Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Petualangan 365

  • Senin, 30 Desember 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Sepertinya menuliskan catatan penting untuk menutup akhir tahun akan jadi tradisi. Catatan mozaik kehidupan saya sepanjang tahun 2013 berikut ini adalah penggalan yang tak krusial untuk dipolemiki siapa pun.  Cara ini adalah pertanda syukur saya atas hidup ini.  Berbagi adalah pelajaran yang senantiasa ditekankan Ust. Yusuf Mansyur dan saya merasa damai karena itu.


    Bibi Bodyguard
    ... .Terkadang saya membayangkan Jejes dan My Little Kijang (MLK) sebagai Jem dan Scout  dalam To Kill A Mockingbird. Dalam beberapa hal polah mereka mirip.

    Saya senang  lihat mereka tumbuh dengan afeksi yang menyala-nyala, bertanggung jawab, dan menaruh perhatian sungguh - sungguh. Terlebih sejak Mili melahirkan Maiki, Fidin, Virni, dan Baisi, anggota keluarga baru kami.

    Jejes sudah terlihat  tumbuh akan jadi pemuda tampan. Kini ia sedang giat berlatih nge – band! Anak band! Whew!  Baiklah! Hmmm…  Tak mengapalah bila keinginannya  jadi anak band berlanjut sebagai karir. Karena sedari sekarang saya akan berlatih garang untuk menghalau gadis – gadis yang nantinya hendak menempelinya seperti permen karet. 

    MLK juga sudah terlihat tumbuh menjadi  “gadis sampul”.  Tak sekedar wajah elok yang dimilikinya. Peragaan  jurus – jurus taekwondonya sama gemulainya dengan tarian yang sedang dipelajarinya.  Saya sudah pasti akan ikut – ikutan pusing tujuh keliling bila kelak ia pilih jadi penari  … . Bajunya itu loh! Keseronokan gerakan – gerakan tubuh perempuan dewasa itu loh! Whew!


    Acara Makan yang Menegangkan
    .... Menciduk 2 buah akan dianggap penghinaan, demikian yang saya pikir waktu itu, tiga buah paling sedanglah!  Padahal Kalio Jengkol bukan menu utama, tapi entah mengapa jadi pembicaraan hangat sebelum menyantap.  Saya tidak tahu harus lari ke mana atau pakai alasan apa menolak undangan makan itu. Nyonya rumah sudah berbaik hati menyiapkan hidangan dan ia sendiri adalah pribadi yang menyenangkan.  Waktu lauk itu sampai di mulut,  tercacah oleh kunyahan gigi geligi yang saya rasakan rasa gurih, kenyal. Saya menikmatinya tanpa perlu merasa gelisah akibat pamor aroma khas jengkol itu tuh! Nah, acara makan – makan itu jadi  pengalaman kuliner jengkol pertama yang sukses! Tak pernah saya duga akan menyantap olahan jengkol pada akhirnya.  Lezatnya.… ck ck ck… hmmm … lekker. Hahaha.


    Magnet
    ... .Saya tidak tahu cara menggambarkan hal ini. Tapi sungguh mengherankan ada seseorang yang bisa mengucapkan kata – kata saya. Kata – kata yang tidak pernah saya ucapkan dan selalu berputar – putar di kepala saya. Tetapi ia mengatakannya. 

    Hal ini bisa saja tak istimewa seandainya cuma 1 – 2 kali  terjadi atau dia memiliki kemampuan membaca pikiran orang. Saya senang, apalagi orang yang sama yang mengucapkannya. Tentu saja dia belum  saya beritahukan tentang hal ini. Ini 'kan rahasia! Hmmm ... Kasih tahu gak yaaaaaaaaa? ...


    Having Fun
    ... .Saya terus teringat bagaimana ibuku memaksa – maksa kami melahap 1 juz dalam 1 jam. Untuk orang awam 1 juz hanya berhasil dicapai ketika Ramadhan tiba dan itu pun dibagi dalam 5 waktu.  Meskipun tantangan ini tadinya saya terima, tetapi pesan moralnya ternyata banyak.  Untuk muslimah ada periode dimana ia haram membaca Al Qur’an.  Saya batal ikut karena tamu bulanan ini dan jadi introspeksi bahwa seseorang harus cukup profesional untuk membaca ayat – ayat Allah secara nyaring sesuai tajwid yang benar dalam tempo singkat.

    Yang membuat saya terkesan ketika beliau menggambarkan “pembacaan  Al Qur’an itu untuk bersenang – senang!” ...menekuri itu dan rasanya … hmmm… ya … Wow! … Saya sudah pernah dengar Al Quran adalah obat hati. Membacanya tidak saja kita akan mendapatkan pahala, tetapi juga ketenangan batin.  Berbahagialah orang yang menjadikan Al Qur’an untuk bersenang – senang.  Mau having fun mudah sekali arahnya. Hidup ibu!


    Bogor, Pada Suatu Hari
    ... .Begitu acara selesai, dan saya berada di rumah seorang teman, saya sadari sesuatu yang luar biasa barusan terjadi. Seluruh keinginan yang saya angankan di kota itu seketika terwujud! Kurang dari satu hari! Bagai menjentikkan jemari.  Tapi, maafkan ke-lebay-an saya! Tidak seluruhnya kok! Ada satu hal yang  urung  digapai. Tetapi, pencapaian 90%, bagi saya sudah mencakup semuanya. Yang 10% sebetulnya bisa saja terwujud  kalau keegoisan saya memainkan peran lebih besar.

    Waktu seorang teman menanggapi  itu, ia bilang, “Allah akan mengabulkan permintaan kita.  Mungkin bukan sekarang, bukan besok, tapi suatu saat.”


    Petualangan
    Perjalanan tahun ini bagai sebuah petualangan.  Tapi bukan petualangan yang disiratkan sebagai usaha  coba – coba.  Banyak hal yang pertama kali baru dilakukan. Untuk mengerjakan itu perlu keberanian, kenekatan, dan kesungguhan.  Semua itu seharusnya tidak dilakukan untuk  menguji nyali, memenuhi kepuasan napsu,  mengocok andrenalin atau menantang bahaya. Namun ternyata, ada bagian yang secara mutlak terdeteksi sebagai sebuah kesalahan. Namanya kegilaan.

    Kegilaan ada banyak ragamnya. Andrea Hirata menggambarkannya begini : (1) untuk mereka yang meminta kopi saja, tanpa air, dan memakan kopi itu seperti sagon tercatat sebagai penderita sakit gila dan masuk peringkat  29; (2) orang yang senang digelari yang tidak- tidak dianggap sakit gila nomor 17; (3) mereka yang minum dari gelas kosong, seolah – olah ada kopi di dalamnya dinomori  27; dan (4) untuk pengumpul barang - barang rongsokan tidak berguna tetapi sayang dibuang  berada di nomor 28.

    Gila senam, gila masak, gila berguru pada ibuku, gila curcol di blog sendiri rasanya tidak cocok dalam 44 kategori yang Andrea Hirata ungkapkan. (Warning! Silakan ya cermati betul isi buku – buku penulis itu sehingga  tidak salah kaprah.  Ke - 44 kategori versi AH cuma disinggung sedikit di sini soalnya.) Konten soal sisa kegilaan yang belum diungkapkan sudah pasti sangat memalukan dan tidak terhormat.

    Menukar kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki? Ah, tidak!  Sangat tidak berharga menukar kegilaan dengan cinta dan kecintaan yang datang bertubi - tubi.

    Tahun 2013 merupakan petualangan yang menakjubkan. Tak memiliki apapun untuk mencapai suatu resolusi bukan jaminan kemustahilan.  Ada orang yang berhasil meraih resolusinya (secara  berturut – turut dalam satu kurun waktu), padahal itu sesuatu yang sederhana, tapi memang sesuai dengan kapasitasnya. Ada orang yang resolusinya tersisa 20% sebagaimana yang disebutkan akhir tahun 2012 ternyata menunjukkan pertanda positif tepat satu tahun kemudian - muncul begitu saja bagai hujan di musim panas, jamur di musim hujan atau mendapat durian runtuh, yah semacam itulah! - Mudah – mudahan cita -cita itu tergenapi di tahun masehi 2014.

    Iya

    Tuhan menjawab doaku sama persis seperti yang tidak diminta. Kita tidak bisa menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel – variabel dalam fungsi linear karena jika demikian ketentuan Tuhan dapat kita prediksi macam prakiraan cuaca.  Itu kata penulis favorit saya dalam Laskar Pelangi. Kata – kata itu membuat saya merasakan suatu luapan yang membanjir di dalam dada.


    Permohonan
    Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Engkau, Tuhan Semesta Alam. Dengan segala kerendahan hati kumuliakan diriMu.

    Allahumma shalli 'ala Syaidina Muhammad Wa'ala 'ali Syaidina Muhammad.

    Semoga hari esok tetap menjadi hari penuh pengampunan dan berkah; bermanfaat lebih banyak buat orang lain, dicintai lebih besar oleh yang dicinta; mendapat cinta dan kecintaan baru segudang, berlabuh dan melahirkan anak - anak kami yang tampan - tampan, cantik - cantik, dan sehat - sehat, dan mereka bernama hafidz dan hafidzah, serta sejahtera, juga sehat wal afiat. Pun orang tuaku diberi kesehatan yang prima sehingga bisa menyaksikan pernikahanku dan kelahiran anak - anak kami.

    Hanya Engkau yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, maka kumohon muliakanlah dia, dia, dan dia pula.

    Ya Rabb, tahun 2014 saatnya memilih pemimpin. Harapan sosok dari Gen X yang akan mengambil alih tampuk kepemimpinan untuk merapikan organisasi pemerintahan negeri ini sangat besar. Banyak priyayi lahir dari angkatan ini dan memiliki karisma sebagai pemimpin, maka perkenankanlah sosok yang cerdas, bijaksana, tegas, dan berakhlak itu menjadi pemimpin kami.

    Ya Rabbi, pertambahan umur serta segala implikasinya tidak bisa dihindari, namun berilah semangat kemudaan itu sehinggga hambaMu senantiasa bercahaya dan caiyo, termasuk dikabulkan doa yang off the record itu ya, Ya Allah! Amin YRA. (Q)

    buat eL

  • Senin, 09 Desember 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • apakah aku sedang jatuh cinta?
    tanyaku pada bayangdiri
    yang menua di dunia dasar cermin
    ialah dunia, satusatunya dunia,
    yang masih bebas dari bendabenda
    tanpa mesti kehilangan warna.

    barangkali aku akan terus
    mengulang tanya,
    andai tibatiba cuaca tidak menjadi
    semacam etalase kebimbangan
    dan ketidakpastian
    yang sungguh terasa kekal

    sendiri, seperti lidah api
    ketika meruncing lentur
    tiap dihembus angin, kubiarkan
    pertanyaanpertanyaan tentangmu
    jadi rahasia bagi hatiku
    jadi sajaksajak
    yang memilih enggan meninggalkan
    jejak

    kita
    cuma jeda di sela banyak Tanda.



    Timur Sinar Suprabana, Mei 2008

    Menuju Situs Cibalay, Gunung Salak

  • Senin, 25 November 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Menuju Vila Sutiyoso


    Di Cibalay ada sembilan titik lokasi situs yang sudah berhasil dibuka. ( http://bogor-kita.com/wisata/obyek-wisata/3625-situs-cibalay-bogor-lebih-luas-dari-situs-gunung-padang-cianjur.html). Sembilan lokasi tersebut, meliputi Situs Endong Kasang seluas 80 meter persegi, Situs  Bale Kambang 80 meter persegi, Situs Arca Dhomas 1500 meter persegi, Situs Kebon Kopi 1000 meter persegi, situs Batu Bergores 500 meter persegi, Situs Jami Piciing 1000 meter persegi, Situs Cipangantehan 2500  meter persegi, Situs Pasir Manggis 100 meter persegi, lalu Situs Curug Cibalay 700 meter persegi.

    Di kompleks Cibalay itu, rencananya, Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya akan membawa kami dengan rute Situs Punden Berundak Pasir Manggis I, Situs Pasir Manggis II, Situs Cibalay, terakhir Situs Bale Kambang.  Dari penggambaran Kang Dadi Tea dalam “Situs Cibalay: Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak”, Situs Punden Pasir Manggis I dan II terletak di lereng Gunung Salak, menempati areal yang sempit dan diapit oleh tiga jurang, berukuran 5x3 meter, dan orientasinya menghadap ke utara. Tidak kurang 14 menhir berbagai ukuran terdapat di atas ketiga undakannya. Adapun Punden Pasir Manggis II terletak agak ke bawah dari Punden Pasir Manggis I. Punden yang terdiri atas hanya satu teras ini tampak sudah tidak utuh lagi. Banyak batu penyusunnya yang sudah hilang. Batu menhirnya pun tinggal dua buah.

    Tak ada papan yang menjelaskan bebatuan ini


    Dibandingkan napak tilas sebelumnya, target objek kali ini mengandung tantangan yang berbeda. Di Gunung Salak tersimpan misteri tradisi megalitik. Kami pun harus hiking. Bayangan keseruan berpetualang : menembus belantara, menyaksikan peninggalan jaman megalitik, menambah pengetahuan tentang bidang lain, bertemu teman – teman sekaligus uji fisik mengantar saya pergi bergabung dengan mereka pada tanggal 17 November 2013.

    Petualangan dimulai dari Villa Sutiyoso sebagai start point kami. Kami yang dimaksud di sini adalah tiga wanita yang ketinggalan rombongan. Kami hendak menyusul dengan kecepatan penuh. Saya masih optimis mereka jalan pelan - pelan demi menunggu kami. 

    Memasuki hutan pinus

    Jalanan yang dilalui adalah tipe jalan setapak yang berliku dan belukar baik di lapangan terbuka hingga memasuki hutan pinus. Lima belas menit mendaki di lereng dengan kemiringan sekitar 20 derajat setara dengan kegiatan mix impact aerobic dengan waktu yang sama. Indikatornya : degup jantung yang berpacu cepat dan napas yang memburu. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Perbedaannya, dalam seperempat jam, gerakan inti dalam senam erobik selesai, maka dalam hiking, pendakian masih berlanjut. Wheew!

    Meskipun di hutan, kemacetan tak terhindari. Kami sibuk berpose ria di depan kamera. :P Ketertinggalan 15 menit dari rombongan di depan jadi lebih lama dari yang diperkirakan, dan kemudian cuaca berubah. Langit mendung! Setetes air yang menerpa wajah bikin panik. Kehujanan tanpa tempat bernaung di hutan? Wah! Enggak deh! Meneruskan perjalanan tanpa petunjuk pasti, cuma menjerumuskan diri. Sudah membuat orang lain menunggu sebelumnya, apakah kini harus menyusahkan mereka, misalnya, karena kami tersesat di hutan? Wah! Enggak juga deh!

    Mendung menggantung
    Waktu akhirnya saya putuskan turun, saya tahu klimaks yang harapkan berubah antiklimaks. Sebagian diri saya terasa gregetan: sudah jauh-jauh, sudah bersiap sejak dini hari, sudah berada di Stasiun Bekasi ketika langit masih temaram, sudah menyiapkan bekal lezat, sudah begadang demi menyelesaikan pekerjaan hari Senin, kok, hilang begitu saja? …  Saya sudah merasakan kegalauan sejak tiba di Stasiun Bogor pada pukul 07.16! Kata teman seperjalanan, kami  begini  sudah takdir. Ibuku pun berkata, apabila kita menjalani segalanya dengan keikhlasan maka semua itu akan tetap terasa nikmat. Iya betul. Maka saya nikmati saja pemandangan hijau royo – royo, udara segar, jalan setapak, dan guyuran hujan, serta perjalanan bersama teman- teman karena dari barang bukti berupa foto–foto, sebagian kecil menunjukkan betapa lucu dan ‘memalukan’ kelakuan kami, tetapi sisanya keren – keren. Haha.

    Yang mengusik hati saya adalah ketika kami kembali melalui jalan yang sama hendak keluar dari hutan:  kami tidak menapaki jejak yang sama! Saat hendak menyusul anggota komunitas, dengan sengaja dan geli sendiri, saya menumpuk dua batu dan beberapa ranting yang ditata sedemikian rupa di dua tempat yang berbeda, namun masih di jalan setapak yang sama. Namun ketika kembali, dua penunjuk itu tak diketemukan! Saat memasuki hutan pinus, kami melompati sebatang pinus tumbang. Sebatang pohon yang kemudian dipertanyakan dimana gerangan ia berada, ternyata dan pada akhirnya kami lihat pohon itu berada di sebelah timur di kemiringan 30 derajat dekat perbatasan hutan.  Langkah kami telah bergeser beberapa meter dari jalur semula tanpa disadari. Saya pernah dengar pendaki yang tersesat dan berputar – putar tidak keruan di dalam hutan. Hmmmm, kami bisa saja seperti itu. Hiiii …. Seram!

    Tak ada papan yang menjelaskan bebatuan ini

    Kami pun menuju Situs Cibalay yang berada di Kampung Cibalay, Desa Tapos, Kec. Tenjolaya dengan rute jinak.  Di jalan kami berpapasan dengan para pria tampan berpakaian hitam – hitam, tetapi menyeker. Pedupaan, bantal, dan kujang adalah sebagian perlengkapan yang mereka bawa. Mereka melangkah ke arah yang berlawanan. Saya enggan bertegur sapa. Sementara, jauh di depan kami ada dua wanita  telah terlebih dahulu ke arah yang  kami tuju.  Untuk tempat terpencil seperti itu, lalu lintas para pejalan kaki  cukup ramai di hari Minggu.

    Papan : Situs Megalitik Arca Domas. Salah Kaprah

    Tiba di lokasi, terpampang papan pemerintah yang menyatakan tempat itu sebagai “Situs Megalitik Arca Domas” untuk Situs Cibalay. Dari penjelasan narasumber, Bpk.Inotji Hidajatullah (Sejarawan Bogor) langsung di lapangan dan referensi  ( https://www.facebook.com/notes/kang-dadi-t%C3%A9a/situs-cibalay-jejak-tradisi-megalitik-di-gunung-salak/10150350810961082 )  pernyataan itu, salah kaprah.  Situs Cibalay ini belum pernah dilaporkan tentang keberadaan arca. Yang ada hanyalah kompleks punden berundak. Situs Cibalay menempati area yang cukup luas, sekitar empat hektar, dan merupakan salah satu punden berundak dengan komponen yang cukup lengkap. Teras utamanya ada diundakan paling tinggi dengan beberapa batu menhir di atasnya. Situs ini pertama kali dilaporkan oleh De Wilde (1830), kemudian Junghuhn (1844), lalu Muller (1856), dan terakhir oleh N. J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige  Diensttahun 1914. 

    Punden berundak

    Adapun dua wanita yang kami lihat di perjalanan ternyata sudah ambil posisi di sebuah punden. Salah seorang dari keduanya sedang duduk sambil membaca Asmaul Husna. Di sisinya terdapat taburan kembang setaman dan kemenyan dengan asap yang mengepul. Lalu, kami diinformasikan tentang  sebuah rombongan orang  (100-200 orang(?)) melakukan ritual tertentu pada malam sebelumnya di situ. Saya jadi teringat beberapa saat sebelumnya telah bersisian dengan pria - pria tampan berpakaian hitam – hitam, …. Saya masih berharap apa yang saya dengar, lihat dan simpulkan sendiri tentang kelompok itu, keliru.

    Pemanfaatan titik - titik di sekitar situs untuk kepentingan pribadi

    Referensi Situs Cibalay dapat dengan mudah diperoleh di internet. Tapi mempelajarinya di bawah informasi pemandu jalan dan narasumber, dan dengan cara mendaki dan menyaksikan sendiri peninggalan itu sangatlah mengasyikkan dan berharga. Meskipun mendapat secuil rekaman memori situs, tidak mengapalah. Karena  keseluruhan aktivitas kali ini - sekali lagi - sudah menambah wawasan, menjalinkan silaturahmi dan dari segi hiking-nya memperbarui kemaskulinan – bahkan buat para wanita. (Q)


    Terima kasih:
    •    Iswanti
    •    Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya, Bogor, Jawa Barat


    Cetakan

  • Senin, 11 November 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • /1/
    lapar membuat pikiran jadi liar, pilihan membuat keisengan, hidup kami dipenuhi ketidaktenteram dan kami tak pernah bosan, kebosanan hanyalah dinding kertas yang mudah sobek oleh kulit basah jari kami, kami melompat dari ketegangan ke pucuk duri, ketenteraman hanya pelontar yang memantul-lesatkan kami dari tepi ke tepi, ujung ke ujung, melompat-mbandul, kami masuki ruang antara di amana kesedihan dan kegembiraan selalu dipertentangkan, hidup – mati dipertaruhkan, lapar-kenyang diperebutkan, kami hidup membawa lupa

    /2/
    kami tak mengerti  apa yang dikatakan dunia tapi kami merasa desakan emosi yang kuat di dalam dada, dada yang tak bias berkata tapi menyerap semua bahasa dari udara, menggumpal, menggelembung, bergulung-gulung, menjebol bendungan kelopak mata, udara jadi basah, bahasa jadi basah, hanyut di tangis kami, kami jadi bisu, kami tak mengenali satu sama lain, kami asing, terasing, kami bicara dalam bahasa terendam, bahasa yang tenggelam, isyarat kami tak terpahami, suara kami lari, lari menubruk mulut kami sendiri, kami merasa mati di rumah sendiri

    /3/
    kami percaya tubuh kami hanya cetakan tapi kami tak percaya kutukan: lubang hitam yang memaksa tubuh kami jadi bidak, prajurit buta, dan bukan apa saja, tapi kami merasa ada kejanggalan pada diri kami, tubuh kami dipaksa kafir dari pikiran dan kemauan, jiwa hidup bersih, tubuh rusuh dihidupi dosa, kami sempat bertaruh pada diri sendiri: jika tuhan diam kami putuskan bunuh diri, tapi tak ada perubahan, kami seperti debu dalam pusaran topan, kami tak pernah dihiraukan tuhan, kami sampai pada ujung kerelaan dan kami harus berjuang melawan sesuatu yang tak pasti dalam tubuh kami: menjadi tua tak berguna atau bermain petak umpet seperti anak – anak, hidup kami dimainkan kata – kata

    /4/
    kami adalah penyekat sekaligus penghubung, kami  pencakup dan pemasuk antara ada dan tiada, kami adalah perangkat sempura, diri kami adalah segalanya, diri kami adalah alam semesta, tubuh kami dipenuhi benda- benda, ruh kami dihuni sketsa, jiwa kami ditumbuhi imajinasi, kenyata-beradaan kami dihidup-napasi jagat raya, kami adalah bagaimana kami memaknai


    F Aziz Manna, 2008

    Mata yang Memandang

  • Senin, 04 November 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Saya membayang apa yang ada di benak pemilik sebuah foto  dengan perkataan Seno Gumiro Ajidarma yang suatu ketika  memotret beberapa objek di Jepang dan dituangkan dalam tulisan “Memotret Jepang”, “… , kenapa saya memotret?”  urai budayawan itu  memulai  argumennya mengapa ia memotret objek  yang ‘tidak – tidak’  di sana,  “Pasti bukan karena saya ingin membuat foto yang bagus, apalagi yang bagus seperti pendapat semua orang.  Lagi pula kata bagus ini sulit saya pertanggungjawabkan.  Saya memotret sesuatu karena saya tertarik kepada apa yang saya potret.  Jadi, foto itu tidak mempresentasikan obyeknya, melainkan subyeknya, yakni pandangan saya.  Sebuah foto merepresentasikan kembali pandangan saya.  Fotografi adalah mata yang memandang."

    Saya tertarik pada sebuah foto. Dari sekian banyak foto yang dipajang seorang teman,  akhirnya saya menekuri pada  yang satu itu.  Foto yang saya maksud  adalah salah satu dari  beberapa foto dengan tema yang berbeda – beda. Melihat foto itu  secara obyektif, yah, apa mau dikata, biasa - biasa saja.  Tebakan paling jitu, objek itu pasti diambil dengan kamera telepon selular. Harap maklum, tebak - tebak buah manggis.

    Seperti apa deskripsinya memang takkan saya ceritakan secara terperinci,  apalagi menampilkan foto itu. Sengaja saya sensor.  Karena bukan niat saya hendak mempermalukannya, justru sebenarnya sebaliknya dan hendak menjaga "privasinya". Jadi bersabarlah untuk mendengar penjelasan saya.

    Mengapa foto itu dipampang? tanya saya dalam hati.  Cukup lama saya menatapnya. Saya tak tahu mengapa mata saya terpikat pada foto yang sesungguhnya tidak  eye catch itu.  Foto itu adalah gambar dua buah kapal beriringan yang diambil dari atas bukit.  Imajinasi saya  mengatakan bahwa kedua kapal itu hendak merapat ke sebuah pelabuhan.
     
    Selagi memandanginya tiba - tiba saya  ikut – ikutan senang dengan  pemandangan alam itu. Karena seolah – olah mendengar suaranya.  Menekuri  kembali kata – kata yang pernah diucapkannya.  Kemudian, merasuk  ke dalam dirinya, lalu terambil kesimpulan bahwa antara mata yang memandang dan kata – kata yang terucap  klop benar.

    Saya ingat pernah berintuisi tentang seorang teman lama dan ia kemudian menjadi orang pertama sebagaimana yang saya bayangkan. Bila keyakinanmu benar pada seseorang, maka itu perasaan yang menyenangkan. Demikian pula sekarang. Saya merasa, memang begitulah ia.  Ia tak bermuslihat.  Matanya  telah memandang jauh ke seberang dan memotret  pemandangan itu. Setelah itu membaginya pada kami. Spontan. Apa yang kita lihat dengan mata telanjang maka begitu pulalah realitasnya.

    Di jejaring sosial, banyak ragam foto yang diunggah orang. Foto dirinya dengan keluarga batihnya, foto aktivitas anak - anaknya, foto beramai - ramai bergaya dengan teman - temannya, foto dirinya pasang aksi bak foto model, dan macam - macam lainnya yang lucu dan beradab.  Foto begitu juga bagus, tapi bagi saya kadar 'like'-nya sedang-sedang saja! Karena pancaran kebahagian mereka itu terkadang bikin iri. Hehe. Biar begitu sekali waktu mau juga kok, saya beri mereka jempol karena rasa iri itu tidak destruktif. Andaikata jempol saya lebih dari empat tentu akan saya bagi buat mereka semua. Namun, dua jempol yang saya miliki malah berada di kaki, walah, itu 'kan tidak sopan! :P ... Banyak foto bagus, namun tidak semua foto yang dijepret sesuka hati jadi foto yang akan saya sukai, kecuali foto dua kapal tadi itu, kini jadi foto IST. 

    Syukurlah Seno Gumira Ajidarma telah membuat definisi seperti itu, bahkan saya setuju seribu persen.  Karena buat seseorang yang cuma pakai kamera hp dan pocket camdig, mengintip  The Arrow Book of Photography, Allan Cash barang sebentar dan tak  pernah ikut kursus fotografi  (Ups! Ketahuan deh,  lagak saya bak kritikus! Berani - beraninya menilai miring foto orang lain padahal sama saja. Memalukan! Haha) uraian Ajidarma  yang satu itu  sangat memotivasi.

    Fotografi bukan bidang yang ingin saya pelajari, otodidak sekalipun, namun bila ada kesempatan memotret rasanya seru bereksperimen mengambil gambar sesuka hati, dan sebagaimana yang saya kutip sekali lagi dari Seno Gumira Ajidarma: "Sebuah foto merepresentasikan kembali pandangan saya." (Q)




    Daftar Pustaka
    “Memotret Jepang,” Buletin Informasi Nuansa, Oktober – November 1999, Jakarta : Pusat Kebudayaan Jepang.


    Ke Palembang

  • Senin, 28 Oktober 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Masjid Agung Palembang
    Letak Geografis

    Berdasarkan http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Selatan, Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak antara 1 derajat sampai 4 derajat Lintang Selatan dan 102 derajat sampai 106 derajat Bujur Timur dengan luas daerah seluruhnya 87.017.41 km².

    Batas batas wilayah Provinsi Sumatera Selatan sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu.

    Secara topografi, wilayah Provinsi Sumatera Selatan di pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Sedikit makin ke barat merupakan dataran rendah yang luas. Lebih masuk ke dalam wilayahnya semakin bergunung-gunung. Di sana terdapat bukti barisan yang membelah Sumatera Selatan dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 900 - 1.200 meter dari permukaan laut. Bukit barisan terdiri atas puncak Gunung Seminung (1.964 m), Gunung Dempo (3.159 m), Gunung Patah (1.107 m) dan Gunung Bengkuk (2.125m). Di sebelah Barat Bukit Barisan merupakan lereng. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai beberapa sungai besar. Kebanyakan sungai-sungai itu bermata air dari Bukit Barisan, kecuali Sungai Mesuji, Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin. Sungai yang bermata air dari Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Bangka adalah Sungai Musi, sedangkan Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rupit dan Sungai Rawas merupakan anak Sungai Musi.

    Masjid Muhammad Cheng Ho, Jakabaring

    Sejarah

    Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.

    Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari mancanegara terutama dari negeri China.

    Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, Kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai kota kerajaan.

    Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Selatan)
     
    Di Tepi  Sungai Musi, Gandos.
    Seekor induk itik bersama anak - anaknya

    Transportasi

    1.    Bus Jakarta - Palembang
    • Bus Kramat Jati harga Rp170.000/orang. Tersedia di Terminal Pinang Ranti, Kampung Rambutan, Tanjung Priok, Pulo Gadung, Rawamangun, Grogol, Kalideres. Keberangkatan dari Terminal Lebak Bulus pukul 14.00, tiba di Palembang sekitar pukul  6 pagi.
    • Pahala Kencana. Tersedia di Terminal Lebak Bulus dan Rawamangun. Dari Rawamangun berangkat pukul 14.00 WIB, tiba pukul 11.00. Harga Rp220.000/orang.
    • Lorena. Tersedia di Terminal Lebak Bulus dan Rawamangun. Harga tiket VIP(40 bangku) adalah Rp225.000/orang. Tiket eksekutif (30 bangku) dikenakan harga Rp280.000/orang. Keberangkatan dari Ramawangun pukul 12.00.

    2.    Kapal Roro – Kereta Api
    Bertolak dari Pelabuhan Merak, Banten menyeberang ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Harga tiket per 25 Juni 2013 (http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/24/6/163705/Ini-Daftar-Penaikan-Tarif-Penyeberangan-Merak-Bakauheni) :

    Penumpang pejalan kaki:
    Dewasa Rp11.500 menjadi Rp13.000
    anak-anak Rp7.000 menjadi Rp8.000

    Kendaraan:
    Gol 1 Rp20.000 menjadi Rp21.000
    Gol II Rp32.500 menjadi Rp39.000
    Gol III Rp78.500 menjadi Rp93.000

    Sesampainya di Lampung menuju stasiun kereta api. Dengan Kereta Sriwijaya II, keberangkatan bisa  dilakukan dari dua tempat ( https://tiket.kereta-api.co.id/ ):
    •    Kotabumi, Lampung – Kertapati, Palembang  jadwal  21.36 – 04.10
    •    Tanjung Karang, Lampung – Kertapati, Palembang jadwal 20.00 – 04.10
    (Saran keberangkatan via Stasiun Tanjung Karang demi  keamanan perjalanan.)

    Harga tiket bervariasi:
    •    Kelas eksekutif (Eks A) Rp130.000/orang
    •    Kelas bisnis (Bis N) Rp90.000/orang

    3.    Pesawat
    Maskapai yang melayani rute Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Jakarta menuju  Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang  menuju ada tiga Garuda Indonesia Airways, Lion Air, dan Sriwijaya Air.

    Pasar 16 Ilir

    Pasar 16 Ilir terdengar tak asing karena tahun 80 – 90an, RRI rutin menyiarkan harga cabai keriting, bawang merah pipilan, kol gepeng, dan seterusnya dari beberapa pasar di tanah air, termasuk pasar ini. Saya berharap lihat pasar becek yang penuh dengan rempah – rempah, sayur mayur dan buah – buahan eksotik di sana. Tahunya, pagi itu pada pukul setengah tujuhan pasar masih lengang. Hanya nampak pedagang buah. Buah – buahan yang dijaja, misalnya apel, pir, kelengkeng, jeruk, dan alpukat. Pasar itu sendiri merupakan bangunan bertingkat yang mengingatkan saya pada Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Untunglah, di satu sudut seorang penjual kerupuk kemplang sedang menggelar dagangannya sehingga membuat saya terhibur. Sebab ini adalah kerupuk lezatos en favoritos. Kerupuk yang mekar dan matang karena dibakar. Lekker!

    Legenda Hantu Banyuasin, Sungai Musi

    Legenda Hantu Banyu Sungai Musi Palembang

    Sejak berabad – abad sungai menjadi sumber kehidupan dan peradaban manusia. Khazanah kebudayaan sepanjang aliran Sungai Musi penuh dengan jejak masa lalu. Legenda Hantu Banyu Sungai Musi Palembang, salah satu tradisi lisan yang beredar di sana.

    Alkisah hiduplah seorang abdi raja bernama Banyu Hitam. Ia adalah abdi Putri Kembang Dadar, salah seorang keturunan raja Sriwijaya.Tapi sifatnya sangat congkak. Ia sering memamerkan kekayaan gending emas keluarga raja kepada para pejabat bangsawan Palembang. Padahal, ia adalah pendekar yang berbakti pada raja, namun tabiatnya yang loba itu membuat keluarga sang raja membencinya. Karena kelakuannya itu, Banyu Hitam dipecat dan dikutuk menjadi ikan.

    Banyu Hitam menghuni tepian hutan berawa hitam (air hitam) sekarang disebut Way Hitam. (Air yang mengalir serong-kini nama kecamatan-ke Sungai Musi ini melintasi perbatasan hutan Bukit Besak dan Bukit Kecik. Berakhir, melebar membentuk kawasan rawa yang sangat luas yang dalam bahasa Palembang disebut Lumpur Gandus.

    Banyu Hitam minta kepada ahli nujum kerajaaan yang ditemuinya agar ia berumur panjang dan menghasilkan keturunan.  Mereka mengabulkannya menjadi ikan besar penghuni Sungai Musi. Apalagi setelah Banyu Hitam menikah dengan Putri Musi yaitu wanita keturunan kerajaan Batanghari yang konon adalah penguasa sembilan anak sungai yang bermuara ke laut melalui Sungai Musi.

    Ia bukanlah  ikan sembarang ikan karena sosoknya berkulit manusia, tapi wajahnya menampakkan keangkuhan. Penduduk di Kota Palembang percaya adanya ikan ini dan mereka menyebutnya Hantu Banyu.

    Klenteng Hok Tjing Rio, Pulau Kemaro
    Pulau Kemaro

    Pulau ini merupakan sebuah delta kecil di Sungai Musi. Letaknya  sekitar 6 km dari Jembatan Ampera.  Pulau Kemaro terletak di daerah industri,yaitu di antara Pabrik Pupuk Sriwijaya dan Pertamina Plaju dan Sungai Gerong.  Pulau Kemaro berjarak sekitar 40 km dari kota Palembang. Pulau Kemaro adalah tempat rekreasi yang terkenal di Sungai Musi. Di tempat ini terdapat sebuah vihara Cina  (Klenteng Hok Tjing Rio). Di Pulau Kemaro ini juga terdapat kuil Buddha yang sering dikunjungi umat Buddha untuk berdoa atau berziarah ke makam. Di sana juga sering diadakan acara Cap Go Meh setiap Tahun Baru Imlek.

    Di Pulau Kemaro juga terdapat makam dari putri Palembang. Menurut legenda setempat, pada zaman dahulu, seorang putri Palembang dikirim untuk menikah dengan seorang anak raja dari Cina. Sang putri meminta 9 guci emas sebagai mas kawinnya. Untuk menghindari bajak laut maka guci-guci emas tersebut ditutup sayuran dan ketika sang anak raja membukanya dilihatnya hanya berisi sayuran maka guci-guci tersebut dibuangnya ke sungai. Rasa kecewa dan menyesal membuat sang anak raja memutuskan untuk menerjunkan diri ke sungai dan tenggelam. Sang putri pun ikut menerjunkan diri ke sungai dan juga tenggelam. Sang putri dikuburkan di Pulau Kemaro tersebut dan untuk mengenangnya dibangunlah kuil.

    Klenteng Hok Tjing Rio, Pulau Kemaro

    Benteng Kuto Besak

    Sumber tentang benteng ini : http://sumselprov.go.id/index.php?module=content&id=21. Di sana dikatakan bahwa bangunan ini dibangun selama 17 tahun di mulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada hari senin tanggal 21 Februari 1797. Pemprakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 - 1758) dan pembangunannya dilaksanakan oleh Sultan Mahmud Badaruddin, sebagai pengawas pembangunan dipercayakan kepada orang-orang China.

    Benteng Kuto Besak Palembang mempunyai ukuran panjang 188,75 meter, lebar 183,75 meter dan tinggi 9,99 meter (30 kaki) serta tebal 1,99 meter (6 kaki). Di setiap sudutnya terdapat bastion(baluarti) bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lainnya. Tiga bastion yang sama tersebut merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak, di sisi timur, selatan dan barat terdapat pintu masuk lainnya disebut lawang buritan.

    Suatu kebanggaan bagi wong Palembang bahwa Benteng Kuto Besak merupakan satu-satunya benteng yang berdinding batu dan memenuhi syarat perbentengan/pertahanan yang dibangun atas biaya sendiri untuk keperluan pertahanan dari serangan musuh bangsa Eropa dan tidak diberi nama pahlawan Eropa.

    Benteng Kuto Besak, Palembang
    Jembatan Ampera

    Jembatan ini menghubungkan dua daratan yaitu Seberang ulu dan Ilir. Munculnya ide dalam pembangunan jembatan tersebut yaitu sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

    Panjang jembatan ini adalah 1,117m, dengan lebar jembatan 22m, dan tinggi kurang lebihnya 11,5m dari permukaan air. Jembatan tersebut memiliki bobot sekurangnya 944 Ton. Jembatan Ampera memiliki dua menara yang masing-masing tingginya adalah 63m dari permukaan tanah. Menara tersebut digunakan sebagai mesin gerek untuk mengangkat bagian tengah pada jembatan ampera ketika ada kapal yang akan melintas.

    Jembatan ini mulai di bangun pada bulan April 1962 setelah mendapat persetujuan dari bapak Presiden RI. Awalnya jembatan ini diberi nama Jembatan Bung Karno, atas penghormatan masyarakat terhadap presiden yang telah memperjuangkan impian masyarakat Palembang dalam pembangunan jembatan tersebut. Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan antiSoekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Demikian dalam http://www.surgaindonesia.com/2013/01/sejarah-jembatan-ampera-amanat.html 

    Jembatan Ampera, Palembang

    Museum Sultan Mahmud Badaruddin

    Dalam http://travel.okezone.com/read/2011/01/14/408/413990/redirect dikatakan  di Museum Sultan Mahmud Badaruddin pengunjung bisa menemukan berbagai peninggalan sejarah dari mulai koleksi foto prasasti Kedukan Bukit, patung-patung Buddha kuno dan Amarawati Ganesha, serta berbagai sisa-sisa sejarah lainya termasuk yang berasal dari era Sriwijaya.

    Sultan Mahmud Badaruddin II adalah penguasa Palembang sejak 1803 sampai 1821. Museum ini pernah menjadi istana Kesultanan Palembang Darussalam. Awalnya disebut sebagai Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo, bangunan ini bersama dengan Masjid Agung Palembang dibangun pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I. Berbeda dengan bangunan lain dari era yang sama yang menggunakan kayu, istana ini dibangun dengan batu bata.

    Dengan kedatangan Belanda pada abad ke-17, istana diduduki oleh tentara kolonial. Selama perang Palembang pada 1819, Belanda mendaratkan 200 pasukannya yang ditempatkan di Keraton Kuto Lamo. Setelah Sultan Mahmud Badadruddin II ditangkap dan diasingkan, Belanda menjarah dan menghancurkan bangunan-bangunan di Palembang, termasuk Keraton Kuto Lamo. Pada tahun 1823, Belanda mulai merekonstruksi reruntuhan bangunan.  Reruntuhan Keraton Kuto Lama, dibangun kembali menjadi tempat tinggal komisaris Kerajaan Belanda di Palembang, Yohan Isaac van Sevenhoven. Pada 1842 bangunan itu selesai dan secara lokal dikenal dengan rumah siput.

    Sejarah memegang peranan penting akan keberadaan bangunan ini ketika Jepang tiba di tahun 1940-an. Dengan Perang Dunia ke-2 yang berkecamuk di Pasifik, bangunan bersejarah ini dimanfaatkan Jepang sebagai basis militer mereka. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, bangunan ini menjadi pangkalan militer resimen IV Indonesia: Sriwijaya.

    Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan tempat yang sempurna untuk menjelajahi sejarah Palembang. Dari era Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam, era kolonial Belanda dan pendudukan Jepang hingga masa awal kemerdekaan Indonesia semua disajikan dalam 368 koleksinya. Arsitektur bangunannya sendiri termasuk unik karena merupakan kombinasi dari masa  kolonial Belanda dan gaya asli istana Palembang.


    Kembali Pulang

    Hari terakhir kami tutup dengan menyantap maskot kuliner Sumatera Selatan, yakni pempek. Tepatnya, pempek kapal selam sebagai sarapan. Maksuba dan engkak yang sebelumnya biasa saya pandangi dari resep masakan kini disuguhkan pula di meja makan. Rasanya manis.

    Tapi tunggu! Happy ending perjalanan kali ini tidak berhenti di situ.

    Kami tiba di Bandara Mahmud Badarudin ketika pesawat yang akan membawa kami terbang tinggal lima belas menit lagi lepas landas. Jadi bayangkanlah, Keluarga besar Mcallister (Home Alone) tergopoh – gopoh menjangkau pintu masuk! Kira – kira seperti itulah situasi yang harus kami hadapi.  Saya tidak lupa gambaran seorang kerabat tentang betapa dekatnya jarak antara rumah tempat kami menginap dan bandara yang cuma butuh lima belas menit! Simak baik- baik ya: lima belas menit saja! Pernyataan itu membuat saya terlena. Saya lupa apa yang pengantar kami akui pada malam sebelumnya bahwa  ia – sering – ketinggalan –  pesawat! :) (Q)


    Terima kasih :






















    Meretas di Atas Batas

  • Senin, 14 Oktober 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Aku mau berdiri
    Berlari
    Mengejar matahari

    Rumput – rumput terdiam
    Melihat keheningan alam

    Ada manusia kecil lahir dengan tangis
    Ada manusia besar melihat dengan binar
    Ia pun bertanya
    Untuk apa ia dicipta?

    Kau ingin tegar
    Bahwa hidup kita
    Akan kembali seperti ada
    Berakhir dengan tangis
    Atau bersudah dengan cahaya


    Remy Silado

    Seli Seluruh Dunia

  • Senin, 07 Oktober 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Seharusnya saya bisa membaca motif Jejes (10) memaksa ikut ke pasar.  Karena sesampainya di sana, begitu dilihatnya ada sesuatu yang menarik, tangan saya ditahan dan ia tidak mau bergerak bagai jangkar yang mengait dasar laut. Hewan peliharaan yang lain bolehlah saya setujui, tapi tidak untuk anak ayam. Namun, karena wajahnya berubah sendu, saya pun mengalah dan membelikannya seekor anak ayam, sambil menceramahinya ini- itu.

    Tapi pada waktunya pulang ke rumahnya sendiri, Jejes malah meninggalkan Seli di tempat  kami.  Ini momen yang benar - benar membuat saya tepok jidat, dan dengan lirih berusaha menjeritkan kata, “Tidaaaaak……!”- Iya, saya panik. Hufh! Tarik napas sebentar.  Tidak apa – apa, pikir saya.  Saya pernah bersenang – senang dengan semua binatang peliharaan yang dihibahkannya.  Maka saya pikir, saya akan membuatkan kandang yang nyaman yang dilengkapi lampu neon ber-watt kecil yang selalu menyala supaya Seli hangat.  Malamnya akan saya siapkan tumbukan beras atau pur mana tahu ia bangun tengah malam dan lapar.  Lalu, wadah makanan dan minumannya akan sering – sering saya cuci supaya ia mendapatkan tempat tinggal yang higenis, dan seterusnya. Begitulah, akhirnya Seli berada dalam pengasuhan saya.

    Kalau anak - anak datang, mereka senang bermain dengan Seli. Ketika satu minggu berlalu, saya pikir masa kritis sudah berlalu, Seli akan beranjak remaja dan menjelma jadi ayam jago yang gagah atau induk ayam yang gendut. Tahunya Seli tidak napsu makan dan BAB-nya berubah.

    Suatu pagi tak saya dengar lagi Seli berkeciapan seperti biasa. Ruangan masih lengang dan dingin sebagaimana kesejukan pagi meresap ke dalam rumah, tapi  ada perasaan  mencekam.  Waktu saya tengok ke kandang Seli, ternyata  anak ayam itu  sudah terbujur kaku. I'm a big girl dan  kisah saya dengan Yanto sudah lewat 25 tahunan, tetapi melihat kejadian hari itu, lucunya (meskipun sama sekali tidak lucu) sedih yang saya rasakan masih sama seperti  dulu. 

    'Dulu' yang saya maksud itu adalah ketika baru pulang dari sekolah dan masih mengenakan seragam putih – merah. Saya dapati Yanto diam selamanya.  Saya tahu Yanto sakit, tapi kami kira ia anak ayam yang kuat. Nyatanya siang itu langit mendung.  Sendirian, saya kuburkan Yanto dalam pot kembang di samping rumah.

    Demikian pula Seli, ia saya kuburkan dalam pot kembang. Jejes yang saya kabarkan tentang kematian Seli sehabis pulang sekolah, menatap nanar saya dan ingin membuka kuburnya. Katanya, ia ingin melihat Seli untuk yang terakhir kali. Grrrh! Anak-anak! Tentu saja tak boleh begitu. Biar yang mati adalah binatang.

    Saya selalu mengira kisah masa kecil dengan Yanto adalah kisah paling haru biru seantero jagat raya sampai Tetsuko Kuroyanagi menuturkan salah satu kisahnya  dalam bab “Satu – satunya  yang Kuinginkan” dalam Gadis Cilik di Jendela. Penulis itu mengisahkan pengalaman kehilangan dan perpisahan dengan dua unggas kecil yang sangat diidamkannya.  

    Rupanya banyak anak di dunia ini yang mengalami hal yang sama. Apa yang harus diucapkan lagi? Sepanjang yang bisa saya pikirkan, Allah sudah menjatuhkan ketentuannya. Apapun upaya yang diperbuat untuk merawat Seli hingga besar sudah berakhir.  Kau tidak bisa mengembalikan rohnya kembali ke tubuh yang beku itu.  Karena Seli dan saudara – saudaranya ditakdirkan hidup hanya sebentar.  Mereka memang lucu, berwarna – warni dan menggemaskan, tapi mereka afkiran.  Sekarang  tidak ada apa-apa lagi. Yang sudah mati hanya meninggalkan kenangan. (Q)







    Membuat Kota

  • Senin, 09 September 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • siapkan selembar peta wajah bumi, lalu bacalah puisi di setiap kerut tanahnya. di sana kami
    membangun mesin dari lempengan rasa lapar. tiada pilihan lain kecuali menciptakan pilihan
    kami sendiri. lalu kami pun menetek pada pabrik – pabrik, pada zigzag jarum di mesin – mesin
    jahit, membordir mulut kami yang selalu sobek terbuka.

    gambarlah  garis-garis di mana bisa kau letakkan angka – angka. semua menari merayakan
    hasrat manusia, dan di hiruk-pikuk semacam itu kami teringat burung-burung dan pepohonan
    di sajak-sajak kami sebelum ini. di buku-buku, para penghitung laba, penggali bumi, juga
    para perambah tanah begitu gairah mencari cara membuat kota, mesin penggemuk juga
    pemangsa manusia, dan di wajah setiap kota kami, terpasang senyum pahit sakit hati.

    sementara di pojok beta, kami lupa waktu. terlalu asyik merancang sebuah kota yang seluruh
    bangunannya terbuat dari sirih rambat, daun bayam, bambu jalar, dan kembang mawar.


    TS Pinang, 2008

    Tentang Anak

  • Senin, 12 Agustus 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Anakmu bukan milikmu.
    Mereka adalah putra – putri Sang Hidup,
    yang rindu akan dirinya sendiri.
    Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau.
    Mereka ada padamu, tetapi bukan milikmu.
    Berilah mereka kasih sayang,
    Namun jangan berikan pemikiranmu.
    Karena pada mereka ada alam pikiran sendiri.
    Patut kau berikan rumah bagi raganya,
    namun tidak bagi jiwanya.
    Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
    yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpi.
    Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
    namun tidak boleh membuat mereka menyerupai engkau.
    Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
    ataupun tenggelam ke masa lampau.
    Engkaulah busur tempat anakmu,
    anak panah hidup, melesat pergi.

    Kahlil Gibran

    Que Sera - Sera

  • Senin, 05 Agustus 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Aku tahu jantungmu berdegup kencang ‘seperti genderang perang’. Jangan takut, ya! Tak perlu khawatir. Memang kenapa kalau buat orang lain hal itu begitu mudah dikerjakan, sementara buatmu sulit.  Sudah bagus  jalan yang hendak ditempuh dipetakan terlebih dahulu dalam pikiran. Tak apa pilih rute terpendek dan sudah dikenali.  Anggap saja sedang berada di level "to make a path through the street  to reavel  your next destination" (Big City Adventure : New York City Game). Kalau lajunya seperti  kura – kura, mau apa lagi? Kita mengaji dari alif  juga’kan?

    Misalnya kau payah dalam matematika, apa yang seharusnya dilakukan? Betul! Kau ‘kan harus terus lebih banyak berlatih matematika. Dengan lebih banyak berlatih maka aljabar akan menjadi lebih mudah. Otak akan terbiasa padanya karena menciptakan hubungan dan pola pikir baru. Pertama kali berlatih roller blade atau ice skating keseimbangan jadi masalah. Tapi setelah beberapa putaran, akan menjadi mudah. Otak belajar untuk seimbang! Satu – satunya cara menjadi lebih pintar adalah mengerjakan sesuatu yang benar – benar berat dan menantang. Begitu ‘kan uraian Adam Khoo?

    Rasanya itu konteks yang sama dengan keadaan kini. Mau pakai contoh apa lagi? Siapa yang berprinsip menyampaikan materi sedikit demi sedikit untuk anak – anak hingga akhirnya ilmu pengetahuan yang  mereka terima menjadi bukit?  Lalu, berapa kali orang lain diingatkan agar berlatih dengan rutin setelah semua teori diberikan?  Mereka yang sungguh – sungguh menjalani itu kemudian menghadiahimu  nilai yang bagus atau target yang memuaskan ‘kan?  Apa kau tak ingin seperti itu? Aku yakin kau ingin hasil gemilang untuk dirimu.  Ini memang  kondisi yang sangat aneh. Kalau sudah membanding - bandingkan begini, siapa yang sebenarnya sedang mengajar siapa?  Maaf, aku sekedar mengingatkan, bukankah  sangat memalukan kalau kau menjadikan kata – katamu sendiri, klise dan tak berarti?

    Nah, maka dari itu ayo, taklukkan! Kumpulkan kekuatan! Tak perlu berlagak jagoan kalau belum mahir.  Lecet sedikit, tak mengapa. Jatuh adalah hal yang biasa. Tetap fokus. Kalau melafadzkan namaNya bisa membuatmu tenang ya, lakukanlah!  Tiada daya, tiada upaya kita kecuali berserah diri padaNya 'kan? Bersiaplah! Apapun yang terjadi terjadilah. Que sera – sera.

    Betul, begitu! Pertama, lewati jembatan kecil.  Sekiranya kau lupa, jembatan itu sudah diperbesar  khusus buatmu.  Lalu, keluarlah melalui gerbang, belok kiri, belok kanan, putar – putar, lama – lama  menembus jalan besar.  Bagaimana rasanya? … Aku bisa lihat waktu kau kembali wajahmu lebih cerah dan senyum pun tersimpul.  Pasti kau berpikir, semua akan baik – baik saja ya ‘kan? Dan gadis kecil itu lucu sekali  bukan? Tiba – tiba ia menghambur keluar, lalu bersorak-sorak, “Ayo Tante! Pasti bisa! Sedikit lagi!” … Iya, sedikit lagi. Sedikit lagi pasti berhasil dan kau sampai di tempat yang aman… . Hmmm, suaranya terdengar merdu ya?  Anak sekecil itu punya kata – kata yang cantik.  Semerbak kemuning  (murraya paniculata) pun meredakan ketegangan,  dan karena wanginya itu baru kau sadari bahwa bebungaan  itu bermekaran di hari yang sama. Bukankah momen itu bagus? Sebuah pesta penyambutan. Seolah – olah semua sedang mendukungmu dan mari kita berharap bahwa yang kau  lakukan pertanda diberkahi.  Ingin  sekali kurengkuh dirimu dan kuucapkan selamat karena - meskipun aku tahu kau masih gemetar - sesaat kurasakan kedamaian dalam hatimu, tapi maafkan aku, kau tentu paham bisaku berbisik saja.

    Aku tahu kau tak bermimpi semalam.  Aku tahu saat  matamu membuka pagi tadi, kau lihat langit  sudah  biru dan  terang. Sungguh manis waktu kau langsung terlonjak dan berpikir, LEBARAN! Ayayaya, Lebaran? Mengapa yang tersirat pertama bukan frase 'rainbow cake' atau kata 'kesiangan' atau doa bangun tidur? Wah, meskipun kita sangat dekat, aku tak mengerti dan sangat penasaran mengapa kau berpikir begitu. Tapi tentu saja ada fakta yang harus disampaikan.  Sekarang ‘kan baru tanggal  3 Ramadhan, Rani.   (Q)

    :) 

    Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Alhamdulillah. Allahuma shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala ali Sayyidina Muhammad. 



    Daftar Pustaka:
    Adam Khoo.  Buku Pintar Anak Jenius.  2008.  Jakarta : P.T. Mitra Media

    Seutas uban

  • Senin, 08 Juli 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • di pangkal subuh
    waktu kering peluh
    gigil dan suara memanggil
    kulihat di hitam rambut
    ubanmu berkilat
    seperti isyarat
    atau mungkin sirat
    akhir yang kian dekat
    setelah pergumulan
    kesekian

    sanggupkah kita
    kelak tak setubuh
    aus dan rapuh

    di lubang angin
    belalang menggelepar
    dengan sayap-sayap fajar



    Hawe Setiawan, 2008

    Menapaki Landhuis

  • Senin, 24 Juni 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Bersama Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya, Bogor, Jawa Barat


    Bagian depan landhuis

     
    Tujuan Napak Tilas X yang diselenggarakan Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya, Bogor kali ini menautkan pikiran saya pada dua hal : (1) Gedung Juang, Bekasi dan (2) Pans Schomper.

    Napak Tilas X
    Hari/Tanggal     :    Minggu, 23 Juni 2013
    Pukul                :    09.30 - 13.00
    Start/Kumpul    :    Halaman Landhuis IPB Dramaga Jl. Tanjung No. 4
    Narasumber     :    Antoni Holle (kerabat keluarga van Motman),
                                 Hendra M Astari (Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya), &
                                 Inotji Hajatullah (Sejarawan Kota Bogor)
    HTM               :     Rp15.000/orang

    Transportasi
    Commuter line membawa saya ke Bogor tepat pukul 06.30 WIB dari Stasiun Cawang. Saya duduk di sofa pink di gerbong pertama yang khusus disiapkan untuk para wanita dan anak - anak. Lima puluh menit kemudian sampailah saya di Bogor. Masih banyak waktu sebelum acara dimulai jadi saya bisa santai menyantap sarapan kedua dan menengok jembatan merah.  Setelah itu pilih Angkutan 02 jurusan Bubulak disambung Angkutan jurusan Ciampea (Angkutan jurusan Kampus Dalam) turun di IPB Darmaga.

    Lokasi Landhuis berada di dalam kampus IPB. Berkat teman yang sudah menunggu di Halte BNI jadilah kami beramai – ramai jalan kaki ke sana. Jarak dari jalan masuk menuju landhuis ternyata cukup jauh, tapi kerindangan pepohonan kampus IPB dan keriuhan ibu – ibu yang lama tak bertemu seakan menyingkat jarak.

    Pulangnya tak lagi diantar commline, tapi saya pilih salah satu bus di Terminal Baranangsiang. Cuma dalam waktu sembilan puluh menit – meski sempat tersendat kemacetan – saya sudah berada di rumah lagi.


    Wisma Tamu Landhuis
    Landhuis yang menjadi tujuan kami penampilannya seperti rumah modern masa kini. Di taman terdapat slavenbel. Bagian dalam : berlantai kayu dengan langit – langit bergypsum, berpendingin ruangan sekaligus memiliki pemanas air, dan sederet perlengkapan canggih lainnya. Memang karena diperuntukkan untuk “bisnis”, landhuis difasilitasi sarana dan prasarana yang memadai oleh pihak IPB. Tempat itu menyediakan 7 kamar dan di antara terdapat 2 kamar besar berukuran 6 x 6 m2 dan 5 kamar single berukuran 4 x 5 m2.

    Bagi yang ingin menyewa, tarifnya bervariasi. Untuk tipe kamar 1,2,dan 5   dihargai Rp250.000; Kamar 3 dan 4, Rp200.000; dan Kamar 6 dan 7, Rp175.000.  Peminat harus booking jauh hari sebelumnya karena Wisma Tamu IPB Landhuis ini tetap diutamakan untuk kepentingan civitas IPB. Konon harga ini akan berubah dalam waktu dekat. Yang berminat bisa kontak : 0251-8420590 / 0251-8621478 / 0251-8621559.

    Landhuis menautkan pikiran saya pada sebuah bangunan tua berlantai dua yang masih nampak kokoh dan megah di Jl. Diponegoro, Tambun, Bekasi. Rumah itu peninggalan seorang tuan tanah Kow Tjing Kie yang didirikan pada tahun 1910. Kini bangunan itu berubah fungsi menjadi kantor pemadam kebakaran serta kantor sekretariat dan tempat latihan bela diri Tae Kwon Do. Pada masa kemerdekaan Gedung Juang 1945 ini dijadikan markas pejuang Indonesia.

    Rasanya sangat menarik mencerna bagaimana bangunan – bangunan itu mengarungi waktu dan mengikuti keadaan pada jamannya. Kedua bangunan itu memiliki historinya masing – masing. Landhuis memiliki nilai lebih tidak saja karena presiden pertama RI beberapa kali menyambangi tempat tersebut, tapi juga karena merekam sejarah Van Motman.

    Beberapa sudut lain landhuis

    Warisan Keluarga van Motman
    Dalam http://napaktilasbogor.blogspot.com/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html#!/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html diperikan bahwa  orang yang membangun landhuis adalah Gerrit Willem Casimir van Motman (1773-1821), seorang tuan tanah Dramaga yang pertama. Gerrit Willem dilahirkan di Genneperhuis, Belanda, datang ke Hindia Belanda taun 1789. Dia membuka usaha di bidang yang sedang naik daun waktu itu, yaitu perkebunan tebu dan kopi. Sekitar tahun 1811 Menir Motman ini sudah jadi tuan tanah di Dramaga dan Jasinga.

    Gerrit Willem tidak lama menempati landhuis, dia meninggal tahun 1821. Lahan di Jasinga diserahkan kepada anaknya yang pertama, sedangkan perkebunan Dramaga diurus oleh anaknya yang kedua, yaitu Jacob Gerrit Theodorus van Motman (1816-1890), sekaligus sebagai tuan tanah Dramaga yang kedua. Oleh penerusnya ini, komoditi yang diusahakan ditambah dengan karet, teh, dan sereh wangi.

    Selanjutnya Peter Reinier van Motman (1836-1911) yang menjadi tuan tanah ketiga, diteruskan oleh Alphonse Constant Henri van Motman (1883-1935) sebagai tuan tanah keempat. Tuan tanah kelima, sekaligus menjadi tuan tanah pamungkas dijabat oleh Pieter Reinier van Motman sampai tahun 1958. Tuan tanah terakhir ini kebetulan namanya sama dengan tuan tanah ketiga yang tiada lain adalah kakeknya sendiri.

    Tahun 1958, semua orang Belanda yang tinggal di Indonesia beserta keluarganya diminta untuk segera meninggalkan Indonesia, termasuk keluarga Motman di Dramaga ini. Keluarga Motman pulang ke Negeri Belanda dengan meninggalkan harta benda mereka. Aset mereka disita pemerintah RI lalu diteruskan pengelolaan diserahkan  kepada Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang IPB).


    Dramaga di Masa Lalu dan Kini
    Bagaimana keadaan Dramaga pada jaman kolonial saya dapatkan terurai di http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/24/dramaga-dan-keluarga-van-motman-424815.html bahwa seorang Belanda bernama Cateau van Kerkhoven - salah satu trio tuan tanah di Jawa Barat selain Bosca dan van Motman - menggambarkan keindahan Groot Dramaga dalam suratnya kepada anak-anaknya di Belanda, “Rumah Dramaga ini indah, semua marmer putih dan dinding putih, teras depan memiliki pemandangan indah dan keseluruhan terasa menghibur. Ada sebuah kolam renang besar di mana air mengalir dengan curah air yang besar dan di sisi lain dibuang melalui sebuah lubang.“

    Seorang cucu  van Motman pernah menulis surat kepada saudaranya menggambarkan tentang kecantikan Groot Dramaga, Aku bisa menggambar denah keseluruhan dan arsitektur Dramaga (dengan memakai) penutup mata. Aku ingat setiap kamar dengan baik, dan setiap pohon di taman, boengoer dekat lonceng besar, pohon doekoe, rempah-rempah, semak, pala, pakis yang indah dan begonia di pot bunga, kuda-kuda dan kereta. Kuda belang-belang selalu membuat saya kagum dan empat kuda poni melesat begitu cepat sepanjang jalan ….”

    Dramaga dahulu terkenal dengan sebutan Liberia-koffie-aanplantingen atau Perkebunan Kopi Liberia.  Awal mula tanaman yang ditanam setelah GWC menjadi tuan tanah adalah kopi. Karena tidak menguntungkan maka ditanam gula lalu beralih ke tanaman teh. Walaupun reputasi teh sangat baik namun produksi hancur gara-gara terjangkit wabah lalat hitam, lalu akhirnya terakhir di Dramaga ditanamlah pohon karet.

    Dramaga yang saya lihat tak beda dengan kota – kota besar di Pulau Jawa, setidaknya. Jalanan beraspal dilalulintasi kendaraan – kendaraan bermotor. Memang tak ada kebun kopi, gula atau karet sepanjang mata memandang, tapi taman nan asri terlihat di gerbang IPB. Seorang ibu, ibunda seorang teman yang bernama "Iswanti Aja Deh" menuturkan sekilas tentang  masa kecilnya sekitar tahun 50an, jelasnya, kampus IPB adalah sebuah hutan karet yang luas. Ia bahkan bermain ke landhuis dan masih melihat bule – bule  mendiami tempat itu. Tapi jaman berganti dan semua berubah.

    Sebagian peserta Napak Tilas X


    Tur Keliling Rumah
    Di landhuis kami dipandu oleh Antonie Holle. Dari silsilah  keluarga van Motman, Antoni Holle berasal dari generasi Tag A (Willem Reinier van Motman). GWC van Motman sebenarnya memiliki 13 anak, namun yang hidup hanya 5. Dari kelima anak itu akhinya dibentuk 5 takken atau 5 cabang, yaitu cabang A, B, C, D dan E. Silsilah leluhur Antoni Holle dari van Motman adalah berasal dari cabang A. Nama Antonie Holle sendiri tidak menunjukkan bahwa ia adalah keturunan van Motman. Nama belakangnya diambil dari nama opah buyutnya yang bernama Karel Frederik Holle, orang Belanda yang memiliki perkebunan di Garut yang hidup pada 1829 hingga 1896. K.F. Holle sangat berminat pada bahasa dan kesusastraan Sunda. Maka tidak heran bila K.F. Holle meninggalkan banyak karya sastra berbahasa Sunda. (http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/24/dramaga-dan-keluarga-van-motman-424815.html)

    Antonie Holle mengingatkan saya pada Pan Schomper. Orang Belanda ini tak ada kaitannya sama sekali dengan landhuis atau bahkan pertalian dengan dinasti van Motman. Saya hanya pernah membaca memoar Pan Schomper sekitar 12 tahunan yang lalu. Kalau tak salah judul buku itu, Selamat Tinggal Hindia, Janjinya Pedagang Telur. Baik Antonie Holle dan Pan Schomper  memiliki perhatian pada tempat milik keluarganya. Salah satu perbedaannya, Pan Schomper menjalani langsung kehidupan di tempat itu (sekarang Museum Gedung Joeang Jl. Menteng Raya, Kebun Sirih, Jakarta), sementara Antonie Holle  hidup di jaman yang sama sekali berbeda. Ada banyak orang yang menaruh perhatian pada sejarah dan kebudayaan Indonesia di masa lalu. Demikian pula dengan pria ini, meskipun bukan pewaris landhuis tapi tersirat bagaimana ia menghargai leluhurnya dengan menggali kekayaan landhuis yang terserak dan melestarikannya.

    Landhuis boleh jadi milik pemerintah Indonesia, tapi saya mendapat kehormatan  karena seperti sedang dipandu tuan rumahnya sendiri. Kedengarannya mungkin janggal dan menggelikan, 'tur keliling rumah'. Di luar negri, macam Kanada, tamu dihormati dengan dijamu keliling rumah. Tur macam begini memang berlaku untuk rumah besar. Hampir di setiap sudut landhuis Antonie Holle menerangkan sejarahnya pada kami. Rumah itu memang besar dan terlalu besar untuk digali sejarahnya dalam waktu sekitar satu setengah jam.  Di sela - sela acara, kadang – kadang saya pikir betapa baiknya ia memuliakan tamunya (padahal beberapa orang di antaranya ehem, maksudnya orang awam macam saya) dianggap berpengetahuan sama dengan para sejarawan gaek dan mumpuni yang turut dalam acara itu.  Saya sampai malu hendak bertanya apa karena tersesat dalam diskusi. Tapi jadinya, saya penasaran bagaimana duduk perkara landhuis ini. Lumayan juga pengetahuan saya jadi bertambah, bertambah, dan bertambah lagi apalagi karena  melakukan riset kecil di internet. (Q)



    Daftar Pustaka:

    http://napaktilasbogor.blogspot.com/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html#!/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html

    http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/24/dramaga-dan-keluarga-van-motman-424815.html

    Ya Allah

  • Senin, 10 Juni 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Ya Allah
    Perangai jahat apakah
    yang senantiasa berkelana
    bersarang di sumsum tulang?

    Begitu mudah nyawa terpetik dari
    jasadnya
    begitu mudah manusia dirampok
    segala miliknya
    bocah dicincang kaki – tangannya

    Ya Allah
    Begitu banyak Kau sediakan kemewahan
    namun tak menawarkan kepuasan.
    Begitu banyak Kau sediakan ampunan
    namun tak menyadarkan keimanan.

    Redam,
    redamlah, ya Allah!
    Keserakahan dalam jiwaku.
    Agar batinku mendaras asmaMu.
    Agar pikirku menjurus jalanMu.

    Ya Allah
    perangai  jahat  apakah
    yang senantiasa bergolak
    meracun dalam darah?
    Redam
    redamlah, ya Allah!



    Jose Rizal Manua, 24 April 1989
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint