Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Menuju Situs Cibalay, Gunung Salak

  • Senin, 25 November 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Menuju Vila Sutiyoso


    Di Cibalay ada sembilan titik lokasi situs yang sudah berhasil dibuka. ( http://bogor-kita.com/wisata/obyek-wisata/3625-situs-cibalay-bogor-lebih-luas-dari-situs-gunung-padang-cianjur.html). Sembilan lokasi tersebut, meliputi Situs Endong Kasang seluas 80 meter persegi, Situs  Bale Kambang 80 meter persegi, Situs Arca Dhomas 1500 meter persegi, Situs Kebon Kopi 1000 meter persegi, situs Batu Bergores 500 meter persegi, Situs Jami Piciing 1000 meter persegi, Situs Cipangantehan 2500  meter persegi, Situs Pasir Manggis 100 meter persegi, lalu Situs Curug Cibalay 700 meter persegi.

    Di kompleks Cibalay itu, rencananya, Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya akan membawa kami dengan rute Situs Punden Berundak Pasir Manggis I, Situs Pasir Manggis II, Situs Cibalay, terakhir Situs Bale Kambang.  Dari penggambaran Kang Dadi Tea dalam “Situs Cibalay: Jejak Tradisi Megalitik di Gunung Salak”, Situs Punden Pasir Manggis I dan II terletak di lereng Gunung Salak, menempati areal yang sempit dan diapit oleh tiga jurang, berukuran 5x3 meter, dan orientasinya menghadap ke utara. Tidak kurang 14 menhir berbagai ukuran terdapat di atas ketiga undakannya. Adapun Punden Pasir Manggis II terletak agak ke bawah dari Punden Pasir Manggis I. Punden yang terdiri atas hanya satu teras ini tampak sudah tidak utuh lagi. Banyak batu penyusunnya yang sudah hilang. Batu menhirnya pun tinggal dua buah.

    Tak ada papan yang menjelaskan bebatuan ini


    Dibandingkan napak tilas sebelumnya, target objek kali ini mengandung tantangan yang berbeda. Di Gunung Salak tersimpan misteri tradisi megalitik. Kami pun harus hiking. Bayangan keseruan berpetualang : menembus belantara, menyaksikan peninggalan jaman megalitik, menambah pengetahuan tentang bidang lain, bertemu teman – teman sekaligus uji fisik mengantar saya pergi bergabung dengan mereka pada tanggal 17 November 2013.

    Petualangan dimulai dari Villa Sutiyoso sebagai start point kami. Kami yang dimaksud di sini adalah tiga wanita yang ketinggalan rombongan. Kami hendak menyusul dengan kecepatan penuh. Saya masih optimis mereka jalan pelan - pelan demi menunggu kami. 

    Memasuki hutan pinus

    Jalanan yang dilalui adalah tipe jalan setapak yang berliku dan belukar baik di lapangan terbuka hingga memasuki hutan pinus. Lima belas menit mendaki di lereng dengan kemiringan sekitar 20 derajat setara dengan kegiatan mix impact aerobic dengan waktu yang sama. Indikatornya : degup jantung yang berpacu cepat dan napas yang memburu. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Perbedaannya, dalam seperempat jam, gerakan inti dalam senam erobik selesai, maka dalam hiking, pendakian masih berlanjut. Wheew!

    Meskipun di hutan, kemacetan tak terhindari. Kami sibuk berpose ria di depan kamera. :P Ketertinggalan 15 menit dari rombongan di depan jadi lebih lama dari yang diperkirakan, dan kemudian cuaca berubah. Langit mendung! Setetes air yang menerpa wajah bikin panik. Kehujanan tanpa tempat bernaung di hutan? Wah! Enggak deh! Meneruskan perjalanan tanpa petunjuk pasti, cuma menjerumuskan diri. Sudah membuat orang lain menunggu sebelumnya, apakah kini harus menyusahkan mereka, misalnya, karena kami tersesat di hutan? Wah! Enggak juga deh!

    Mendung menggantung
    Waktu akhirnya saya putuskan turun, saya tahu klimaks yang harapkan berubah antiklimaks. Sebagian diri saya terasa gregetan: sudah jauh-jauh, sudah bersiap sejak dini hari, sudah berada di Stasiun Bekasi ketika langit masih temaram, sudah menyiapkan bekal lezat, sudah begadang demi menyelesaikan pekerjaan hari Senin, kok, hilang begitu saja? …  Saya sudah merasakan kegalauan sejak tiba di Stasiun Bogor pada pukul 07.16! Kata teman seperjalanan, kami  begini  sudah takdir. Ibuku pun berkata, apabila kita menjalani segalanya dengan keikhlasan maka semua itu akan tetap terasa nikmat. Iya betul. Maka saya nikmati saja pemandangan hijau royo – royo, udara segar, jalan setapak, dan guyuran hujan, serta perjalanan bersama teman- teman karena dari barang bukti berupa foto–foto, sebagian kecil menunjukkan betapa lucu dan ‘memalukan’ kelakuan kami, tetapi sisanya keren – keren. Haha.

    Yang mengusik hati saya adalah ketika kami kembali melalui jalan yang sama hendak keluar dari hutan:  kami tidak menapaki jejak yang sama! Saat hendak menyusul anggota komunitas, dengan sengaja dan geli sendiri, saya menumpuk dua batu dan beberapa ranting yang ditata sedemikian rupa di dua tempat yang berbeda, namun masih di jalan setapak yang sama. Namun ketika kembali, dua penunjuk itu tak diketemukan! Saat memasuki hutan pinus, kami melompati sebatang pinus tumbang. Sebatang pohon yang kemudian dipertanyakan dimana gerangan ia berada, ternyata dan pada akhirnya kami lihat pohon itu berada di sebelah timur di kemiringan 30 derajat dekat perbatasan hutan.  Langkah kami telah bergeser beberapa meter dari jalur semula tanpa disadari. Saya pernah dengar pendaki yang tersesat dan berputar – putar tidak keruan di dalam hutan. Hmmmm, kami bisa saja seperti itu. Hiiii …. Seram!

    Tak ada papan yang menjelaskan bebatuan ini

    Kami pun menuju Situs Cibalay yang berada di Kampung Cibalay, Desa Tapos, Kec. Tenjolaya dengan rute jinak.  Di jalan kami berpapasan dengan para pria tampan berpakaian hitam – hitam, tetapi menyeker. Pedupaan, bantal, dan kujang adalah sebagian perlengkapan yang mereka bawa. Mereka melangkah ke arah yang berlawanan. Saya enggan bertegur sapa. Sementara, jauh di depan kami ada dua wanita  telah terlebih dahulu ke arah yang  kami tuju.  Untuk tempat terpencil seperti itu, lalu lintas para pejalan kaki  cukup ramai di hari Minggu.

    Papan : Situs Megalitik Arca Domas. Salah Kaprah

    Tiba di lokasi, terpampang papan pemerintah yang menyatakan tempat itu sebagai “Situs Megalitik Arca Domas” untuk Situs Cibalay. Dari penjelasan narasumber, Bpk.Inotji Hidajatullah (Sejarawan Bogor) langsung di lapangan dan referensi  ( https://www.facebook.com/notes/kang-dadi-t%C3%A9a/situs-cibalay-jejak-tradisi-megalitik-di-gunung-salak/10150350810961082 )  pernyataan itu, salah kaprah.  Situs Cibalay ini belum pernah dilaporkan tentang keberadaan arca. Yang ada hanyalah kompleks punden berundak. Situs Cibalay menempati area yang cukup luas, sekitar empat hektar, dan merupakan salah satu punden berundak dengan komponen yang cukup lengkap. Teras utamanya ada diundakan paling tinggi dengan beberapa batu menhir di atasnya. Situs ini pertama kali dilaporkan oleh De Wilde (1830), kemudian Junghuhn (1844), lalu Muller (1856), dan terakhir oleh N. J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige  Diensttahun 1914. 

    Punden berundak

    Adapun dua wanita yang kami lihat di perjalanan ternyata sudah ambil posisi di sebuah punden. Salah seorang dari keduanya sedang duduk sambil membaca Asmaul Husna. Di sisinya terdapat taburan kembang setaman dan kemenyan dengan asap yang mengepul. Lalu, kami diinformasikan tentang  sebuah rombongan orang  (100-200 orang(?)) melakukan ritual tertentu pada malam sebelumnya di situ. Saya jadi teringat beberapa saat sebelumnya telah bersisian dengan pria - pria tampan berpakaian hitam – hitam, …. Saya masih berharap apa yang saya dengar, lihat dan simpulkan sendiri tentang kelompok itu, keliru.

    Pemanfaatan titik - titik di sekitar situs untuk kepentingan pribadi

    Referensi Situs Cibalay dapat dengan mudah diperoleh di internet. Tapi mempelajarinya di bawah informasi pemandu jalan dan narasumber, dan dengan cara mendaki dan menyaksikan sendiri peninggalan itu sangatlah mengasyikkan dan berharga. Meskipun mendapat secuil rekaman memori situs, tidak mengapalah. Karena  keseluruhan aktivitas kali ini - sekali lagi - sudah menambah wawasan, menjalinkan silaturahmi dan dari segi hiking-nya memperbarui kemaskulinan – bahkan buat para wanita. (Q)


    Terima kasih:
    •    Iswanti
    •    Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya, Bogor, Jawa Barat


    Cetakan

  • Senin, 11 November 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • /1/
    lapar membuat pikiran jadi liar, pilihan membuat keisengan, hidup kami dipenuhi ketidaktenteram dan kami tak pernah bosan, kebosanan hanyalah dinding kertas yang mudah sobek oleh kulit basah jari kami, kami melompat dari ketegangan ke pucuk duri, ketenteraman hanya pelontar yang memantul-lesatkan kami dari tepi ke tepi, ujung ke ujung, melompat-mbandul, kami masuki ruang antara di amana kesedihan dan kegembiraan selalu dipertentangkan, hidup – mati dipertaruhkan, lapar-kenyang diperebutkan, kami hidup membawa lupa

    /2/
    kami tak mengerti  apa yang dikatakan dunia tapi kami merasa desakan emosi yang kuat di dalam dada, dada yang tak bias berkata tapi menyerap semua bahasa dari udara, menggumpal, menggelembung, bergulung-gulung, menjebol bendungan kelopak mata, udara jadi basah, bahasa jadi basah, hanyut di tangis kami, kami jadi bisu, kami tak mengenali satu sama lain, kami asing, terasing, kami bicara dalam bahasa terendam, bahasa yang tenggelam, isyarat kami tak terpahami, suara kami lari, lari menubruk mulut kami sendiri, kami merasa mati di rumah sendiri

    /3/
    kami percaya tubuh kami hanya cetakan tapi kami tak percaya kutukan: lubang hitam yang memaksa tubuh kami jadi bidak, prajurit buta, dan bukan apa saja, tapi kami merasa ada kejanggalan pada diri kami, tubuh kami dipaksa kafir dari pikiran dan kemauan, jiwa hidup bersih, tubuh rusuh dihidupi dosa, kami sempat bertaruh pada diri sendiri: jika tuhan diam kami putuskan bunuh diri, tapi tak ada perubahan, kami seperti debu dalam pusaran topan, kami tak pernah dihiraukan tuhan, kami sampai pada ujung kerelaan dan kami harus berjuang melawan sesuatu yang tak pasti dalam tubuh kami: menjadi tua tak berguna atau bermain petak umpet seperti anak – anak, hidup kami dimainkan kata – kata

    /4/
    kami adalah penyekat sekaligus penghubung, kami  pencakup dan pemasuk antara ada dan tiada, kami adalah perangkat sempura, diri kami adalah segalanya, diri kami adalah alam semesta, tubuh kami dipenuhi benda- benda, ruh kami dihuni sketsa, jiwa kami ditumbuhi imajinasi, kenyata-beradaan kami dihidup-napasi jagat raya, kami adalah bagaimana kami memaknai


    F Aziz Manna, 2008

    Mata yang Memandang

  • Senin, 04 November 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Saya membayang apa yang ada di benak pemilik sebuah foto  dengan perkataan Seno Gumiro Ajidarma yang suatu ketika  memotret beberapa objek di Jepang dan dituangkan dalam tulisan “Memotret Jepang”, “… , kenapa saya memotret?”  urai budayawan itu  memulai  argumennya mengapa ia memotret objek  yang ‘tidak – tidak’  di sana,  “Pasti bukan karena saya ingin membuat foto yang bagus, apalagi yang bagus seperti pendapat semua orang.  Lagi pula kata bagus ini sulit saya pertanggungjawabkan.  Saya memotret sesuatu karena saya tertarik kepada apa yang saya potret.  Jadi, foto itu tidak mempresentasikan obyeknya, melainkan subyeknya, yakni pandangan saya.  Sebuah foto merepresentasikan kembali pandangan saya.  Fotografi adalah mata yang memandang."

    Saya tertarik pada sebuah foto. Dari sekian banyak foto yang dipajang seorang teman,  akhirnya saya menekuri pada  yang satu itu.  Foto yang saya maksud  adalah salah satu dari  beberapa foto dengan tema yang berbeda – beda. Melihat foto itu  secara obyektif, yah, apa mau dikata, biasa - biasa saja.  Tebakan paling jitu, objek itu pasti diambil dengan kamera telepon selular. Harap maklum, tebak - tebak buah manggis.

    Seperti apa deskripsinya memang takkan saya ceritakan secara terperinci,  apalagi menampilkan foto itu. Sengaja saya sensor.  Karena bukan niat saya hendak mempermalukannya, justru sebenarnya sebaliknya dan hendak menjaga "privasinya". Jadi bersabarlah untuk mendengar penjelasan saya.

    Mengapa foto itu dipampang? tanya saya dalam hati.  Cukup lama saya menatapnya. Saya tak tahu mengapa mata saya terpikat pada foto yang sesungguhnya tidak  eye catch itu.  Foto itu adalah gambar dua buah kapal beriringan yang diambil dari atas bukit.  Imajinasi saya  mengatakan bahwa kedua kapal itu hendak merapat ke sebuah pelabuhan.
     
    Selagi memandanginya tiba - tiba saya  ikut – ikutan senang dengan  pemandangan alam itu. Karena seolah – olah mendengar suaranya.  Menekuri  kembali kata – kata yang pernah diucapkannya.  Kemudian, merasuk  ke dalam dirinya, lalu terambil kesimpulan bahwa antara mata yang memandang dan kata – kata yang terucap  klop benar.

    Saya ingat pernah berintuisi tentang seorang teman lama dan ia kemudian menjadi orang pertama sebagaimana yang saya bayangkan. Bila keyakinanmu benar pada seseorang, maka itu perasaan yang menyenangkan. Demikian pula sekarang. Saya merasa, memang begitulah ia.  Ia tak bermuslihat.  Matanya  telah memandang jauh ke seberang dan memotret  pemandangan itu. Setelah itu membaginya pada kami. Spontan. Apa yang kita lihat dengan mata telanjang maka begitu pulalah realitasnya.

    Di jejaring sosial, banyak ragam foto yang diunggah orang. Foto dirinya dengan keluarga batihnya, foto aktivitas anak - anaknya, foto beramai - ramai bergaya dengan teman - temannya, foto dirinya pasang aksi bak foto model, dan macam - macam lainnya yang lucu dan beradab.  Foto begitu juga bagus, tapi bagi saya kadar 'like'-nya sedang-sedang saja! Karena pancaran kebahagian mereka itu terkadang bikin iri. Hehe. Biar begitu sekali waktu mau juga kok, saya beri mereka jempol karena rasa iri itu tidak destruktif. Andaikata jempol saya lebih dari empat tentu akan saya bagi buat mereka semua. Namun, dua jempol yang saya miliki malah berada di kaki, walah, itu 'kan tidak sopan! :P ... Banyak foto bagus, namun tidak semua foto yang dijepret sesuka hati jadi foto yang akan saya sukai, kecuali foto dua kapal tadi itu, kini jadi foto IST. 

    Syukurlah Seno Gumira Ajidarma telah membuat definisi seperti itu, bahkan saya setuju seribu persen.  Karena buat seseorang yang cuma pakai kamera hp dan pocket camdig, mengintip  The Arrow Book of Photography, Allan Cash barang sebentar dan tak  pernah ikut kursus fotografi  (Ups! Ketahuan deh,  lagak saya bak kritikus! Berani - beraninya menilai miring foto orang lain padahal sama saja. Memalukan! Haha) uraian Ajidarma  yang satu itu  sangat memotivasi.

    Fotografi bukan bidang yang ingin saya pelajari, otodidak sekalipun, namun bila ada kesempatan memotret rasanya seru bereksperimen mengambil gambar sesuka hati, dan sebagaimana yang saya kutip sekali lagi dari Seno Gumira Ajidarma: "Sebuah foto merepresentasikan kembali pandangan saya." (Q)




    Daftar Pustaka
    “Memotret Jepang,” Buletin Informasi Nuansa, Oktober – November 1999, Jakarta : Pusat Kebudayaan Jepang.


    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint