Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Abstraksi Tiga Detik

  • Senin, 13 Mei 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Tiga detik saja, katanya, itu sudah cukup
    Lalu kaupun membayangkan
    Mata yang terpejam senyaman bayi terlelap
    Wajah teduh sedamai tetirah di bukit rumput
    Senyum  tipis laksana mega yang melintas di leher gunung
    Raga yang lega sepasrah bunga yang diantar sungai ke lautan
    Sehabis terlunasi rindu tahun-tahun yang berlalu
    Di suatu malam sahdu yang agak remang
    Dengan sebuah kecupan lembut

    Cukup tiga detik, tak perlu lebih
    Karena di dadamu rindu sudah berkobar
    Karena di kepalamu angan sudah bertumpuk
    Karena di bibirmu kata-kata hendak keluar berebut
    Tinggal meletus seperti lava panas Gunung Sinabung
    Yang membasuh lereng dan dataran kampungmu

    Cuma tiga detik?
    Manalah mungkin
    Dia telah menanti sejak lama
    Sementara di seberang sana
    Sejak tadi kau hanya mematut-matut,
    Jemarimu di meja mengetuk-ngetuk pertanda ragu
    Memandang mata hanya sesekali
    Bahkan mengajakan pun tak berani

    Perlu berapa lama
    Agar kau patahkan pohon di hutannya
    Agar kau basahi danau impiannya
    Agar tereguk obsesi yang terus mengusik?

    Mengapa terus menduga-duga
    Sedang detik telah menjadi menit, menjadi hari, menjadi bulan
    Menjadi tahun, menjadi abad
    Dan kau terperangkap
    Tanpa tahu jawaban sebenarnya


    Hendry Ch Bangun, 5 September 2010 jam 14:19

    Bukan Serial "ER"

  • Senin, 06 Mei 2013
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Biar sudah bolak – balik rumah sakit, yang biasanya nampak adalah segerombolan pasien, dokter – dokter berkemeja putih, dan para perawat berseragam rapi.  Hilir mudik di pintu UGD ya, hilir mudik saja tanpa benar – benar memahami aktivitas di dalamnya. Begitu memasuki UGD barulah lain ceritanya. Pemandangan dan situasi di UGD rumah sakit kelas dua tidak sehoror UGD RSUD sebagaimana kata orang.  Tetapi, darah dan muntahan di UGD rumah sakit kelas dua tetap bikin beberapa orang dengkulnya seperti mau copot, bulu kuduk meremang, bahkan jantung  jadi berdegup lebih kencang.

    Ada seorang pasien, korban kecelakaan yang mengalami luka pada kepala dan lecet di siku. Dalam satu jam setelah kejadian, korban lebih sering muntah kendati luka pada kepala sudah dijahit dan diperban untuk menghambat pendarahan.  Rontgen kepala pun menunjukkan salah satu titik tengkorak telah retak.  Situasi saat itu sangat tegang. Korban hanya didampingi dua wanita sementara setidaknya ada dua pria di belakang punggung pelaku.  Tapi semua pihak  berkepala dingin.  Pihak pelaku mengaku bersalah dan menerima tanggung jawab. Mereka mengurus segala keperluan pengobatan korban.

    Dulu sebuah stasiun televisi swasta pernah menayangkan serial ER (Emergency Room dengan pemeran George Clooney). Tokoh – tokohnya terdiri dari para dokter dan perawat yang ganteng – ganteng dan cantik – cantik yang bukan saja cerdas, tetapi memiliki empati dan simpati pada pasien dan keluarga si pasien.  Tak tergambar kengerian yang mencekam atas kondisi pasien – pasien. Setting ruangan dalam adegan di ER itu juga diperlengkapi dengan alat kedokteran yang canggih. Lain lubuk, lain belalang memang.  Ironisnya drama penanggulangan korban kecelakaan pagi itu  bukan terletak pada kondisi pasien semata, melainkan pada sang dokter!

    Lecet pada siku korban hendak ditangani dengan cara menjahitnya. Di mata orang awam lecet begitu paling gampang tinggal ditempel handsaplast sehabis dikasih obat merah.  Celetukan bapak pelaku tentang tidak perlunya menjahit luka kecil itu, tiba – tiba mengubah emosi sang dokter.  Bapak si pelaku ditegur keras. Ia dituding hendak berkelit dari masalah dan diancam dengan pemberkasan  visum (et repertum) supaya kasus itu diteruskan ke kepolisian.  Dalam ruangan lengang, suaranya membahana. Kata – katanya seolah memihak pada korban, tapi sebenarnya dia sudah bersikap sembrono membiarkan korban yang masih berada di pembaringan di ruangan yang sama mendengar ucapannya yang bernada tinggi dan penuh kemarahan.  Begitu pula saat hasil rontgen kepala dijelaskan pada pengantar (masih) di ruang yang sama - kecuali pasien tidak sadarkan diri atau seperti  ketika terjadi kecelakaan matanya  menatap kosong sekelilingnya - sang dokter sudah menambah kecemasannya dengan membicarakan kepalanya yang pecah. Rumah sakit itu dituju karena  terdekat dari lokasi kejadian.  Semua orang awalnya cuma ingin memastikan korban tidak terluka parah dan pelaku tidak lari dari tanggung jawab.

    Dalam dua puluh empat jam kemudian  di RSUD Bekasi  yang dirujuk oleh dokter lain kondisi korban memburuk hingga akhirnya jatuh  pingsan. Kabar tentang korban yang telah siuman dan tak perlu operasi melegakan semua orang muncul tiga hari setelah itu. Tapi Jumat, 26 April 2013 itu pula berita duka cita tentang berpulangnya Uje akibat kecelakaan motor tunggal kembali membangkitkan pikiran betapa manusia itu sesungguhnya bersahabat dengan maut.  Si ibu yang menjadi korban kecelakaan sebenarnya sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja, tapi  siapa nyana tinggal tiga – empat langkah sampai di tujuan tahu – tahu tubuhnya disambar motor yang dikendarai anak ingusan.

    Garis bawah atas peristiwa ini – termasuk detailnya yang sampai hari ketiga  – sesungguhnya sangat banyak dan tiap peristiwa (seandainya terlepas dari kejadian ini saja)  pada dasarnya saling berkait dan mengandung pelajaran, bahkan seringkali untuk beberapa orang jadinya merupakan hidayah.  Hidup harus dihargai lebih bermakna.  Bersikap rendah hati atas kekuasaan dan kepemilikan yang sudah dicapai karena semua itu tak sebanding dengan kekuasaan dan kepemilikan pencipta kita  yang mahadahsyat. (Q)
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint