wayang
     Dari Bekasi menuju Jakarta Kota. Jalan – jalan ke salah satu cagar budaya Kota Tua di Jakarta Pusat. Tiba di Stasiun Jakarta Kota kita sudah disuguhkan sisa peninggalan klasik Belanda, yakni  stasiun kereta api  yang memiliki 12 jalur rel dan masih berfungsi baik sampai saat ini. Lalu, menapak keluar stasiun akan didapati bangunan kuno yang tak kalah uniknya. Berikut ini adalah beberapa tempat yang terdaftar sebagai cagar budaya yang berada dalam satu kompleks, dan antartempat bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Persiapkan topi, mungkin payung, botol minuman, buku kecil dan pena, dan tentu saja jangan  lupa membawa  kamera untuk merekam momen di sana.


    Museum Bank Mandiri
    Waktu Berkunjung
    Selasa - Minggu : 09.00 - 16.00 WIB
    Senin & Hari Libur National Tutup

    Harga Tanda Masuk
    Gratis, tanpa dipungut biaya untuk pelajar, mahasiswa, dan nasabah Bank Mandiri.

    Gedung Museum Bank Mandiri (ex-Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM)) dirancang oleh 3 orang arsitek belanda yaitu J.J.J de Bruyn, A.P. Smits, dan C. van de Linde. Gedung ini mulai dibangun tahun 1929 dan pada tanggal 14 Januari 1933 dibuka secara resmi oleh C.J Karel Van Aalst, Presiden NHM ke-10. Gedung ex-NHM ini tampak kokoh dan megah dengan arsitektur Niew Zakelijk atau Art Deco Klasik



    Museum Bank Indonesia
    Waktu Berkunjung
    Selasa - Jumat : 08.00 - 15.30 WIB
    Sabtu - Minggu : 08.00 - 16.00 WIB
    Senin & Hari Libur National Tutup

    Harga Tanda Masuk
    Gratis, tanpa dipungut biaya


    Museum Bank Indonesia adalah sebuah museum di Jakarta, Indonesia yang terletak di Jl. Pintu Besar Utara No.3, Jakarta Barat (depan stasiun Beos Kota), dengan menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neoklasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828.


    Museum Wayang
    Salah satu sudut di Kota Tua
    Waktu Berkunjung
    Selasa – Minggu : 09.00 – 15.00
    Senin & Hari Libur National Tutup

    Harga Tanda Masuk
    Dewasa Rp. 2000
    Mahasiswa Rp. 1000
    Pelajar/Anak Rp. 600
    Rombongan Dewasa Rp. 1500
    Rombongan Mahasiswa Rp. 750
    Rombongan Pelajar/Anak Rp. 500


    Gedung yang tampak unik dan menarik ini telah beberapa kali mengalami perombakan. Pada awalnya bangunan ini bernama De Oude Hollandsche Kerk ("Gereja Lama Belanda") dan dibangun pertamakali pada tahun 1640. Tahun 1732 diperbaiki dan berganti nama De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda) hingga tahun 1808 akibat hancur oleh gempa bumi pada tahun yang sama. Di atas tanah bekas reruntuhan inilah dibangun gedung museum wayang dan diresmikan pemakaiannya sebagai museum pada 13 Agusus 1975. Meskipun telah dipugar beberapa bagian gereja lama dan baru masih tampak terlihat dalam bangunan ini.

    Museum Sejarah Jakarta
    Ruang bawah tanah
    Waktu Berkunjung
    Selasa – Kamis : 09.00-15.00
    Jumat : 09.00-14.30
    Sabtu : 09.00-12.30
    Minggu : 09.00-15.00
    Senin & Hari Libur National Tutup

    Harga Tanda Masuk
    Mahasiswa Rp 1000
    WNA (Anak) Rp 600
    WNA (Dewasa) Rp 2000
    WNI (Anak) Rp 600
    WNI (Dewasa) Rp 2000


    Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda : Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini diresmikan sebagai Museum Fatahillah.


    Kereta Api
    Stasiun Beos 2012
    Kembali pulang. Dari Stasiun Kereta Api Jakarta Kota menggunakan commuter line. Jauh – dekat, Jakarta Kota - Bekasi, enam ribu lima ratus perak. Stasiun tua yang juga dikenal dengan nama Beos ini memiliki  arsitektur unik. Beos itu singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993. Dibangun sekitar tahun 1870. Arsitek dibalik pembangunannya adalah Frans Johan Louwrens Ghijsels.  Biar tua bangunan Stasiun Beos masih terlihat kokoh, tapi kereta yang beroperasi sudah jauh berbeda dari masa ketika stasiun ini dibuka. Tidak ada kereta yang meraung “tut tuuut tut tuuut” lagi, tapi ada sejenis kereta api canggih yang pintu keluar masuk penumpangnya, membuka dan menutup secara otomatis pada saatnya.


    Sumber :

    Aku Berangkat Naik Pesawat

  • Senin, 10 September 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • 1. Tiket

    SEHARUSNYA, di situ tertulis namamu, di kolom tujuan itu.
    Apa aku harus peduli pada nama kota dan bandar udara?

    Seharusnya, di situ tercantum alasan keberangkatanku:
    Pulang menemui kamu, karena Rindu. "Ulangi kata itu, sepenuh
    yang bisa ditampung di ruang kosong, di kertas tiketku,"
    aku akan berkata begitu, kepada petugas pencatat itu.

    2. Bagasi

    TAK akan kuserahkan ini pada petugas yang serampangan.

    Ranselku ini akan kupeluk saja di sepanjang penerbangan.
    "Ini Rindu yang tak kemas. Rindu yang membuat aku cemas.
    Ada banyak yang tak tertangkap. Ini Rindu yang tak lengkap,"
    aku akan berkata begitu, nanti sesampai aku pada engkau.

    Tak akan kubiarkan apa yang sesak ini tercecer sembarangan.


    3. Ruang Tunggu

    AKU mencemaskan engkau. Bandara di negeri ini tak adil.
    Tak pernah ada ruang tunggu yang baik untuk penjemput.

    Aku mencemaskan aku. Rindu di hati ini juga tak pernah adil.
    Tak pernah ada waktu tunggu cukup, untuk sebentar sabar.


    4. Pintu Darurat

    KENAPA pramugari itu selalu saja, seperti menyuruh cemas?

    Aku sudah sangat tahu di mana dan bagaimana membuka
    empat pintu darurat, memakai jaket keselamatan, memasang
    dan melepas sabuk pengaman. Aku sudah sangat cemas sejak
    membeli tiket yang kusebutkan di bait nomor satu. Tiket yang di
    situ ingin kutulis sendiri namaku, tanggal dan jam penerbangan,
    dan alasan-alasan kenapa engkau sebegitu parah kurindukan.


    hasan aspahani, 22 Januari 2010

    Kini Ada Laut di Hatiku

  • Senin, 20 Agustus 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • ketika semua laut ditanami ranjau
    dan kapal – kapal urung berlayar
    kubangun sendiri laut di hatiku
    lalu kulayari sampai jauh
    sampai ke telukMu

    ketika bukit – bukit dan gunung – gunung
    digunduli dan dirampas keserakahan
    berjuta burung pun terusir dari kehidupan
    kudirikan sendiri gunung di hatiku
    lebih tinggi lebih indah
    lalu kudaki sampai ke puncaknya
    yang menyentuk telapakMu

    ketika semua jalan ditutup
    dan berjuta orang urung berangkat
    kubikin sendiri jalan setapak di hatiku
    lebih panjang dan berliku
    lalu kulintasi setiap saat
    dan bila rindu datang, kucumbui bayangMu
    di tikungannya

    biar laut diranjau
    aku tak lagi risau
    biar tak ada gunung
    aku tak lagi bingung
    biar jalan ditutup
    aku tak lagi gugup

    karena di hatiku kini
    ada laut tak teranjau
    ada gunung yang tak gundul
    ada jalan yang tak tertutup

    kala sunyi kala rindu semuanya
    mengantarku kepadaMu




    HS Djurtatap, 1991

    My Virtual Kitchen

  • Selasa, 07 Agustus 2012
  • rani nuralam
  • Label: , ,











  • Ini dapurku! Selamat datang …

    Yah, biar kecil tapi bergaya kontemporer minimalis. Kudesain sendiri  tempat pesta ini berdasarkan referensi dari internet dan majalah rumah.  Nuansa warnanya cukup menenangkan.  Lihat! Nah, tidakkah Anda setuju? Perpaduan Mintcream #f5fffa dan Dimgray #696969. Dari balik jendela menyembul hijaunya dedaunan dari cemara jarum di pekarangan belakang. Ruangnya pun jadi bertambah hidup karena anak – anakku meletakkan aquarium kecil di meja saji. Di satu periode isinya ikan cupang atau ikan – ikan hias macam yang ada di free download aquarium wallpaper, tetapi pada periode lain berisi keong - keong seharga seribuan yang mereka beli dari abang – abang di depan sekolah mereka.

    Kulkas dua pintu, kompor dua tungku dan sebuah oven bernada perak mengkilap. Panci – panci stainless steel tersimpan rapi di dalam kitchen set. Perlengkapan memasak yang sophisticated: blender, juicer, mixer, kitchen scale dan lain – lain juga tersedia di dapur. Tapi ibu yang tinggal bersama kami sering menggerutui rasa masakanku. Katanya, “Tak enak.! … Menghaluskan bumbu dengan blender! … .  Menanak nasi dengan rice cooker! … . Membuat bolu kukus dengan magic com! … Membumbui masakan dengan bumbu instan! … Mengadoni bahan donat dengan mixer roti! …”

    Duh duh duh!

    Maka kami membuat dapur kotor dibalik dapur bersih. Dapur modern dengan perangkat memasak yang mahal kami sebut dapur bersih. Sementara dapur kotor adalah tempat dimana ada cobek dan ulekan, panci pengukus,  rempah – rempah bumbu, Teflon Jawa (yang ini penggorengan antilengket dengan beratnya sekitar 1,5 kg!), tempayan lengkap dengan ciduk tempurungnya, amben, kuali, serta sederet perabot masak tradisional lain.

    Makan boleh dimana saja di seluruh pelosok rumah (kecuali kamar mandi dan  tempat tidur, tentunya). Termasuk duduk selonjoran di amben dapur kotor yang nyaman itu. Namun, pada saat – saat tertentu mereka harus mengelilingi meja bundar.  Karena kadang timbul ilhamku melukis meja makan kami dengan komposisi warna masakan dan bentuk – bentuk unik piranti makan. Saat mengolah masakan kan kupasang aksi layaknya koki Jepang mengolah kuliner mereka sambil memakai celemek bertuliskan : “I love cooking”. Setelah itu kubiarkan seluruh anggota keluarga ribut mengomentari dan memperebutkan hasil karyaku. Dari ayah sampai anak akan mengatakan “Enak sekali, Ma!”

    *

    Meskipun memasak adalah hobi, memasak juga harus dilakukan sungguh – sungguh. Cuma sesekali waktu makan malam atau makan siang di akhir pekan butuh perencanaan yang mendalam. Berkutat di dapur merupakan salah satu bentuk dedikasi buat keluarga. Semua yang diolah di dapur dan terhidang di meja  patut disyukuri, meskipun hanya rebusan atau gorengan, karena itulah yang akan membuat makanan terasa semakin lezat.

    Perjalanan Nyai Dasima

  • Senin, 23 Juli 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Menyusuri Cerita Batavia Tempoe Doeloe

    Jakarta  memang sudah berusia 485 tahun, tapi kota ini berkembang mengikuti kota – kota metropolitan di dunia seperti bunga segar yang tengah mekar.  Ibukota negara Indonesia ini tumbuh menjulang dan melebar, padat dan sesak, serta canggih dan rumit. Dengan berbagai aspek di dalamnya, siapa nyana legenda dan dongeng Betawi tetap lestari, dan dengan bangunan – bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda, menjadikan kota ini sarat sejarah. Cerita rakyat Betawi jadi tambah memikat manakala bangunan sejarah yang masih berdiri tegap itu terkait dengan cerita tersebut.  Bangunan sisa masa lalu itu bisa berupa gedung, tempat tinggal, makam, dan lain – lain.


    Populer
         Dalam khazanah cerita rakyat Betawi terdapat sebuah cerita yang terkenal yaitu “Nyai Dasima”. Ketenaran cerita ini dapat dibuktikan dengan kemunculan dalam berbagai bentuk : prosa (novel, bacaan anak – anak), puisi (syair, pantun), drama (Komedie Stamboel, Miss Riboet), film dan sinetron. Cerita ini semakin bertambah popular karena adanya lintas budaya. Cerita ini tidak saja terdapat dalam budaya Betawi dengan ditampilkan dalam pertunjukan lenong, misalnya, tetapi juga dalam budaya Sunda (Gending Karasmen), dan budaya Jawa (Rombongan Sandiwara Lokaria).

         Pada tahun 1896 G. Francis menerbitkan novel yang diberi judul Tjerita Njai Dasima. Henry Chambert – Loir dalam “Malay Literature in the 19th Century” menyebutkan bahwa di Leningraad terdapat cerita “Nyai Dasima” dalam koleksi Akhmad Beramka tentang syair nomor 68. Tidak disebutkan tahun penciptaan manuskrip ini, namun Akhmad Beramka aktif menulis antara tahun 1906 sampai dengan tahun 1909. Lie Kim Hok dan O.S Tjiang pernah menyadur cerita Nyai Dasima ini dalam bentuk syair. Menurut Claudine Salmon, kedua penulis itu menyadur dari karya G. Francis (Oetomo, 1985 : 31- 32). Kemudian A. Th. Mausamana membuat Nyai Dasima dalam bahasa Belanda pada tahun 1926. Pada perkembangan selanjutnya cerita ini muncul sebagai bacaan anak – anak dalam Cerita Betawi (Ali, 1995). Akan tetapi, pada tahun 1965 S.M. Ardan pernah mengarang Njai Dasima dalam bentuk naskah drama.

         Pada tahun 1929 cerita ini diangkat ke layar lebar dengan judul Njai Dasima 1. Setahun kemudian, berturut – turut tayang Njai Dasima 2 dan Nancy Bikin Pembalesan. Ketiga film itu adalah film bisu. Barulah beberapa tahun kemudian keluar Nyai Dasima (1932), Dasima (1940), Dasima dan Samiun (1970) sebagai film bicara. Nyai Dasima (1996) pernah ditayangkan sebagai salah satu sinetron di RCTI.
    Gereja Immanuel (Dok. DMS DKI Jakarta, 1983)

    Ringkasan Cerita
         Tjurug, Tanggerang 1813 Njai Dasima, seorang warga Kuripan, Jawa Barat menjadi gundik tuan tanah bernama Edward W yang berkebangsaan Inggris. Toean W terpikat padanya karena ia cantik, pandai menjahit dan memasak. Dari hubungan mereka lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama, Nanci.

         Setelah tinggal selama delapan tahun di sana, rumah di Tjurug pun dijual dan mereka pindah ke Betawi. Mereka tinggal di Gambir, di pinggir Kali Tjiliwoeng. Dalam dua tahun menetap di tempat tinggal yang baru, kecantikan Nyai Dasima sudah merebak. Banyak lelaki datang menggoda dan berniat merampas hartanya.

         Demikian pula dengan niat terselubung seorang lelaki muda, Samioen namanya. Laki – laki ini menyuruh Ma Boejoeng mendekati Njai Dasima. Ma Boejoeng menyamar sebagai penjual telur yang miskin. Njai Dasima merasa iba. Ma Boejoeng disuruh bekerja di tempatnya. Selama tinggal bersama, Ma Boejoeng mulailah mempengaruhi pikiran Njai Dasima bahwa hidup bersama dengan orang kafir dalam ajaran agama Islam adalah perbuatan dosa.

         Dalam merebut harta Njai Dasima, Samioen dibantu ibunya, Embok Saleha dan istrinya, Njonja Hajati pula. Berkedok guru mengaji, Embok Saleha mempengaruhi pikiran sang nyai dengan dalih agama. Samioen sendiri tidak tinggal diam. Dalam meraih cita – citanya itu ia meminta bantuan Hadji Salihoen agar menjampi Njai Dasima. Meskipun usaha mengguna – gunai itu tidak mempan, tapi komplotan itu pada akhirnya berhasil menghasut sang nyai.

         Njai Dasima “sadar” dan hendak bertobat. Ia bertekad dan nekad meninggalkan Toean W dan anaknya. Sewaktu pergi dibawanya emas, intan, uang dan perabot rumah yang mahal – mahal.  Hanya selang tiga hari  setelah itu, ia menikah dengan Samioen.

         Namun dalam satu bulan Njai Dasima tak tahan diperlakukan bagai budak oleh Njonja Hajati dan Embok Saleha. Karena itu, ia minta cerai. Samioen setuju dengan syarat  semua harta istri keduanya itu diserahkan padanya. Tapi Njai Dasima balik mengancam akan mengadukan perbuatan mereka pada hakim melalui perantara Toean W.

         Samioen khawatir. Dibujuk rayulah Njai Dasima dengan cara mengajak nonton pembacaan Hikayat Amir Hamzah, padahal tersimpan niat jahatnya untuk menghabisi nyawa Dasima. Dalam perjalanan menuju tempat acara Bang Poasa, orang suruhan Samioen, menghabisi nyawa Dasima dan mayat wanita itu dibuang ke sungai.

         Keesokan harinya mayat Dasima yang menyangkut di tempat mandi Toean W ditemukan oleh tuan tanah itu. Polisi mengusut kejadian itu. Dengan kesaksian beberapa orang, maka para pelaku pembunuhan ditangkap. Samioen dan Bang Poasa dijebloskan ke penjara.

     Legenda
         Menurut Bascom (Dananjaya, 1991 : 50), legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah benar – benar terjadi, ditokohi manusia, tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal ini. Demikian pula dengan cerita “Njai Dasima” ini. Sebagian masyarakat Betawi, terutama masyarakat Betawi Kwitang sebagai pemilik cerita ini menganggap bahwa tokoh Nyai Dasima pernah  hidup.  Anggapan itu dilatarbelakangi pula dengan adanya tempat – tempat dalam “Njai Dasima” yang dapat dilihat hingga saat ini.

         Bangunan yang melingkupi latar fisik cerita Njai Dasima merupakan bangunan bersejarah yang dibangun pada abad ke – 19. Selagi merekonstruksi lingkungan hidup Njai Dasima, kita bisa menambah pengetahuan tentang sejarah tempo doeloe pula. Sebagai contoh: (1) Rumah Nyai Dasima bersama Toean W berada di Pejambon, tepatnya di belakang Gereja Immanuel, dekat Stasiun Gambir. Gereja Immanuel didirikan dari tahun 1835-1839 dan dirancang oleh Tuan Horn. Gereja itu diresmikan tepat 24 Agustus 1839 bersamaan dengan Hari lahirnya Raja Belanda Wilem I. (2) Gedung Pancasila (Gedung Departemen Luar Negri) awalnya hanyalah sebuah hutan belukar dengan rawa – rawa. Tahun 1648 mulai berubah setelah tempat itu didiami penduduk.  Keluarga Anthony Chestelyn menguasai kawasan itu untuk pertanian tebu dan padi guna keperluan VOC. Tapi ketika tak ada pewaris yang tersisa untuk mengurusi warisan tanah itu, maka jadilah tempat itu sebagai Hertogpark sepi. Tentang gedung itu sendiri diperkirakan berdiri dan mengalami renovasi dalam kurun waktu 1890 s/d 1950, dan (3) Jembatan Kwitang (depan toko buku Gunung Agung), tempat pembunuhan Nyai Dasima.

    Penutup
         Tiap penelitian merupakan pendahuluan bagi penggalian lebih lanjut terhadap sebuah budaya. Walaupun jumlah penutur (tukang cerita) makin menyurut jumlahnya, tetapi diharapkan sastra lisan tetap bertahan. Jalan – jalan macam begini (menyusuri lingkungan hidup tokoh dalam salah satu cerita rakyat Betawi), selain menambah wawasan juga usaha tak langsung untuk menjaga warisan budaya sendiri. Sementara revolusi teknologi dan komunikasi seharusnya jadi  jalan keluar lain untuk melestarikan (dalam hal ini) cerita rakyat Betawi.


    Sumber :
    Nuralam, R. Skripsi “Transformasi Cerita Rakyat Betawi ‘Nyai Dasima’, Sebuah 
         Analisis Intertekstual,” Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 1998.
    Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, Sejarah 
         Singkat Gedung – gedung Tua di Jakarta. Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta . 1983

    TERSESAT DALAM LUPA

  • Senin, 16 Juli 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Aku belajar. Aku sedang belajar. Aku selalu belajar. Aku belajar untuk lupa. Aku ingin bisa melupakan apa yang aku baca, apa yang aku lihat, apa yang aku dengar. Aku belajar untuk melupakan apa yang kubaca di suratkabar dan majalah. Aku belajar untuk melupakan apa yang aku lihat di televisi. Aku belajar untuk melupakan apa yang aku dengar dari radio, apa yang aku dengar dari mulut ke mulut.

    Aku ingin belajar melupakan banyak skandal, kasus, kejadian, isu, rumor dan entah apapun namanya, yang tidak pernah jelas akhir dari penyelesaiannya. Semua persoalan tidak pernah ada yang selesai. Semua adalah konspirasi, semua adalah pengalihan isu, semua adalah alibi. Semua tidak pernah lepas dari uang dan kursi. Aku pun belajar untuk melupakan nama-nama tikus, kecoa, bangsat, lintah, kutu busuk, benalu dan parasit yang menghiasi ruang publik negeri ini.

    Semua selalu diawali dengan sumpah demi Tuhan atau atas nama Tuhan, tetapi akhirnya berakhir sebagai sampah. Di negara ini, Tuhan pun sudah menjadi sampah yang bisa diinjak setiap saat.

    Aku masih belajar. Aku sedang belajar. Aku senang belajar. Aku belajar untuk lupa. Aku lupa. Aku lupa apa yang kubaca, aku lupa apa yang kulihat, aku lupa apa yang kudengar. Aku lupa pernah belajar. Aku lupa bahwa aku pernah belajar untuk lupa.


    Urip Herdiman Kambali , Jakarta, 17 Juni 2011 - 22 Agustus 2011


    Jus Apel

  • Senin, 09 Juli 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Ini tulisan yang entah mengapa tadinya sulit sekali diceritakan. Tentang suatu undangan yang inginnya ditolak. Tentang penyakit muntaber yang memalukan sekali untuk diakui karena ada anggapan penyakit ini cuma diidap kalangan bawah yang tidak tahu kebersihan, dan tentang jus apel yang mencurigakan.
     
    Hari itu undangannya cuma makan – makan. Keinginan menampik itu bukan berdasarkan kondisi yang baru pulih semata, tapi lebih berat pada soal sesuatu yang lain yang mengganjal. Bagaimanapun telah diputuskan untuk berangkat ke tempat dan waktu yang sudah ditetapkan itu.

    Kami tinggal datang, duduk, makan dan  bercakap – cakap. Suguhan makanan terdiri dari makanan Indonesia populer dan makanan Barat yang bisa saja tersaji sebagai umpan tekak, makanan inti, dan pencuci mulut. Namun, makanan – makanan itu dihamparkan di meja bagai dagangan di lapak – lapak kaki lima, jadi kami bisa langsung menyantap tanpa mengikuti tata krama di meja makan secara formal.

    Seorang undangan membawa kue kering dan sebotol jus apel. Biasanya perlakuan khusus kuterapkan bila makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam bentuk kemasan. Kendati tulisan  di pembungkus makanan dan minuman itu kecil – kecil, tetapi tetap harus diperhatikan lekat – lekat. Karena ada beberapa informasi yang harus diterapkan.

    Pertama, Sertifikasi MUI.  Menjadi seorang muslim artinya mengikuti Al Qu’ran dan sunnah rasul. Dalam hal makanan dan minuman ada aturan tersendiri. Oleh sebab itu, lambang sertifikasi halal pada suatu produk jadi penting. Sertifikasi halal dikeluarkan oleh LPPOM-MUI . Lembaga inilah yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Bentuknya lambang itu bulat kecil dengan warna tulisan hijau atau hitam, dengan latar belakang putih.

    Kedua, tentang kadaluarsa. Pihak perusahaan biasanya mencantumkan tanggal kadaluarsa pada salah satu bagian kemasan makanan yang  mereka jual. Semakin jauh tanggal kadaluarsa makanan dan minuman itu berarti produk itu masih tergolong baru dibuat. Jika produk tersebut dikonsumsi setelah masa berlakunya jelas bakal membahayakan kesehatan.

    Ketiga, bahkan minuman kaleng harus sampai di rumah terlebih dahulu. Tubuh kaleng – kaleng minuman dibersihkan. Tujuannya untuk mengangkat kotoran yang menempel dan mematikan kuman Leptosirosis.  Pernahkah Anda mendengar seseorang mati gara – gara mengkonsumsi minuman kaleng karena  kemasan minuman itu terkontaminasi air kencing tikus? Waktu banjir bandang melanda Jakarta tahun 2002, wabah melanda. Korban berjatuhan. Salah satu penyebabnya adalah kuman air kencing tikus itu.

    Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.

    Berita itu langsung memola di kepala. Ada tata cara minum yang harus diubah. Tak peduli dimana selesai berbelanja : di supermarket, minimarket atau di pasar tradisionalkah? Minuman kaleng itu tidak boleh langsung diteguk. Kaleng minuman itu dicuci terlebih dahulu, lalu dibilas dengan air hangat. Kebiasaan itu kemudian diberlakukan pula pada botol : saus, kecap, dan sirup. Hal ini sudah berlangsung bertahun – tahun.

    Keempat, bila pada kemasan terdapat tulisan asing yang tidak dapat dibaca, maka keinginan menikmati makanan atau minuman itu mesti dikekang.

    Tapi pada hari itu batasan – batasan tersebut diaplikasikan secukupnya. Makanan dan minuman disantap seolah tak ada habisnya. Apalagi sambil menunggu undangan lain yang belum datang, maka tutup toples kerap dibuka dan dirogoh kuenya terus – menerus. Awalnya perilaku demikian tidak berefek pada kondisi fisik yang tengah membaik. Tetapi selang dua jam, yang kuinginkan adalah berada di rumah dan berbaring saja.

    Keinginan itu terpaksa ditahan sendiri sebab satu persatu yang lain malah bermunculan sambil membawa makanan sebagai “teman” mengobrol kami. Meja saji pun semakin berlimpah dengan makanan. Begitu tamu terakhir datang tiba – tiba suasana berubah. Mereka bicara seolah dunia milik “kita”. Seketika itu juga aku seperti sedang menonton ruang sidang John Grisham. Pada waktu para juri masuk ke ruangan dan tak seorang pun melihat, melirik, atau pun memandang si terdakwa. Karena dibalik secarik kertas yang diserahkan pada hakim, sudah tertulis kata “bersalah”. Aku hanya menduga … . Perutku terasa mual.

    Aku pulang setelah empat jam di sana, tak menikmati apapun! Kekenyangan dan kesakitan. Pukul dua dini hari pada hari berikutnya semua makanan yang lezat – lezat itu termuntahkan. Terkuras habis dari perut. Tepat pada saat obat pemberian dokter sudah habis. Tak ada penolongku, jadi aku berusaha tidur untuk melupakan tubuhku yang melemas.

    *

    Nah, kemudian datanglah suatu hari yang membuatku tak habis pikir. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, aku tersangkut di situs - situs yang menjelaskan tentang apel.  Pada suatu bagian dijelaskan “Di Amerika dan Kanada, cider atau sweet cider merupakan istilah untuk jus apel yang tidak difermentasi, sedangkan jus apel yang difermentasi disebut hard cider. Di Inggris, istilah cider selalu digunakan untuk minuman beralkohol. Akan tetapi di Australia, istilah cider dapat digunakan baik untuk produk beralkohol ataupun tidak.”

    Di negara Amerika, Kanada, Inggris, dan Australia jus apel diolah secara massal dan serius sebagai komoditi dengan penamaan yang berbeda. Jus apel rumahan yang berlaku di tempat tinggalku adalah potongan apel, dicampur air dan gula, lalu diblender. Di toko – toko besar minuman jus apel kotak adalah minuman beraroma apel. Rasa jus apel yang kebanyakan beredar di Indonesia berbeda dengan jus apel yang dibawa seorang undangan itu: beraroma apel dengan sedikit bersoda mungkin karena hasil fermentasi. Padahal seorang tamu sudah menolak meneguk minuman itu karena khawatir kehalalannya. Tapi dengan berdalih “non alchohol”, sebagaimana yang tercantum di botol, aku meminum jus apel yang dicampur es batu hingga beberapa gelas.

    Membaca hasil jelajahan itu, aku langsung tercenung. Mengingati bahwa selain tulisan “non alchohol”, di botol itu juga terdapat tulisan dalam bahasa Indonesia bahwa produk itu impor Australia! …  Bilakah minuman itu beralkohol? Hmm, aku hanya bisa menduga.

    Tak jadi kusesali kemuntahan dan kehadiranku di antara mereka tempo hari. Bila kandungan dalam minuman itu haram, maka Tuhanku telah “menyelamatkanku”. Tak ada zat haram mengendap di tubuh. Kemuntahan itu malah jadi penanda kesembuhan. Karena ketika matahari bersinar, tubuh terasa fit dan aktivitas pun berjalan seperti biasa. Yah, mungkin takkan lagi ada pertolongan seperti itu, jadi toleransi harus dimaknai lebih ketat.

    NAPAK TILAS VIII

  • Sabtu, 23 Juni 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Menyusuri Jejak Tarumanegara 
    Bersama Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya


    Pagi buta di hari Minggu biasanya saya sudah keluar rumah untuk bersepeda, tapi kali ini tujuan sama sekali berbeda. Sepagi itu saya hendak ke Selatan. Bertolak dari Stasiun Cawang Atas, pukul 06.30 WIB dengan KRL ekonomi, tujuannya Stasiun Bogor. Saya naik ke gerbong ketiga. Suasana dalam KRL tampak ramai, tapi tidak padat sebagaimana jam orang berangkat kerja pada hari produktif. Tanpa terasa satu jam pun telah berlalu dan kaki saya akhirnya menapak di kota hujan. Hari itu tanggal 10 Juni 2012.

    *

    Seorang teman mengajak saya ikut acara Napak Tilas Peninggalan Masa Lalu yang diselenggarakan Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya (http://www.facebook.com/group.php?gid=110546372300285). Komunitas ini bukan komunitas kemarin sore karena sesungguhnya acara semacam sudah terselenggara hingga tujuh kali, dan tujuan perjalanan ke delapan kali ini adalah menyusuri jejak Tarumanegara di Desa Ciaruteun Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

    Di sana terdapat Situs Kampung Muara dengan Prasasti Kebon Kopi I, Prasasti Pasir Muara, Prasasti Ciareteun, Situs Megalitik Kampung Muara dan Punden Pandu Dewanata yang akan kami lihat. Jarak antarlokasi sekitar 100 – 300 meter. Silih berganti kami menelisik perkampungan penduduk, melalui jalan setapak, jalan beraspal, dan menyisir tepian sungai Cianten dan Cisadane. Sungai itu lebar, coklat dan berdebur tenang sangat berbeda dengan kali Bekasi, dekat tempat tinggal saya, kecil, hitam dan bau. Dengan rute yang relatif ringan, bikin saya (dalam hati) bernyali adu stamina dengan anak – anak muda itu.

    Ada sekitar empat puluh orang yang terkumpul dan kami mendapat kehormatan dipandu Prof. Dr. Hasan Djafar, arkeolog dan pengajar senior dari Universitas Indonesia. Begitu beliau mulai memerikan sejarah para batu, saya sudah lupa tentang info bahwa bahasa Sunda dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam acara napak tilas yang diikuti teman saya sebelumnya. Karena secara sistematis dan antusias beliau menguraikan peninggalan prasejarah yang ada di hadapan kami dalam bahasa Indonesia.

    Mang Hasan


    (1)
    Prasasti Kebon Kopi I


    Titik pertemuan dan langkah pertama kami menuju situs – situs lain dimulai dari Lokasi Prasasti Kebon Kopi I atau yang disebut juga Prasasti Tapak Gajah. Prasasti ini ditemukan pertama kali oleh Jonathan Rigg, seorang tuan tanah berkebangsaan Inggris pada abad ke – 19. Tepatnya tahun 1860 ketika diadakan pembukaan hutan untuk perluasan perkebunan kopi. Pada prasasti ini terdapat sebaris tulisan yang diapit sepasang gambar telapak kaki gajah. Adapun tulisan hasil transliterasi menurut pembacaan J.Ph.Vogel, dengan ejaan yang telah disesuaikan berbunyi :

    jayavis halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam

    kedua jejak telapak kaki ini adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata milik penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.


    Prasasti (prasasti) Kebon Kopi II ditemukan pada tahun 1918, di “Kebon Kopi”, di Pasir Muara, tidak jauh dari tempat penemuan Prasasti Kebon Kopi I (NBG 1918:91; Bosch, 1941:49). Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu dalam empat baris tulisan beraksara tipe 4 Palawa Akhir atau Pasca-Palawa (Later Pallava), dan berbahasa Malayu Kuna.  Isinya berkenaan dengan pemulihan kekuasaan Haji Sunda, dikeluarkan oleh Rakryan Juru Paŋambat pada tahun Śaka kawi haji pañca pasagi (= 854), yang bertepatan dengan tahun Masehi 932.

    Prasasti ini kini sudah tidak ada, bahkan ketika tahun 1941 F.D.K. Bosch menulis tentang prasasti ini, prasastinya sudah hilang. Satu-satunya dokumen yang masih ada adalah foto bernomor inventaris OD 6888 yang dibuat oleh Oudheidkundige Dienst, “Dinas Purbakala”, pada tahun 1923 (OV 1923, 1924:18). Selain F.D.K. Bosch, peneliti lain yang telah membicarakan prasasti ini di antaranya N.J. Krom (1931), Saleh Danasasmita (1984), dan Hasan Djafar (1991). Transliterasi Prasasti Kebon Kopi II ini sebagai berikut:

    Ini sabda kalanda rakryan juru panga
    mbat i kawihaji panca pasagi maesa
    ndeca barpulihkan haji sunda


    Ini batu peringatan yang dimaksudkan untuk
    memperingati perintah Rakryan, Juru
    Pangambat pada tahun Saka 854 untuk
    mengembalikan kekuasaan kepada raja Sunda.

    (2)
    Umpak Tiang


    Di halaman Prasasti Kebon Kopi I tergolek dua buah umpak batu berbentuk empat persegi, sisi-sisinya berukuran sekitar 40 cm. Umpak-umpak batu ini, pada bagian sisi atasnya terdapat lubang segi empat berukuran sekitar 30 x 30 cm dan dalamya sekitar 5 cm, bekas tempat berdirinya tiang kayu. Berdasarkan ukuran umpak batu dan lubang bekas tiang kayunya yang cukup besar, diduga bangunan berumpak itu berukuran cukup besar pula. Bahan batu kapur untuk pembuatan umpak tiang ini mungkin diambil dari perbukitan kapur (Gunung Cibodas) yang terletak sekitar 2,5 km di sebelah selatan situs Kampung Muara.


    (3)
    Menhir dan Batu Dakon


    Menhir dan batu dakon dari situs Kampung Muara terdapat dalam satu kumpulan, terdiri dari tiga buah menhir dan dua buah batu dakon. Kelima peninggalan tersebut terbuat dari bahan batu kali (batu andesit), bentuknya tidak beraturan. Masing-masing berukuran sebagai berikut:
    (1) Menhir I: tinggi dari permukaan tanah 80
         cm, ketebalan (lebar) antara 35-45 cm.
    (2) Menhir II: tinggi dari permukaan tanah 40
          cm, ketebalan sekitar 24 cm.
    (3) Menhir III, tinggi dari permukaan tanah 40
         cm, dan mempunyai ketebalan antara
         35-45 cm.
    (4) Batu Dakon I: tinggi dari permukaan tanah
         antara 10-15 cm, dan karena bentuknya
         hampir bundar garis tengah antara
         70-80 cm.
    (5) Batu Dakon II: tinggi dari permukaan tanah sekitar 10 cm, sedangkan panjang dan lebarnya sekitar 80-90 cm.


    (4)
    Prasasti Pasir Muara


    Dahulu Prasasti Muara Cianten ini dikenal sebagai Prasasti Pasir Muara. Terletak di tepi Cisadane, di Muara Cianten yang termasuk lingkungan Kampung Muara. Prasastinya dipahatkan pada sebuah batu besar yang hampir berbentuk segi empat berukuran 2,7 x 1,4 x 1,4 m. Ditulis dengan “aksara” ikal atau “aksara” śangkha, seperti yang dipergunakan pada Prasasti Ciaruteun B, dan Prasasti Pasir Awi di daerah Jonggol. Prasasti Muara Cianten sampai sekarang masih belum dapat dibaca. Sama halnya dengan prasasti Kebon Kopi I dan Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten pun untuk pertama kalinya dilaporkan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864, dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 1914. Pelaporan Hoepermans ini kemudian disusul oleh beberapa pembahasan yang dimukakan oleh para peneliti yang lain, di antaranya J.F.G. Brumund (1868), P.J. Veth (1878), R.D.M. Verbeek (1889, 1891), C.M. Pleyte (1905/1906), G.P. Rouffaer (1909), dan N.J. Krom (1915).


    (5)
    Punden Pandu Dewanata


    Arca megalitik dari situs Kampung Muara jumlahnya hanya tiga buah dan sudah tidak utuh lagi. Kini tersimpan di halaman belakang sebuah rumah penduduk, bersama kumpulan sejumlah batu kali yang terletak dekat sebuah kuburan tua. Arca-arca batu tersebut sudah tidak berkepala dan sudah sangat aus, sehingga tidak dapat dikenali 11 identitasnya. Arca pertama dalam sikap duduk berjongkok dengan lutut ke atas. Arca kedua dalam sikap duduk bersila dengan kedua tangan dilipat di depan (sidakĕp). Arca ketiga dalam sikap duduk bersila dengan badan membungkuk ke depan, kedua lengannya sudah hilang. Uraian mengenai ketiga arca tersebut pertama kali dikemukakan oleh Pendeta J.F.G. Brumund (1868). Dalam uraiannya itu Brumund menyebutkan ketiga arca tersebut bertipe Pajajaran, dan sudah tidak berkepala.



    (6)
    Prasasti Ciaruteun


    Prasasti Ciaruteun dipahatkan pada sebuah batu besar yang bentuknya hampir bulat, berukuran sekitar 2 x 1,5 x 1,5 m. Prasasti ini semula ditemukan di tepi Ciaruteun tidak jauh dari muaranya yang terletak di Cisadane. Penemuan prasasti ini pertama kali dilaporkan dalam rapat pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1863. Pada tahun 1893 karena terjadi banjir besar, batu prasasti tersebut hanyut beberapa meter ke hilir dan bagian yang bertulisan terletak di bawah. Baru pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan kembali ke tempatnya semula. Karena Prasasti Ciaruteun ini sering terendam dan dikawatirkan akan mengalami kerusakan oleh kikisan air sungai, pada bulan Juli 1981 batu prasasti ini dipindahkan ke atas, ke tempatnya yang sekarang di Kampung Muara. Usaha pemindahan ini dilakukan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

    Prasasti Ciaruteun sebenarnya terdiri dari dua buah prasasti, yaitu: Prasasti Ciaruteun A, dan Prasasti Ciaruteun B. Prasasti Ciaruteun A terdiri dari empat baris tulisan Palawa dan berbahasa Sanskerta, yang dituliskan dalam bentuk śloka dengan metrum anūsṭubh. Prasasti Ciaruteun B terdiri dari satu baris tulisan yang dipahatkan di bagian atas prasasti Ciaruteun A. Prasasti Ciaruteun B ini ditulis dengan aksara yang berbeda, yaitu huruf yang oleh sebagian peneliti disebut “aksara ikal” (krulletter) atau “aksara śangkha” (conch shell script). Selain kedua prasasti tersebut, pada batu Prasasti Ciaruteun ini terdapat pula pahatan sepasang gambar telapak kaki dan sepasang gambar yang menyerupai “laba-laba”. Berdasarkan bentuk aksara Palawa yang digunakan, Prasasti Ciaruteun ini diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-5, sekitar tahun 450.

    Prasasti Ciaruteun A, berbunyi sebagai berikut:
    Vikkrantasyavanipat eh
    shrimatah purnnavarmmanah
    tarumanagararendrasya
    vishnoriva padadvayam

    kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini milik raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara, raja yang gagah berani di dunia.


    Penutup

    Urutan situs berdasarkan rute yang ditempuh. Lokasi Prasasti Ciaruteun menjadi akhir dari napak tilas kami. Selain Prasasti Ciaruteun, temuan batu – batu prasejarah yang kami tinjau merupakan in situ, berada di tempatnya semula. Pada dasarnya info tentang situs itu diambil dari karangan Prof. Dr. Hasan Djafar dalam "Peninggalan Situs Arkeologi Kampung Muara," dalam Grup Facebook Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya. Apa yang telah dituturkan Mang Hasan, panggilan akrab anggota komunitas untuk Prof. Dr. Hasan Djafar, di lapangan lebih dari sekedar pendeskripsian situs sebagaimana terperi di atas. Kami mendapat gambaran singkat tentang mitologi, keadaan sosial dan sistem religi pada masa prasejarah, termasuk sekilas tentang sejarah kerajaan baik Tarumanegara, Sriwijaya dan Pasundan. Sebagai orang awam saya turut prihatin mengetahui salah satu khazanah peninggalan masa lalu di Situs Kampung Muara lenyap (Prasasti Kebon Kopi 2).

    Terlepas dari acara yang mereka selenggarakan, sudah lama saya menyimpan visi atas ‘perjalanan ke’ dan ‘tujuan berada di' kota Bogor. Jalan – jalan hari itu jauh dari bayangan saya karena hasil dan manfaatnya untuk saya pribadi ternyata melebihi harapan. Kendati begitu, hari itu bukannya tanpa cela. Saya pulang dengan membawa oleh – oleh talas tua yang tidak gembur di mulut sehabis dikukus! Tapi tak mengapalah! Justru hal seperti itu yang membuat hari saya saat itu tetap menjadi lengkap, penuh berkah dan  pe – er – fect.

    Dan bila ada anggota komunitas yang terpancing hendak belajar epigraf gara – gara ikutan napak tilas ini, saya sendiri berkeinginan membaca buku – buku sejarah di Indonesia kembali. Buku sejarah Indonesia yang terakhir saya baca judulnya Perang Pasifik, karya P.K Ojong, tapi... ehem! itu sudah setahunan yang lalu; dan salah satu buku favorit saya, hanya  mengandung banyak kata ‘sejarah,’ tetapi tidak ada hubungannya dengan sejarah Indonesia. Buku itu berjudul The Historian, Elizabeth Kostova. Tapi tiap paragrafnya terasa bermakna, bahkan pada salah satu bagian yang patut direnungkan berbunyi, "... sejarah akan selalu ada apa adanya, dan kita tidak akan pernah mengubahnya. Namun, sejarah dapat dijadikan alat belajar, agar manusia bercermin dan tidak mengulangi pengalaman buruk di masa lalu untuk yang kedua kalinya." 




    "Yanuarita Puji Hastuti, Terima kasih sudah mengajak saya ikut napak tilas bareng Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya, Bogor.”



    Referensi :

    Djafar, Hasan, Dr. “Peninggalan Arkeologi Situs Kampung Muara,” dalam Grup Facebook Napak Tilas Peninggalan Budaya.

    Komunitas Napaktilas Peninggalan Budaya. “Brosur Menyusuri Jejak Tarumanegara.” 2012.


    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint