Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

7 Alasan Mencela Diri

  • Senin, 15 Desember 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Tujuh kali aku pernah mencela jiwaku,
    pertama kali ketika aku melihatnya lemah,
    padahal seharusnya ia bisa kuat.

    Kedua kali ketika melihatnya berjalan tertatih - tatih
    di hadapan orang yang lumpuh

    Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah
    ia memilih yang mudah

    Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan coba menghibur diri
    dengan mengatakan bahwa semua orang juga melakukan kesalahan

    Kelima kali, ia menghindar kerana takut, lalu mengatakannya sebagai sabar

    Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk
    padahal ia tahu, bahawa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia pakai

    Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang bermanfaat


    Kahlil Gibran

    Aroma Dendeng Kotoklema di Rantang Opu Sidiq

  • Senin, 10 November 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Ampunilah aroma belelang di rantang Opu Sidiq
    Sebab ia mengandung candu laki – laki
    darah laut yang panas
    jantung matahari
    mata lamafa yang awas memburu buih
    hingga ke batas yang paling jauh

    Ampunilah bukit – bukit yang melepuh
    gurun – gurun bugil
    jalan kampung yang rusak
    arwah – arwah yang memberkahi persabungan
    dengan ludah sirih dan tuak kecut

    Dan di atas semua itu ampunilah gara
    Ampunilah buah asam
    Ampunilah golok yang mencincang daging di tatakan kayu
    Tangan yang melumat bumbu dengan sebuah penggiling batu

    Ampunilah menu makan siang kami yang sederhana
    Dendeng paus musim lefa



    Riki Dhamparan Putra, Juli 2013



    .

  • Senin, 20 Oktober 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • http://picasion.com/gl/3HJ5/




    PENYAIR DAN TONGKAT

  • Senin, 13 Oktober 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • : sdd - dzi

    penyair, bahkan tongkatmu adalah puisi
    mengubah juni jadi hujan
    atau melukai bulan hanya dengan ilalang
    lalu kau berjalan dan jajan
    menumpuk katakata di setiap persinggahan

    seperti pesulap, kau ayunkan tongkatmu
    maka jadilah puisi dari dalamnya laut
    yang pernah membenamkan raja namrud
    membelah lautan dan kini dibaca manusia

    sebagai puisi akbar. dari tongkatmu, penyair,
    bahkan kotakota jadi taman puisi
    meski selalu asing karena sedikit memyentuh

    penyair,
    bahkan tongkatmu mampu menjinakkan maut
    dan seliarnya kata akan tunduk pada kun-mu
    ke dalam puisi-puisimu

    kun, katamu
    jadilah puisi di bulan juni yang berguyur hujan
    atau lelap di bantal ombak

    tongkatmu penyair
    telah menyihir perempuan
    mabuk di laut katakata







    Isbaedy Setiawan, 15.08.2014

    Napak Tilas XIII

  • Senin, 29 September 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Situs Gunung Padang


    Saya pergi ke tempat yang baru – baru ini menghebohkan. Tentang sebuah situs megalitikum Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Pasalnya situs Gunung Padang bukan sekedar tentang sebuah permukaan tanah seluas 900 meter persegi bersama bebatuan di atasnya, melainkan meliputi keseluruhan bangunan yang diduga kuat ada dan tertimbun di bawahnya alias terdapat sebuah bangunan berbentuk piramida. Adapun usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum Masehi. Lebih tua, ketimbang piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Bila benar? ... Kereeeen... .  Nenek moyangku bukan cuma pelaut tetapi juga arsitek hebat yang melahirkan peradaban yang hebat.

    Lalu, tahu – tahu Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya mengumumkan kegiatan acara  napak tilasnya yang ke-13  ke Gunung Padang. Pengaturan waktu yang seolah saling melengkapi itu jadi momen yang tentu saja tak saya lewatkan.

    Keberangkatan
    Acaranya diselenggarakan pada hari Minggu, tanggal 14 September 2014. Berkumpul di Terminal Damri Kota Bogor pada pukul 05.45. Rutenya Bogor - Gunung Padang - Stasiun Lampegan, lalu kembali ke Bogor. Peserta dikenakan biaya Rp. 120.000,00/orang untuk tiket masuk dan transportasi dari Bogor ke lokasi situs (PP).

    Kami berangkat pukul 06.30. Jumlah peserta 28 orang, termasuk panitia. Komposisi peserta terdiri dari pria dan wanita dengan beragam latar belakang (sejarawan, ilmuwan, guru, ibu rumah tangga, bahkan pelajar). Angkatan sweet seventeen sampai golden age turut meramaikan rombongan.

    Situs prasejarah peninggalan kebudayaan megalitikum ini tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota, kecamatan Warung Kondang, di jalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Terletak di ketinggian 885 m dpl.

    Dalam perjalanan pemandangan pagi semakin menghangatkan suasana. Mobil berbaris di pintu tol sudah jadi tontonan lumrah, tapi perbukitan teh, aneka sayur mayur, deretan warung di tebing Puncak, persawahan,  perbukitan dengan jalan – jalan yang berkelok – kelok sangat enak dinikmati, apalagi tanpa kendala berarti. Soalnya, antimo, si Obat Mabuk sudah diganti dengan tusukan akupuntur antimabuk, Bundo Iswanti sehingga pada bagian ini, pesan moralnya adalah jangan lupa bawa obat – obatan pribadi kalau bepergian jauh!

    Memasuki Cianjur kami melipir sebentar ke Warung Sate Marangi. Sarapan. Tahukah Anda dengan dua buah ketan bakar, 10 tusuk sate daging, 10 tusuk sate lemak yang dilumuri bumbu oncom, dan teh hangat cuma-cuma, tujuh belas ribu perak! Sepiring berdua. Sambil duduk di bangku kayu, bisa pula kalau mau menonton si mamang sedang memanggang ketan dan menyiapkan satenya karena posisinya tepat berada  di depan warung.  Kenyang menyenangkan.




    Sampai
    Pukul sebelas kami melalui gapura bertuliskan Situs Gunung Padang. Desain gapura itu  macam gapura Jurassic Park - ada di film berjudul sama. Luas areal situs ini sekitar 3 ha sehingga menjadi kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara.

    Kedatangan kami berbarengan dengan rombongan ITB yang sebelumnya berada dalam iring – iringan di belakang kami. Jumlah mereka lebih banyak. Dari kendaraan yang terlihat setidaknya ada 1 bus, 1 minibus, dan 5 mobil. Selanjutnya dari tempat parkiran, kami harus berjalan menanjak sekitar sepuluh menit ke pintu masuk.

    Saat menuju pintu masuk, ternyata banyak orang yang sudah berjalan turun ke areal parkir. Saya heran melihat orang – orang itu karena terbetik dalam benak saya, seperti apa tempat yang akan kami sambangi. Karena suasana situs yang pernah saya kunjungi bersama komunitas ini, sejauh ini kerap khidmat dan sunyi.

    Stairway to Heaven
    Stairway to heaven, apa itu? Pasti bukan karya Chopin. Saya kembali penasaran tentang rutenya begitu pak ketua mengungkit hal itu. Lalu, melintas pintu masuk barulah terlihat jalan yang bercabang dua. Di sana terdapat dua tangga yang berbeda. Yang berada di sebelah kanan adalah rute jinak. Anak tangganya berbahan dasar semen, rapi, kokoh dan sudah diberi pagar besi di pinggirnya.  Ada pun di sisi lain, kendati terdapat pegangan besi persis seperti yang rute jinak, namun medannya lebih sulit. Kemiringan berkisar 45 derajat. Tiap langkah yang kami lalui berpijak pada tatanan batu yang tidak utuh di beberapa bagian. Perjalanan memang lebih singkat, namun rasanya wow! Menguras dan melegakan napas. Jadi penyebutan ‘stairway to heaven’ saya artikan begitulah rasa surga setelah bersusah payah menaiki tangga yang sulit.:P



    Sesampainya di atas bukit sepajang mata memandang sebaran bebatuan andesit besar berbentuk persegi dan manusia saling berbagi tempat. Ramai. Pengunjung hari itu bukan dari Komunitas Napak Tilas dan Tim ITB saja, tetapi dari berbagai kalangan.

    Lokasi situs dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam. Kompleksnya memanjang, menutupi permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu. Situs itu sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat. Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam.

    Penemuan
    Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede. Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.

    Fungsi
    Fungsi situs Gunung Padang diperkirakan sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim di sana pada sekitar 2000 tahun S.M. Hasil penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya pelibatan musik dari beberapa batu megalit yang ada. Selain Gunung Padang, terdapat beberapa tapak lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode megalitikum.



    Penelitian
    Soal penelitian situs ini sudah cukup banyak dilakukan para ilmuwan. Berbagai temuan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang ini akhirnya melakukan uji radiometrik karbon (carbon dating, C14). Menariknya hasil uji karbon pada laboratorium Beta Miami, di Florida AS, menera bahwa karbon yang didapat dari pengeboran pada kedalaman 5 meter sampai dengan 12 meter berusia 14.500-25.000 tahun.

    Sementera Tim Riset Situs Megalit Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang melakukan penelitian tanggal 30 Mei 2014 mengungkapkan bahwa situs dibangun oleh empat kebudayaan berbeda, yang tertua diperkirakan mencapai umur 10.000 tahun.

    Ada beberapa orang yang percaya kalau situs Gunung Padang memiliki keterkaitan dengan situs piramida yang ada di mesir. Seorang arkeolog asal Bosnia Herzegovina, Semir Sam Osmanagich meyakini hal itu. Dikarenakan bentuknya yang mirip dengan ruang di dalamnya dan karena umurnya yang jauh lebih tua dibandingkan piramida yang ada di mesir. Usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum Masehi, sementara piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Meskipun demikian, saat ini situs padang masih berada dalam masa pengkajian lebih lanjut.

    Selain riset dan survei, kajian pustaka terus dilakukan. Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang diketahui berhulu di sekitar tempat situs ini. Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.

    Waktu kami ke sana sebuah penelitian juga sedang dilaksanakan.  Terpal biru yang dipasang dengan spanduk bertuliskan “Posko Timnas Pelestarian dan Pengelolaan Situs Gunung Padang” menjadi salah satu penandanya. Demikian pula beberapa alat berat dipasang dalam areal terpal biru. Tidak ada penjagaan ekstrim, tetapi tentara RI juga ambil bagian dalam pengamanan.


     

    Terowongan Lampegan
    Kami melanjutkan ke terowongan peninggalan jaman Belanda yang memiliki panjang 686 meter. Terowongan Lampegan dibangun oleh perusahaan kereta api SS (Staats Spoorwegen) dan dibangun pada pada periode 1879 - 1882. Terowongan ini merupakan terowongan pertama di Jawa Barat yang letaknya di lintas kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung via Bogor/Sukabumi. Di Wikipedia dinyatakan bahwa salah satu terowongan pertama di Jawa Barat yang dibuat di desa Cibokor yang lokasinya di Pasir Gunung Keneng, Cianjur Jawa Barat.

    Asal muasal penamaan Lampegan diambil dari cerita yang beredar. Bahwa nama Lampegan asalnya dari kata yang sering disebutkan oleh Beckman ketika memeriksa hasil pekerjaan pegawainya. Setiap melihat pegawai yang sedang bekerja di dalam terowongan, dia sering berteriak mengingatkan kepada pegawainya untuk tetap membawa lampu agar lebih aman dari bahaya kurangnya zat asam. “Lamp pegang...., lamp pegang”, dia mengingatkan dalam campuran bahasa Belanda dan Indonesia. Maksudnya adalah agar pegawai membawa lampu. Di terowongan itu udaranya masih lembap dikarenakan lubang terowongan yang hanya ada satu. Akhirnya, terowongan ini disebut 'Terowongan Lampegan'

    Rembesan air mengakibatkan bagian atas terowongan hancur. Sehingga hubungan kereta api Sukabumi-Cianjur terputus. Setelah mengalami renovasi pada September 2000, Sukabumi dan Cianjur kembali terhubung. Namun dari tanggal 12 Maret 2001, terowongan itu ambruk lagi, dan hubungan stasiun Cianjur dan Sukabumi kembali terputus. Pada tahun 2010, Terowongan Lampegan kembali direstorasi dan telah memasuki tahap uji coba. Sekarang stasiun Lampegan melayani KA Siliwingi untuk rute Bogor – Sukabumi – Cianjur.

    Pulang
    Ini bukan pertama kali Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya mengunjungi Situs Gunung Padang, tapi pengalaman pertama buat saya. Seperti biasa, secara keseluruhan acara berlangsung lancar dan bernas. :)




    Sumber:
    http://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/02/27/puluhan-ilmuwan-asing-kagumi-penelitian-gunung-padang/
    http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Gunung_Padang
    http://id.wikipedia.org/wiki/Terowongan_Lampegan




















    Dari Seorang Penyair

  • Senin, 08 September 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • :kawan aktivitis

    Kawan, engkau sangat suka bercerita
    sedang aku duduk manis menulis
    mencatat semuanya tanpa terlewat
    setiap kalimat yang semburat di matamu

    setiap jeritan adalah perjuangan, katamu
    dan aku menulis tangis itu satu persatu
    ada kepal yang terus menjagal langit
    juga mulut yang terus menyulut mimpi
    esok pagi, revolusi!

    Hari ini kemiskinan harus dihentikan, katamu
    tapi  aku sedang miskin kata-kata
    sangat sulit hanya untuk sekedar sebait
    sedang kau tak pernah lelah melangkah
    sebab diam bagimu adalah ketertindasan

    apalagi yang mesti kudengar kawan
    sampai robek kertas ini disayatsepi
    sampai aus tinta ini dihisap usia
    aku masih saja murung di bawah puisi
    sambil melongok sekejab-sekejab
    angin yang lintas di atas baris demonstrasi

    ah, aku masih saja takut dan pengecut





    Jafar Fakhrurozi, 2008

    Buku yang Akan Saya Baca

  • Senin, 18 Agustus 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Pagi tadi otak saya terasa buntu. Padahal pengen curhat banyak. Gara - garanya, bangun kesiangan! Sulit sekali suasana hati diubah. Tapi setelah itu, tahu – tahu sel – sel kelabu otak saya langsung menyala. Berubah putih benderangan. Susah – susah cari inspirasi, rupanya cuma butuh satu hal.  Satu hal itu asalnya dari satu orang tertentu saja. Siapa pun bisa jadi sumber inspirasi sebenarnya, tapi padanya ini memang pengecualian – orang yang paling menyebalkan seantero dunia, sebabnya.  Haha. Andai kalian tahu, sebetulnya apa yang hendak saya kerjakan, dan yang sedang dia kerjakan sama sekali berbeda. Tapi feelingnya, langsung touché.  Aneh tapi nyata.  Sumbat di otak saya rontok seketika dan ide – ide itu mengalir bagai air.

    Saya maunya cerita macam-macam. Tapi malu juga dianggap lebay. Sekarang saya bicara buku saja. Saya suka buku. Novel terjemahan, favorit saya. Ketularan kakak tertua. Punya kakak yang doyan baca, jadi keberuntungan buat saya. Hampir setiap kali ia datang, ada saja buku yang dilimpahkan buat saya. Kontainer buku – bukunya ibarat harta karun emas berlian. Pinjam buku padanya pun tidak terbatas waktu atau kena denda.

    Koleksi buku kami lumayan banyak.  Gabungan dari beberapa anggota keluarga. Perpustakaan keluarga kami kecil, tapi interiornya didesain sedemikian rupa sehingga – seperti kata pembantu saya – mirip kamar pengantin. Hahaha.  Apanya yang mirip? Wong tak ada rumbai – rumbai kok! Nyaman, tentu saja.

    The thicker, the better. Buku paling tebal yang saya baca judulnya, The Historian. Karena itu secara otomatis saya paling senang buku tebal.  Kenikmatannya tak tertandingi.  Pengetahuan yang disampaikan mendalam dan baik penggambaran maupun ulasannya tuntas.  Banyak juga buku yang kurang dari 200 halaman, dapat jempol. Meskipun sederhana, tapi pas takarannya. Ibarat makanan, buku itu dilahap tandas dan penuh kenikmatan. Tapi mendapatkan buku yang begini, susah – susah gampang.

    Don’t judge a book by its cover. Banyak buku yang  pada bagian judul  terlihat sangat puitis.  Kaver  pun ditata menarik.    Saya hanya bisa menabahkan diri saat membaca buku yang judulnya puitis dan kavernya menarik itu, tetapi isinya tidak sebanding. Tadinya saya berharap ada kejutan di tengah – tengah tulisan, nyatanya tidak! Dua kali terkecoh.  Ckckck! Begitulah rasa kesal yang dirasakan waktu sampai tengah – tengah buku, dan daripada menghabiskan waktu percuma lebih baik ganti buku lain.

    Sekarang saya hendak baca Perang Salib, buku setebal 808 halaman, pemenang King Faizal International Prize. Sepertinya ini buku bagus. Saya sudah menyiapkan buku ini di urutan pertama bacaan. Karena terpengaruh sosok inspirasional tadi pagi muncul pikiran kriminal untuk bolos selama dua hari buat baca buku, makan, dan minum doang. Halah! Halah! Hmmmm, ini memang  buku yang menarik!  Idenya itu pun tak biasa.  Nekad nggak yaaaa…. Hmmmm!  …. Hihi… . Merdekah!: ) (Q)

    Tuhan, Kita Begitu Dekat

  • Senin, 11 Agustus 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Tuhan
    Kita begitu dekat
    Sebagai api dengan panas
    Aku panas dalam api – Mu

    Tuhan
    Kita begitu dekat
    Seperti kain dengan kapas
    Aku kapas dalam kain – Mu

    Tuhan
    Kita begitu dekat
    Seperti angin dan arahnya
    Kita begitu dekat

    Dalam gelap
    Kini aku nyata
    Pada lampu pada – Mu



    Abdul Hadi W.M

    Angels & Demons

  • Senin, 04 Agustus 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • … .

    Langdon tersenyum. Dia berjalan hilir mudik di depan papan tulis sambil menguyah apel.

    “Mr. Hitzrot!” dia berseru. Seorang pemuda yang mengantuk di deretan belakang segera menegakkan duduknya karena terkejut,

    “Apa! Aku?”

    Langdon menunjuk poster Renaisans yang menempel di dinding.

    “Siapa lelaki yang berlutut di depan Tuhan?”

    “Mmm… seorang santo?”

    “Hebat. Dan bagaimana kau tahu dia itu santo?”

    “Dia mempunyai halo?”

    “Bagus sekali. Dan apakah halo keemasan itu mengingatkanmu pada sesuatu?”

    Hitzrot tersenyum. “Ya! Benda Mesir yang kita pelajari semester lalu. Itu … mm … cakram matahari!”

    “Terima kasih, Hitzrot. Tidurlah kembali.” Langdon kemudian memerhatikan mahasiswa lainnya.

    “Halo, seperti juga simbol Kristen lainnya, dipinjam dari agama Mesir Kuno yang menyembah matahari. Agama Kristen dipenuhi contoh – contoh pemujaan matahari.”

    “Maaf?” gadis yang duduk di deretan depan itu berkata lagi. “Aku selalu ke gereja, tapi aku tidak pernah memuja matahari.”

    “Betulkah? Apa yang kau rayakan pada 25 Desember?”

    “Natal. Hari lahir Yesus Kristus.”

    “Tapi, menurut Alkitab, Kristus lahir pada bulan Maret. Kenapa kita merayakan pada akhir Desember?”

    Diam.

    Langdon tersenyum. “Tanggal 25 Desember adalah hari libur kaum pagan kuno, sol invictus – Matahari yang Tak Terkalahkan – bertepatan dengan titik balik matahari pada musim salju. Itu saat yang luar biasa dalam setahun ketika matahari kembali bersinar, dan hari mulai bertambah panjang.”

    Langdon menggigit apelnya lagi.

    “Penyebaran agama Kristen,” dia melanjutkan, “sering mengadopsi hari – hari suci yang sudah ada upaya masuk – Kristen tidak terasa terlalu mengejutkan. Itu disebut transmutasi. Itu membantu orang untuk menyesuaikan diri dengan agama baru mereka. Para pemeluk baru itu terus mempertahankan tanggal – tanggal suci mereka, berdoa di tempat – tempat suci yang sama, menggunakan simbologi yang sama … dan mereka hanya semata – mata mengubah tuhannya dengan yang baru.”

    Sekarang gadis di depan itu tampak marah. “Anda menyindir kalau agama Kristen hanyalah … pemujaan matahari dengan kemasan ulang?”

    “Sama sekali tidak. Agama Kristen tidak hanya meminjam dari para pemuja matahari. Ritual kanonisasi seorang Kristen Kristen diambil dari ritual ‘pengangkatan dewa’ milik Euhemerus. Ritual “Tuhan makan’, atau Pemujaan Kudus, diadopsi dari Aztec. Bahkan konsep Kristus mati untuk menebus dosa dipandang sebagai bukan milik Kristen semata; pengorbanan diri seorang pemuda untuk menebus dosa – dosa rakyatnya ada dalam tradisi Quetzalcoat yang paling awal.”

    Gadis itu melotot. “Jadi apa yang asil dari agama Kristen?”

    “Dalam setiap agama yang terorganisasi, hanya sedikit ritual yang asli. Agama – agama tidak terlahir begitu saja. Suatu agama berkembang dari agama lainnya. Agama modern merupakan sebuah susunan … sebuah percampuran catatan sejarah mengenai pencarian manusia untuk mengerti Tuhan.”

    “Mmm … tunggu dulu,” Hitzrot mencoba – coba, tampaknya sudah terbangun sekarang, “Saya tahu sesuatu yang asli dari Kristen. Bagaimana dengan gambaran kita akan Tuhan? Kristen tidak pernah menggambarkan Tuhan sebagai dewa matahari, elang, atau seperti orang Aztec, atau apa saja yang aneh. Gambaran Kristen selalu berupa seorang lelaki tua dengan janggut putih. Jadi gambaran kita tentang Tuhan adalah hal yang asli, bukan?”

    Langdon tersenyum, “Ketika orang – orang Kristen pertama beralih meninggalkan tuhan mereka yang terdahulu – dewa – dewa pagan, dewa - dewa Romawi, Yunani, matahari, Mithraic, apa pun itu – mereka bertanya kepada gereja bagaimana rupa Tuhan Kristen mereka yang baru. Dengan bijaksana gereja memilih wajah yang paling kuat, paling ditakuti … dan paling terkenal dari seluruh catatan sejarah yang ada.”

    Hitzrot tampak ragu, “Seorang lelaki tua dengan janggut putih yang panjang?”

    Langdon menunjuk poster yang berisi hierarki dewa – dewa kuno yang tergantung di dinding. Di puncaknya duduk seorang lelaki tua dengan janggut putih yang panjang.

    “Apakah Zeus terlihat seperti tokoh yang cukup kalian kenal?”

    Kuliah itu berakhir tepat di situ.

    *

    Dan Brown, Angels & Demons, hlm.293 – 295, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta.

    My King

  • Senin, 14 Juli 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Emas belum tentu gemerlap,
         Tak semua pengembara tersesat;

    Yang tua tapi kokoh akan bertahan tetap,
         Akar yang tertanam dalam akan bertahan kuat.

    Dari abu akan menyala api,
         Dari bayangan akan muncul cahaya;

    Mata pisau yang patah akan diperbarui:
         Yang tidak bermahkota ‘kan kembali menjadi raja.



    J.R.R Tolkien, 2002, “Fellowship of the Ring,” Terj.

    SAJAK MATA-MATA

  • Senin, 07 Juli 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Ada suara bising di bawah tanah.
    Ada suara gaduh di atas tanah.
    Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.
    Ada tangis tak menentu di tengah sawah.
    Dan, lho, ini di belakang saya
    ada tentara marah-marah.
    Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
    Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.
    Aku melihat isyarat-isyarat.
    Semua tidak jelas maknanya.
    Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
    mengganggu pemandanganku.
    Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
    Pendengaran dan penglihatan
    menyesakkan perasaan,
    membuat keresahan –
    Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
    terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
    Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
    Tak ada yang tahu.
    Betapa kita akan tahu,
    kalau koran-koran ditekan sensor,
    dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
    Koran-koran adalah penerusan mata kita.
    Kini sudah diganti mata yang resmi.
    Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
    Kita hanya diberi gambaran model keadaan
    yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.
    Mata rakyat sudah dicabut.
    Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
    Mata pemerintah juga diancam bencana.
    Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
    Terasing di belakang meja kekuasaan.
    Mata pemerintah yang sejati
    sudah diganti mata-mata.
    Barisan mata-mata mahal biayanya.
    Banyak makannya.
    Sukar diaturnya.
    Sedangkan laporannya
    mirip pandangan mata kuda kereta
    yang dibatasi tudung mata.
    Dalam pandangan yang kabur,
    semua orang marah-marah.
    Rakyat marah, pemerintah marah,
    semua marah lantaran tidak punya mata.
    Semua mata sudah disabotir.
    Mata yang bebas beredar hanyalah mata-mata.

    Rendra
    Bandung, 28 Januari 1978
    Potret Pembangunan dalam Puisi

    In "Into The Wild", Jon Krauker

  • Senin, 23 Juni 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Bentang alam negeri ini telah menjadi sebagian dari diriku. Jalan – jalan setapak yang kubuat mengarah ke perbukitan dan rawa – rawa, tetapi jalan – jalan setapak itu juga mengarah ke dalam batinku.  Dari penelitian tentang hal – hal yang ada di bawah kakiku, dan dari membaca dan berpikir, muncul semacam penelaahan, tentang diriku dan tanah ini.  Pada saat yang sama keduanya menyatu  di dalam pikiranku. Dengan semakin kuatnya kesadaran akan hal – hal esensial yang mengemuka dari titik terendah, aku menemukan kerinduan yang sangat dalam dan permanen di dalam diriku – untuk mengabaikan pikiran untuk selamanya, dan semua kesulitan yang dibawanya, semua, kecuali keinginan yang paling dekat, langsung, dan mencari – cari. Untuk menelusuri jalan setapak itu tanpa menengok ke belakang. Baik dengan berjalan kaki, dengan sepatu ski, atau dengan kereta salju menuju perbukitan musim panas dan bayangan – bayangan mereka yang lambat membeku – sebuah lautan api yang tinggi, sebuah jejak pelari di atas salju akan menunjukkan ke mana aku pergi. Biarkan seluruh umat manusia mencariku jika mereka bisa.

    John Haines, The Stars, The Snow, The Fire : Twenty Five Years in The Northern Wilderness

    Aku

  • Senin, 09 Juni 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Kalau sampai waktuku
    ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
    Tidak juga kau
    Tak perlu sedu sedan itu

    Aku ini binatang jalang
    Dari kumpulannya yang terbuang
    Biar peluru menembus kulitku
    Aku tetap meradang menerjang

    Luka dan bisa kubawa berlari
    Berlari
    Hingga hilang pedih peri
    Dan aku akan  lebih tidak peduli
    Aku mau hidup seribu tahun lagi



    Chairil Anwar

    Into Thin Air

  • Senin, 19 Mei 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Maret 1996, majalah Outside mengirimku ke Nepal untuk berpartisipasi dalam, dan menulis tentang pendakian di Gunung Everest yang dipandu.  Aku berangkat sebagai salah seorang dari delapan peserta dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh seorang pemandu terkemuka dari Selandia Baru bernama Rob Hall. Pada 10 Mei, aku tiba di puncak gunung, tetapi keberhasilan mencapai puncak Everest itu harus dibayar dengan sangat mahal. Ekspedisi itu membuatku terguncang sehingga aku kesulitan menyusun tulisan untuk Outside.

    Beberapa penulis dan editor yang kuhormati menyarankan agar aku tidak terlalu terburu – buru menulis buku ini; mereka memintaku untuk menunggu dua atau tiga tahun; untuk memberi ruang antara diriku dan ekspedisi Mei 1996 tersebut, agar aku bisa memperoleh sudut pandang yang lebih jelas.  Meskipun saran yang mereka berikan sangat bijak, tetapi pada akhirnya aku harus mengabaikannya – terutama karena peristiwa di gunung itu terus menggerogoti jiwaku.  Kupikir, menuliskannya ke dalam sebuah buku bisa membuatku melupakan Everest.

    Ternyata tidak. Terlebih lagi, aku juga setuju bahwa kepuasan pembaca kurang terlayani jika karya seorang penulis merupakan bagian dari upaya untuk menyembuhkan jiwa, seperti  yang kulakukan dalam buku ini. Namun, aku berharap sesuatu bisa diperoleh jika aku mengungkapkan perasaanku tentang akibat langsung dari bencana tersebut, ketika perasaan sedih dan kenangan tentang itu masih segar dalam ingatanku. Aku ingin ceritaku memiliki kejujuran yang benar – benar mentah dan tanpa belas kasihan, kejujuran yang bisa hilang seiring berjalannya waktu dan memudarnya derita yang kurasakan.

    Beberapa orang yang mengingatkanku agar tidak terburu – buru menuliskan cerita ini adalah orang – orang yang pernah mengingatkanku agar tidak berangkat ke Everest.  Ada banyak alasan bagus, mengapa aku tidak boleh pergi, tetapi upaya untuk menaklukkan Everest merupakan tindakan tidak masuk akal yang sudah menjadi bagian dari diriku.  Setiap orang yang dengan sungguh – sungguh berpikir untuk melakukannya, hampir dipastikan, sudah terganggu akal sehatnya.

    Kebenaran yang paling sederhana  adalah aku tahu bahwa aku tidak seharusnya pergi ke Everest, tetapi aku pergi juga. Dan karena itu, aku ikut menjadi penyebab tewasnya orang – orang yang baik, sesuatu yang mungkin mengusik batinku untuk waktu yang sangat lama.



    Seattle, November 1996
    Jon Krakauer

    Sonet 12

  • Senin, 12 Mei 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
    tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat
    aksara apa.  Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
    tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –

    dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi
    dihimpitnya.  Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
    harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –
    tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat

    pada sebuah tanda Tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari
    jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng
    jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
    merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng

    Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?
    Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?


    Sapardi Djoko Damono, 2009

    Solilokui

  • Kamis, 08 Mei 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Ini kutipan yang saya ambil dari tulisan Rhenald Kasali berjudul "Konsep Visual". Beliau mengatakan bahwa simbol-simbol yang memberikan pesan-pesan nonverbal, menurut ahli psikologi memberikan lebih banyak makna dibandingkan pesan verbal. Dalam banyak hal, pemikiran itu juga berlaku dalam presentasi. Waktu kita mengembangkan ide-ide visual tentunya harus sesuai dengan topik yang akan disampaikan.  Holchombe dan Stein (1990) memberikan tips mewujudkan suatu konsep visual. Pertama, gunakan analogi dalam menyampaikan topik. Bisa pula metafora atau apa saja yang berhubungan dengan pembahasan. Dengan analogi yang cerdas, kita bisa menceritakan dengan bahasa yang sederhana, lugas, dan menarik. Kedua, gunakan visual sesuai dengan data yang ada. Petunjuk untuk membuat visualisasi biasanya dari kata kerja, karena kata kerja menunjukkan suatu kegiatan (action). Bisa pula dimanifestasikan berupa gambar misalnya sebuah tanda panah yang mengarah kepada tujuan. Ketiga, berkeyakinan bahwa visual ini sesuai dengan kata-kata yang ingin dikembangkan. ( http://news.detik.com/read/2000/08/27/202918/285377/25/konsep-visualhttp://news.detik.com/read/2000/08/27/202918/285377/25/konsep-visual)

    Sangat menarik betapa hidup bisa tertata dengan rapi dan bergelimang keajaiban karena pemanfaatan konsep visual dengan baik. Banyak orang tidak bermaksud menerapkan teori itu dengan sengaja.  Barangkali visual mind adalah teori yang dibaca sepintas lalu, sebagai tambahan pengetahuan saja, namun ternyata berdampak luar biasa. Tetapi, menjadi bagian dari sesuatu itu sangat menyenangkan, bagian dari kelompok yang ber-visual mind.

    Presentasi beberapa tulisan dalam blog ini sudah disiapkan tahun lalu.  Pada kenyataannya, tulisan – tulisan itu bagai mantra yang ditebar ke langit. Umpamanya: “Kemenangan”. Tulisan itu adalah terjemahan dari ayat – ayat Al – Fath, surat ke-48 dalam Al Qur’an. Dua tahun lalu, ceramah Ustad Yusuf Mansyur di Wisata Hati tentang Al Fath  meninggalkan kesan mendalam buat saya. Cek saja videonya di Youtube. Saya jadi selalu ingin menulis sesuatu tentang kemenangan dan Al Fath.  Tetapi, tidak ada yang pas, kecuali dalam formulasi seperti itu. Secara kebetulan dalam minggu yang sama dengan terbitnya tulisan itu, sebuah hadiah yang ditujukan untuk saya diumumkan kepada khayalak. Ada dua hal yang berbeda, tetapi muncul bersamaan dan seakan – akan saling melengkapi. Memikirkan hal itu, bagi saya sungguh menggelisahkan. Seolah – olah saya sedang berbangga diri menerima hadiah itu, lalu mengutip sebuah terjemahan Al Fath. Betul, dengan senang hati hadiah itu saya terima, tetapi situasi itu sebenarnya bikin saya mau ngumpet saja.

    Kebetulan – kebetulan itu datangnya silih berganti sejak beberapa tahun terakhir. Bukan tentang “Kemenangan”, tetapi juga hal lainnya.

    Jadi bagaimana menjelaskan hal ini? Ada banyak penjelasan yang dapat menuntaskan pertanyaan itu. Salah satunya adalah apalagi kalau bukan sebuah visual mind yang tengah berperan dalam kehidupan saya kini. Saya sedang menuliskan takdir saya sendiri. Semua yang tertulis itu benar – benar untuk menyambut suatu hal. Bila benar begitu, maka menulis bukan lagi sekedar aktivitas pengisi waktu luang, tetapi juga doa. Jadi, menulis harus dilakukan dengan pertimbangan - pertimbangan yang matang.

    Melanjutkan kata – kata Rhenald Kasali, “(Hati-hati jika) inginnya tampil menarik, salah-salah visualnya tidak sesuai. Maka, sebelum presentasi dimulai, uji coba dahulu (bagaimanapun caranya). Siapa tahu ada pesan visual yang tidak sesuai dengan kata-kata yang ingin disampaikan.”(Q)

    Napak Tilas XII

  • Senin, 21 April 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Lima bulan berlalu sejak napak tilas terakhir di Kecamatan Tenjolaya. Seminggu yang lalu Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya menggelar acara yang ke – 12: “Sisi Lain Jejak Megalitik di Gunung Salak.

    Masih di Gunung Salak! Maka karena tak ada aral yang melintang, tentu saja acara ini tidak dilewatkan. Gambaran keindahan pemandangan di lereng Gunung Salak yang bernuansa hijau, coklat, biru, putih, dan kelabu kerap membayang. Apalagi petualangan kecil pada acara sebelumnya bikin penasaran seperti apa medan kali ini. 
    Memotret Peninggalan. Dr. Hasan Djafar.
    Matahari sepertinya tengah tersenyum pada kami. Kecerahan teraut di wajah para peserta. Sekitar 27 partisipan berkumpul di Bogor Trade Mall. Lokasi yang strategis menjadikan BTM sebagai titik tolak keberangkatan. Variasi peserta kali ini sangat menarik. Dari anak – anak usia SD dan SMP hingga para pini sepuh antusias mengikuti acara. Ibu – ibu bersepatu teplek sampai bersepatu boot juga ada. Jangan tanya, tentang kaum prianya. Mereka yang mungkin berpakaian perlente di hari kerja, saat itu tampil bersahaja, santai, tetapi keyyeeeeen. 

    Nah, begitu sang narasumber, Dr. Hasan Djafar muncul bersama pak ketua, Hendra M Astari maka jadilah kami beramai – ramai menuju lokasi. 

    Ada tiga kendaraan roda empat yang mengantar kami ke situs yang dituju. Tujuan pertama berada di Kampung Pondok Bitung, Desa Sukaharja, Kec. Cijeruk, Kab. Bogor. Ada dua peninggalan megalitik yang berada di areal tersebut, yaitu Batu Korsi dan Batu Aseupan. Sebelum berangkat seperti biasa kami telah dibekali brosur tentang peninggalan yang akan disambangi dan dalam brosur “Napak Tilas Ke-12” termuat informasi begini:  
     
    Perawatan Lingkungan Batu Korsi

    Batu Korsi 
    Rupa batu yang satu ini benar – benar menyerupai kursi: bagian datar sebagai dudukan dan bagian sandaran. Tinggi batu adesit ini adalah 125 cm dan lebarnya 110 cm. Posisinya memanjang dari selatan ke utara, dengan bagian datar terdapat di ujung sebelah utara. Bila diukur panjang x lebarnya, bidang datar Batu Korsi ini adalah 90 cm x 85 cm. Diduga permukaan rata pada batu itu merupakan sentuhan budaya manusia pada masa lalu. Kontur tanah menuju batu bersejarah itu menanjak. Permukaan tanah berbentuk terasering alias berundak – undak dengan penahan dari bebatuan. 

    Batu Aseupan
    Batu Aseupan  
    Bentuk monolit ini meruncing ke atas dengan sisi – sisinya membentuk empat bidang miring. Tiga dari empat bidangnya memiliki permukaan yang cukup rata. Salah satu bidang datarnya menghadap ke selatan (puncak Gunung Salak). Tingginya mencapai empat meter. Bagian baratnya seolah – olah terpancang sehingga bagian bawahnya membentuk sebuah ceruk. Melewati ceruk ini mengalir selokan kecil dari arah selatan (atas) menuju ke utara. 

    Masyarakat lokal menyebutnya sebagai Batu Aseupan atau batu kukusan. Bila dilihat sepintas lalu bentuknya kerucut yang mengingatkan kita pada bentuk kukusan (alat masak tradisional).

    Untuk mencapai kedua peninggalan itu kami berjalan kaki lebih kurang sepuluh menit dari tempat parkir. Kami melewati pemukiman penduduk dan jalan setapak sambil mengagumi pemandangan buah menteng yang meranum di atas pohon. Yup! Begitulah! Kami cuma lihat – lihat saja buah itu bertengger di dahannya. Tak ada yang berani mengambil. Menikmati buah yang rasanya manis asam ya saat ada yang beli dan berbaik hati bagi – bagi buat kami. Lalu, penemuan sebuah kebun pokpohan di kaki Batu Aseupan. Saya baru pertama kali lihat daun pokpohan yang biasa jadi pelengkap lalapan, ada sebanyak itu.  Wow! Mantabs dicocol pakai sambal. Slrup! Dan, kok ada yang mendapat kecombrang? Dimana pula gerangan kecombrang itu berada? Asiknaaa masak - masak … . :P 

    Usai meninjau Batu Korsi dan Batu Aseupan, perjalanan dilanjutkan ke Guha Lengkop dan Punden Jagakarsa. Brosur dan makalah “Tradisi Megalitik” yang disiapkan panitia sangat membantu peserta mendapat gambaran umum tentang situs. 

    Guha Lengkob
    Guha Lengkob 
    Guha Lengkob berada gua yang berada di lembah atau kaki bukit. Namun keawaman pihak berwenang sehingga penyebutan tempat itu akhirnya dan secara berangsur – angsur disebut Gua Langkop. Deskripsi gua ini sebagai berikut : sebuah gua atau yang mungkin lebih tepat disebut ceruk. Atap dan dinding dari batu sedang alasnyadari batu – batu datar yang disusun rapi. Orang yang hendak masuk harus membungkuknya tubuhnya. Sekeliling gua terdapat formasi batu yang tak beraturan. Beberapa menhir tampak berada di sekeliling gua dengan tinggi yang berbeda – beda. Pun sebuah batu dadar teronggok di dekatnya. Undakan sudah tidak jelas. 



    Punden Jagakarsa
    Punden Jagakarsa 
    Tidak jauh dari Guha Lengkob terdapat Situs Punden Jagakarsa. Ada dua formasi batu dengan jarak satu meter. Punden pertama, susunan batunya agak acak. Tidak jelas ada satu atau dua teras batu di punden ini. Beberapa menhir menunjukkan tinggi yang tidak seragam. Pada punden kedua, susunannya lebih rapi dan tertata. Terdiri dari satu teras batu. Punden agak tersembunyi di antara rerimbunan semak. Penduduk menyebutnya sebagai Jagakarsa atau Embah Jagakarsa. Siapa gerangan sosok yang satu itu, mesti digali lebih dalam. Demikian sebagaimana yang dikatakan HMA (Hendra M. Astari (?))
     * 

    Untuk mencapai peninggalan yang berada di Pondok Bitung dan Kampung Tapos tidak bisa dijangkau dengan berjalan kaki sebagaimana acara Napak Tilas ke – 11.

    Untunglah panitia sudah menyiapkan tumpangan yang mengantar kami ke sana. Memang minim tantangan. Tak menguras energi, tetapi sebuah pengetahuan dan petualangan baru datang tergelar. Pagi – pagi saya dan beberapa orang mendapat privillige naik Land Rover Keluaran 1979nya Kang Asep. “Whew! Ini nih, mobil jejak petualangan!” Seru saya yang baru pertama kali naik land rover begitu memasuki mobil. Pada saat berangkat kendaraan masih melaju kalem. Begitu menuju Pondok Bitung ketika siang merayap, kami melewati satu titik dengan kemiringan jalan mencapai 45 derajatan. Buat empat pria yang sudah duduk di atap mobil bolehlah itu jadi alasan mengocok adrenalin. Tapi di dalam land rover saya tengah duduk manis dan menikmati celotehan para ibu. Hihihi. 


     *

    Peninggalan yang kami saksikan hari itu ternyata belum dikaji secara ilmiah lebih lanjut. Sayang sekali bila benda purbakala dibiarkan terbengkalai dan tak dilestarikan. Rekreasi dan edukasi bisa jadi kombinasi yahud untuk kelanjutan pelestarian budaya. Sebagaimana slogan komunitas yang juga dikutip dari perkataan Bung Karno ini : "Jas merah!" Maka janganlah melupakan sejarah! (Q)


    Hatur nuhun: 
    Kang Hendra M Astari 
    Kang Asep 
    Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya

    Kemenangan

  • Senin, 14 April 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Sesungguhya Kami telah memenangkan
    engkau dengan kemenangan yang nyata

    agar Allah mengampuni dosamu yang telah lalu
     dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmatNya kepadamu
    dan menunjukimu jalan yang lurus,

    dan menolong dengan pertolongan yang kuat

    dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati
     orang – orang mukmin
    supaya menambah keimanan mereka di samping
    keimanannya (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah tentara yang ada di langit dan di bumi,
    dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.




    Al – Fath 1 – 5

    Back to Square 1

  • Senin, 24 Maret 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Ada seorang guru senior di sebuah SMP di Bekasi, namanya, Rubaeah Maryam. Satu kali beliau menceritakan romantikanya mengajar. Yang senantiasa menggaung,  tentang  cerita kemunculan anak – anak istimewa  saat beliau terdiam membeku menahan kemirisan memandangi kelasnya yang hinggar bingar. Lalu, dengan indahnya beliau menggambarkan kemunculan anak  yang menenangkan teman – temannya yang berisik itu sebagai : anak yang paling cerdas yang akan bereaksi.

    Ternyata, di dalam kelas yang berbeda mengajar itu jadi sulit. Anak – anak tetaplah anak – anak. Kehidupan mereka belum tertempa dari pengalaman hidup.  Mereka belum paham benar artinya menghormati orang lain, berilmu, dan bermanfaat. Bilakah keaktifan otak reptil mereka jadi pemicu aktivitas yang sia – sia itu? Maka jadi PR besar buat seorang guru dan memunculkan pertanyaan mengapa mereka tidak nyaman?
    *

    Saya sudah berada di tengah medan laga, di semester kedua, ketika berdiri di depan mereka. Pengantar dari rekan sejawat sebelum saya turun bahwa mereka “bersesuatu”.

    Setelah beberapa saat sampailah saya pada titik sebagaimana yang digambarkan oleh Ibu Rubaeah. Dalam situasi yang kira – kira sama dengan yang dialami guru matematika itu, dari anak – anak di kelas yang berbeda, anak – anak yang paling tampan dan cantiklah yang ternyata muncul membela gurunya. Sebagai guru baru, kenikmatan itu seolah – olah  seperti tengah berada di ruang nol gravitasi. Melayang – layang di udara bagai Kosmonot Yuri Gargarin menikmati  sepotong steik yang juga mengambang di udara. Ada anak – anak yang telah bikin ruang hampa udara itu sangat asyik direnangi. Mereka tahu betul artinya berdiri di belakang dan memberi pembelaan.  Sebagai ibu, tak seharusnya saya pilih kasih, tapi sebagai manusia biasa, saya tak kuasa memberi garis bawah dan perhatian khusus pada mereka.  Betapa kasih sayang pada Syahda, Haqi, Kaisar, Dino, Naren dan Fachri kemudian menjadi lebih.
    *

    Apapun yang tengah terjadi dalam kurun yang singkat ini adalah konsekuensi dari doa yang terkabul.  Paling gampang menyerah dan pura – pura lupa telah minta apa sebelumnya sama Tuhan.  Kompensasi yang tidak seimbang bisa jadi alasan untuk mundur. Ya! Kalau berani! Karena kontrak kerjanya langsung pada yang paling berkuasa sejagat raya ini.

    Dalam situasi yang demikian, setidaknya sekarang adalah tetap menabahkan dan membesarkan hati, dan senantiasa menyerap kata – kata mutiara seperti ini : tujuan akhir dari kerja keras bukan kesuksesan, tapi demi sebuah nilai (Albert Einstein) . (Q)

    Untuk anak – anak yang menyayangi ibunya

    Hikayat Aradea

  • Senin, 10 Maret 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Menyerupai hewan pengerat
    seseorang berdiam dalam kepalaku
    dipecahkannya pembuluh darahku sehingga
    otakku tergenang dalam darah. Sejak itu
    aku selalu tidur sambil mendengar
    suara –suara yang menggema
    dari dalam tanah

    Tengah hari aku berjalan di atas air
    bayang awan seperti lelehan sperma di gaun
    biru seorang perempuan yang pendiam. Daun –daun
    merah memandang jauh ke dalam mataku,merogoh
    pikiranku, mencari-cari seseorang yang bersembunyi
    ke dalam kepala dan ginjalku

    Malam hari jantungku berwarna ungu
    seluruh suara menggema dari dalam tubuhku
    suara yang menjelma nyanyian perempuan bergaun
    biru. Mendorong mesin cuci darah,kudatangi  gedung
    pertunjukan. Menyelinap dan berdiam dalam sebuah
    adegan.  Tepat ketika seorang penonton keluar

    dari dalam tubuhku…



    Ahda Imran, 2013

    Peluk

  • Senin, 10 Februari 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Disebabkan karena kau terlalu malu
    Dengan penuh gengsi kau berbalik, dia pun berlalu
    Rasakan itu olehmu, sekarang baru kau tahu
    Bahwa semua keindahan di dunia ini berkelabat dengan cepat
    dan hukum – hukum Tuhan ditulis sebelum telepon dibuat
    orang – orang indah yang kau temukan di pasar, stasiun, terminal, dan lingkungan
    kekasih, kemewahan mutiara raja brana, kemilau galena dan intan berlian
    semuanya itu akan meninggalkanmu
    Kecuali secangkir kopi
    Dia ada di situ, tetap di situ, hangat, dan selalu dapat dipeluk


    Andrea Hirata, 2010

    Diponegoro

  • Senin, 13 Januari 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Di masa pembangunan ini
    Tuan hidup kembali
    Dan bara kagum menjadi api
    Di depan sekali tuan menanti
    Tak gentar.  Lawan banyaknya seratus kali
    Pedang di kanan, keris di kiri
    Berselempang semangat yang tak bisa mati

    Maju!
    Ini barisan tak bergenderang
    berpalu
    Kepercayaan tanda menyerbu
    Sekali berarti
    Sudah itu mati
    Maju!
    Bagimu negeri
    Menyediakan api
    Punah di atas menghamba
    Binasa di atas ditindas
    Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
    Jika hidup harus merasai

    Maju!
    Serbu!
    Serang!
    Terjang!



    Chairil Anwar

    Hari Pertama

  • Senin, 06 Januari 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • "I Write The Songs"


    I've been alive forever
    And I wrote the very first song
    I put the words and the melodies together
    I am music
    And I write the songs

    I write the songs that make the whole world sing
    I write the songs of love and special things
    I write the songs that make the young girls cry
    I write the songs, I write the songs

    My home lies deep within you
    And I've got my own place in your soul
    Now when I look out through your eyes
    I'm young again, even tho' I'm very old

    I write the songs that make the whole world sing
    I write the songs of love and special things
    I write the songs that make the young girls cry
    I write the songs, I write the songs

    Oh, my music makes you dance and gives you spirit to take a chance
    And I wrote some rock 'n roll so you can move
    Music fills your heart, well that's a real fine place to start
    It's from me, it's for you
    It's from you, it's for me
    It's a worldwide symphony


    Barry Manilow



    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint