Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Ke Palembang

  • Senin, 28 Oktober 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Masjid Agung Palembang
    Letak Geografis

    Berdasarkan http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Selatan, Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak antara 1 derajat sampai 4 derajat Lintang Selatan dan 102 derajat sampai 106 derajat Bujur Timur dengan luas daerah seluruhnya 87.017.41 km².

    Batas batas wilayah Provinsi Sumatera Selatan sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu.

    Secara topografi, wilayah Provinsi Sumatera Selatan di pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Sedikit makin ke barat merupakan dataran rendah yang luas. Lebih masuk ke dalam wilayahnya semakin bergunung-gunung. Di sana terdapat bukti barisan yang membelah Sumatera Selatan dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 900 - 1.200 meter dari permukaan laut. Bukit barisan terdiri atas puncak Gunung Seminung (1.964 m), Gunung Dempo (3.159 m), Gunung Patah (1.107 m) dan Gunung Bengkuk (2.125m). Di sebelah Barat Bukit Barisan merupakan lereng. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai beberapa sungai besar. Kebanyakan sungai-sungai itu bermata air dari Bukit Barisan, kecuali Sungai Mesuji, Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin. Sungai yang bermata air dari Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Bangka adalah Sungai Musi, sedangkan Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rupit dan Sungai Rawas merupakan anak Sungai Musi.

    Masjid Muhammad Cheng Ho, Jakabaring

    Sejarah

    Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.

    Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari mancanegara terutama dari negeri China.

    Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, Kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai kota kerajaan.

    Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Selatan)
     
    Di Tepi  Sungai Musi, Gandos.
    Seekor induk itik bersama anak - anaknya

    Transportasi

    1.    Bus Jakarta - Palembang
    • Bus Kramat Jati harga Rp170.000/orang. Tersedia di Terminal Pinang Ranti, Kampung Rambutan, Tanjung Priok, Pulo Gadung, Rawamangun, Grogol, Kalideres. Keberangkatan dari Terminal Lebak Bulus pukul 14.00, tiba di Palembang sekitar pukul  6 pagi.
    • Pahala Kencana. Tersedia di Terminal Lebak Bulus dan Rawamangun. Dari Rawamangun berangkat pukul 14.00 WIB, tiba pukul 11.00. Harga Rp220.000/orang.
    • Lorena. Tersedia di Terminal Lebak Bulus dan Rawamangun. Harga tiket VIP(40 bangku) adalah Rp225.000/orang. Tiket eksekutif (30 bangku) dikenakan harga Rp280.000/orang. Keberangkatan dari Ramawangun pukul 12.00.

    2.    Kapal Roro – Kereta Api
    Bertolak dari Pelabuhan Merak, Banten menyeberang ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Harga tiket per 25 Juni 2013 (http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/24/6/163705/Ini-Daftar-Penaikan-Tarif-Penyeberangan-Merak-Bakauheni) :

    Penumpang pejalan kaki:
    Dewasa Rp11.500 menjadi Rp13.000
    anak-anak Rp7.000 menjadi Rp8.000

    Kendaraan:
    Gol 1 Rp20.000 menjadi Rp21.000
    Gol II Rp32.500 menjadi Rp39.000
    Gol III Rp78.500 menjadi Rp93.000

    Sesampainya di Lampung menuju stasiun kereta api. Dengan Kereta Sriwijaya II, keberangkatan bisa  dilakukan dari dua tempat ( https://tiket.kereta-api.co.id/ ):
    •    Kotabumi, Lampung – Kertapati, Palembang  jadwal  21.36 – 04.10
    •    Tanjung Karang, Lampung – Kertapati, Palembang jadwal 20.00 – 04.10
    (Saran keberangkatan via Stasiun Tanjung Karang demi  keamanan perjalanan.)

    Harga tiket bervariasi:
    •    Kelas eksekutif (Eks A) Rp130.000/orang
    •    Kelas bisnis (Bis N) Rp90.000/orang

    3.    Pesawat
    Maskapai yang melayani rute Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Jakarta menuju  Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang  menuju ada tiga Garuda Indonesia Airways, Lion Air, dan Sriwijaya Air.

    Pasar 16 Ilir

    Pasar 16 Ilir terdengar tak asing karena tahun 80 – 90an, RRI rutin menyiarkan harga cabai keriting, bawang merah pipilan, kol gepeng, dan seterusnya dari beberapa pasar di tanah air, termasuk pasar ini. Saya berharap lihat pasar becek yang penuh dengan rempah – rempah, sayur mayur dan buah – buahan eksotik di sana. Tahunya, pagi itu pada pukul setengah tujuhan pasar masih lengang. Hanya nampak pedagang buah. Buah – buahan yang dijaja, misalnya apel, pir, kelengkeng, jeruk, dan alpukat. Pasar itu sendiri merupakan bangunan bertingkat yang mengingatkan saya pada Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Untunglah, di satu sudut seorang penjual kerupuk kemplang sedang menggelar dagangannya sehingga membuat saya terhibur. Sebab ini adalah kerupuk lezatos en favoritos. Kerupuk yang mekar dan matang karena dibakar. Lekker!

    Legenda Hantu Banyuasin, Sungai Musi

    Legenda Hantu Banyu Sungai Musi Palembang

    Sejak berabad – abad sungai menjadi sumber kehidupan dan peradaban manusia. Khazanah kebudayaan sepanjang aliran Sungai Musi penuh dengan jejak masa lalu. Legenda Hantu Banyu Sungai Musi Palembang, salah satu tradisi lisan yang beredar di sana.

    Alkisah hiduplah seorang abdi raja bernama Banyu Hitam. Ia adalah abdi Putri Kembang Dadar, salah seorang keturunan raja Sriwijaya.Tapi sifatnya sangat congkak. Ia sering memamerkan kekayaan gending emas keluarga raja kepada para pejabat bangsawan Palembang. Padahal, ia adalah pendekar yang berbakti pada raja, namun tabiatnya yang loba itu membuat keluarga sang raja membencinya. Karena kelakuannya itu, Banyu Hitam dipecat dan dikutuk menjadi ikan.

    Banyu Hitam menghuni tepian hutan berawa hitam (air hitam) sekarang disebut Way Hitam. (Air yang mengalir serong-kini nama kecamatan-ke Sungai Musi ini melintasi perbatasan hutan Bukit Besak dan Bukit Kecik. Berakhir, melebar membentuk kawasan rawa yang sangat luas yang dalam bahasa Palembang disebut Lumpur Gandus.

    Banyu Hitam minta kepada ahli nujum kerajaaan yang ditemuinya agar ia berumur panjang dan menghasilkan keturunan.  Mereka mengabulkannya menjadi ikan besar penghuni Sungai Musi. Apalagi setelah Banyu Hitam menikah dengan Putri Musi yaitu wanita keturunan kerajaan Batanghari yang konon adalah penguasa sembilan anak sungai yang bermuara ke laut melalui Sungai Musi.

    Ia bukanlah  ikan sembarang ikan karena sosoknya berkulit manusia, tapi wajahnya menampakkan keangkuhan. Penduduk di Kota Palembang percaya adanya ikan ini dan mereka menyebutnya Hantu Banyu.

    Klenteng Hok Tjing Rio, Pulau Kemaro
    Pulau Kemaro

    Pulau ini merupakan sebuah delta kecil di Sungai Musi. Letaknya  sekitar 6 km dari Jembatan Ampera.  Pulau Kemaro terletak di daerah industri,yaitu di antara Pabrik Pupuk Sriwijaya dan Pertamina Plaju dan Sungai Gerong.  Pulau Kemaro berjarak sekitar 40 km dari kota Palembang. Pulau Kemaro adalah tempat rekreasi yang terkenal di Sungai Musi. Di tempat ini terdapat sebuah vihara Cina  (Klenteng Hok Tjing Rio). Di Pulau Kemaro ini juga terdapat kuil Buddha yang sering dikunjungi umat Buddha untuk berdoa atau berziarah ke makam. Di sana juga sering diadakan acara Cap Go Meh setiap Tahun Baru Imlek.

    Di Pulau Kemaro juga terdapat makam dari putri Palembang. Menurut legenda setempat, pada zaman dahulu, seorang putri Palembang dikirim untuk menikah dengan seorang anak raja dari Cina. Sang putri meminta 9 guci emas sebagai mas kawinnya. Untuk menghindari bajak laut maka guci-guci emas tersebut ditutup sayuran dan ketika sang anak raja membukanya dilihatnya hanya berisi sayuran maka guci-guci tersebut dibuangnya ke sungai. Rasa kecewa dan menyesal membuat sang anak raja memutuskan untuk menerjunkan diri ke sungai dan tenggelam. Sang putri pun ikut menerjunkan diri ke sungai dan juga tenggelam. Sang putri dikuburkan di Pulau Kemaro tersebut dan untuk mengenangnya dibangunlah kuil.

    Klenteng Hok Tjing Rio, Pulau Kemaro

    Benteng Kuto Besak

    Sumber tentang benteng ini : http://sumselprov.go.id/index.php?module=content&id=21. Di sana dikatakan bahwa bangunan ini dibangun selama 17 tahun di mulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada hari senin tanggal 21 Februari 1797. Pemprakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 - 1758) dan pembangunannya dilaksanakan oleh Sultan Mahmud Badaruddin, sebagai pengawas pembangunan dipercayakan kepada orang-orang China.

    Benteng Kuto Besak Palembang mempunyai ukuran panjang 188,75 meter, lebar 183,75 meter dan tinggi 9,99 meter (30 kaki) serta tebal 1,99 meter (6 kaki). Di setiap sudutnya terdapat bastion(baluarti) bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lainnya. Tiga bastion yang sama tersebut merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak, di sisi timur, selatan dan barat terdapat pintu masuk lainnya disebut lawang buritan.

    Suatu kebanggaan bagi wong Palembang bahwa Benteng Kuto Besak merupakan satu-satunya benteng yang berdinding batu dan memenuhi syarat perbentengan/pertahanan yang dibangun atas biaya sendiri untuk keperluan pertahanan dari serangan musuh bangsa Eropa dan tidak diberi nama pahlawan Eropa.

    Benteng Kuto Besak, Palembang
    Jembatan Ampera

    Jembatan ini menghubungkan dua daratan yaitu Seberang ulu dan Ilir. Munculnya ide dalam pembangunan jembatan tersebut yaitu sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

    Panjang jembatan ini adalah 1,117m, dengan lebar jembatan 22m, dan tinggi kurang lebihnya 11,5m dari permukaan air. Jembatan tersebut memiliki bobot sekurangnya 944 Ton. Jembatan Ampera memiliki dua menara yang masing-masing tingginya adalah 63m dari permukaan tanah. Menara tersebut digunakan sebagai mesin gerek untuk mengangkat bagian tengah pada jembatan ampera ketika ada kapal yang akan melintas.

    Jembatan ini mulai di bangun pada bulan April 1962 setelah mendapat persetujuan dari bapak Presiden RI. Awalnya jembatan ini diberi nama Jembatan Bung Karno, atas penghormatan masyarakat terhadap presiden yang telah memperjuangkan impian masyarakat Palembang dalam pembangunan jembatan tersebut. Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan antiSoekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Demikian dalam http://www.surgaindonesia.com/2013/01/sejarah-jembatan-ampera-amanat.html 

    Jembatan Ampera, Palembang

    Museum Sultan Mahmud Badaruddin

    Dalam http://travel.okezone.com/read/2011/01/14/408/413990/redirect dikatakan  di Museum Sultan Mahmud Badaruddin pengunjung bisa menemukan berbagai peninggalan sejarah dari mulai koleksi foto prasasti Kedukan Bukit, patung-patung Buddha kuno dan Amarawati Ganesha, serta berbagai sisa-sisa sejarah lainya termasuk yang berasal dari era Sriwijaya.

    Sultan Mahmud Badaruddin II adalah penguasa Palembang sejak 1803 sampai 1821. Museum ini pernah menjadi istana Kesultanan Palembang Darussalam. Awalnya disebut sebagai Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo, bangunan ini bersama dengan Masjid Agung Palembang dibangun pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I. Berbeda dengan bangunan lain dari era yang sama yang menggunakan kayu, istana ini dibangun dengan batu bata.

    Dengan kedatangan Belanda pada abad ke-17, istana diduduki oleh tentara kolonial. Selama perang Palembang pada 1819, Belanda mendaratkan 200 pasukannya yang ditempatkan di Keraton Kuto Lamo. Setelah Sultan Mahmud Badadruddin II ditangkap dan diasingkan, Belanda menjarah dan menghancurkan bangunan-bangunan di Palembang, termasuk Keraton Kuto Lamo. Pada tahun 1823, Belanda mulai merekonstruksi reruntuhan bangunan.  Reruntuhan Keraton Kuto Lama, dibangun kembali menjadi tempat tinggal komisaris Kerajaan Belanda di Palembang, Yohan Isaac van Sevenhoven. Pada 1842 bangunan itu selesai dan secara lokal dikenal dengan rumah siput.

    Sejarah memegang peranan penting akan keberadaan bangunan ini ketika Jepang tiba di tahun 1940-an. Dengan Perang Dunia ke-2 yang berkecamuk di Pasifik, bangunan bersejarah ini dimanfaatkan Jepang sebagai basis militer mereka. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, bangunan ini menjadi pangkalan militer resimen IV Indonesia: Sriwijaya.

    Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan tempat yang sempurna untuk menjelajahi sejarah Palembang. Dari era Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam, era kolonial Belanda dan pendudukan Jepang hingga masa awal kemerdekaan Indonesia semua disajikan dalam 368 koleksinya. Arsitektur bangunannya sendiri termasuk unik karena merupakan kombinasi dari masa  kolonial Belanda dan gaya asli istana Palembang.


    Kembali Pulang

    Hari terakhir kami tutup dengan menyantap maskot kuliner Sumatera Selatan, yakni pempek. Tepatnya, pempek kapal selam sebagai sarapan. Maksuba dan engkak yang sebelumnya biasa saya pandangi dari resep masakan kini disuguhkan pula di meja makan. Rasanya manis.

    Tapi tunggu! Happy ending perjalanan kali ini tidak berhenti di situ.

    Kami tiba di Bandara Mahmud Badarudin ketika pesawat yang akan membawa kami terbang tinggal lima belas menit lagi lepas landas. Jadi bayangkanlah, Keluarga besar Mcallister (Home Alone) tergopoh – gopoh menjangkau pintu masuk! Kira – kira seperti itulah situasi yang harus kami hadapi.  Saya tidak lupa gambaran seorang kerabat tentang betapa dekatnya jarak antara rumah tempat kami menginap dan bandara yang cuma butuh lima belas menit! Simak baik- baik ya: lima belas menit saja! Pernyataan itu membuat saya terlena. Saya lupa apa yang pengantar kami akui pada malam sebelumnya bahwa  ia – sering – ketinggalan –  pesawat! :) (Q)


    Terima kasih :






















    Meretas di Atas Batas

  • Senin, 14 Oktober 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Aku mau berdiri
    Berlari
    Mengejar matahari

    Rumput – rumput terdiam
    Melihat keheningan alam

    Ada manusia kecil lahir dengan tangis
    Ada manusia besar melihat dengan binar
    Ia pun bertanya
    Untuk apa ia dicipta?

    Kau ingin tegar
    Bahwa hidup kita
    Akan kembali seperti ada
    Berakhir dengan tangis
    Atau bersudah dengan cahaya


    Remy Silado

    Seli Seluruh Dunia

  • Senin, 07 Oktober 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Seharusnya saya bisa membaca motif Jejes (10) memaksa ikut ke pasar.  Karena sesampainya di sana, begitu dilihatnya ada sesuatu yang menarik, tangan saya ditahan dan ia tidak mau bergerak bagai jangkar yang mengait dasar laut. Hewan peliharaan yang lain bolehlah saya setujui, tapi tidak untuk anak ayam. Namun, karena wajahnya berubah sendu, saya pun mengalah dan membelikannya seekor anak ayam, sambil menceramahinya ini- itu.

    Tapi pada waktunya pulang ke rumahnya sendiri, Jejes malah meninggalkan Seli di tempat  kami.  Ini momen yang benar - benar membuat saya tepok jidat, dan dengan lirih berusaha menjeritkan kata, “Tidaaaaak……!”- Iya, saya panik. Hufh! Tarik napas sebentar.  Tidak apa – apa, pikir saya.  Saya pernah bersenang – senang dengan semua binatang peliharaan yang dihibahkannya.  Maka saya pikir, saya akan membuatkan kandang yang nyaman yang dilengkapi lampu neon ber-watt kecil yang selalu menyala supaya Seli hangat.  Malamnya akan saya siapkan tumbukan beras atau pur mana tahu ia bangun tengah malam dan lapar.  Lalu, wadah makanan dan minumannya akan sering – sering saya cuci supaya ia mendapatkan tempat tinggal yang higenis, dan seterusnya. Begitulah, akhirnya Seli berada dalam pengasuhan saya.

    Kalau anak - anak datang, mereka senang bermain dengan Seli. Ketika satu minggu berlalu, saya pikir masa kritis sudah berlalu, Seli akan beranjak remaja dan menjelma jadi ayam jago yang gagah atau induk ayam yang gendut. Tahunya Seli tidak napsu makan dan BAB-nya berubah.

    Suatu pagi tak saya dengar lagi Seli berkeciapan seperti biasa. Ruangan masih lengang dan dingin sebagaimana kesejukan pagi meresap ke dalam rumah, tapi  ada perasaan  mencekam.  Waktu saya tengok ke kandang Seli, ternyata  anak ayam itu  sudah terbujur kaku. I'm a big girl dan  kisah saya dengan Yanto sudah lewat 25 tahunan, tetapi melihat kejadian hari itu, lucunya (meskipun sama sekali tidak lucu) sedih yang saya rasakan masih sama seperti  dulu. 

    'Dulu' yang saya maksud itu adalah ketika baru pulang dari sekolah dan masih mengenakan seragam putih – merah. Saya dapati Yanto diam selamanya.  Saya tahu Yanto sakit, tapi kami kira ia anak ayam yang kuat. Nyatanya siang itu langit mendung.  Sendirian, saya kuburkan Yanto dalam pot kembang di samping rumah.

    Demikian pula Seli, ia saya kuburkan dalam pot kembang. Jejes yang saya kabarkan tentang kematian Seli sehabis pulang sekolah, menatap nanar saya dan ingin membuka kuburnya. Katanya, ia ingin melihat Seli untuk yang terakhir kali. Grrrh! Anak-anak! Tentu saja tak boleh begitu. Biar yang mati adalah binatang.

    Saya selalu mengira kisah masa kecil dengan Yanto adalah kisah paling haru biru seantero jagat raya sampai Tetsuko Kuroyanagi menuturkan salah satu kisahnya  dalam bab “Satu – satunya  yang Kuinginkan” dalam Gadis Cilik di Jendela. Penulis itu mengisahkan pengalaman kehilangan dan perpisahan dengan dua unggas kecil yang sangat diidamkannya.  

    Rupanya banyak anak di dunia ini yang mengalami hal yang sama. Apa yang harus diucapkan lagi? Sepanjang yang bisa saya pikirkan, Allah sudah menjatuhkan ketentuannya. Apapun upaya yang diperbuat untuk merawat Seli hingga besar sudah berakhir.  Kau tidak bisa mengembalikan rohnya kembali ke tubuh yang beku itu.  Karena Seli dan saudara – saudaranya ditakdirkan hidup hanya sebentar.  Mereka memang lucu, berwarna – warni dan menggemaskan, tapi mereka afkiran.  Sekarang  tidak ada apa-apa lagi. Yang sudah mati hanya meninggalkan kenangan. (Q)







    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint