Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Back to Square 1

  • Senin, 24 Maret 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Ada seorang guru senior di sebuah SMP di Bekasi, namanya, Rubaeah Maryam. Satu kali beliau menceritakan romantikanya mengajar. Yang senantiasa menggaung,  tentang  cerita kemunculan anak – anak istimewa  saat beliau terdiam membeku menahan kemirisan memandangi kelasnya yang hinggar bingar. Lalu, dengan indahnya beliau menggambarkan kemunculan anak  yang menenangkan teman – temannya yang berisik itu sebagai : anak yang paling cerdas yang akan bereaksi.

    Ternyata, di dalam kelas yang berbeda mengajar itu jadi sulit. Anak – anak tetaplah anak – anak. Kehidupan mereka belum tertempa dari pengalaman hidup.  Mereka belum paham benar artinya menghormati orang lain, berilmu, dan bermanfaat. Bilakah keaktifan otak reptil mereka jadi pemicu aktivitas yang sia – sia itu? Maka jadi PR besar buat seorang guru dan memunculkan pertanyaan mengapa mereka tidak nyaman?
    *

    Saya sudah berada di tengah medan laga, di semester kedua, ketika berdiri di depan mereka. Pengantar dari rekan sejawat sebelum saya turun bahwa mereka “bersesuatu”.

    Setelah beberapa saat sampailah saya pada titik sebagaimana yang digambarkan oleh Ibu Rubaeah. Dalam situasi yang kira – kira sama dengan yang dialami guru matematika itu, dari anak – anak di kelas yang berbeda, anak – anak yang paling tampan dan cantiklah yang ternyata muncul membela gurunya. Sebagai guru baru, kenikmatan itu seolah – olah  seperti tengah berada di ruang nol gravitasi. Melayang – layang di udara bagai Kosmonot Yuri Gargarin menikmati  sepotong steik yang juga mengambang di udara. Ada anak – anak yang telah bikin ruang hampa udara itu sangat asyik direnangi. Mereka tahu betul artinya berdiri di belakang dan memberi pembelaan.  Sebagai ibu, tak seharusnya saya pilih kasih, tapi sebagai manusia biasa, saya tak kuasa memberi garis bawah dan perhatian khusus pada mereka.  Betapa kasih sayang pada Syahda, Haqi, Kaisar, Dino, Naren dan Fachri kemudian menjadi lebih.
    *

    Apapun yang tengah terjadi dalam kurun yang singkat ini adalah konsekuensi dari doa yang terkabul.  Paling gampang menyerah dan pura – pura lupa telah minta apa sebelumnya sama Tuhan.  Kompensasi yang tidak seimbang bisa jadi alasan untuk mundur. Ya! Kalau berani! Karena kontrak kerjanya langsung pada yang paling berkuasa sejagat raya ini.

    Dalam situasi yang demikian, setidaknya sekarang adalah tetap menabahkan dan membesarkan hati, dan senantiasa menyerap kata – kata mutiara seperti ini : tujuan akhir dari kerja keras bukan kesuksesan, tapi demi sebuah nilai (Albert Einstein) . (Q)

    Untuk anak – anak yang menyayangi ibunya

    Hikayat Aradea

  • Senin, 10 Maret 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Menyerupai hewan pengerat
    seseorang berdiam dalam kepalaku
    dipecahkannya pembuluh darahku sehingga
    otakku tergenang dalam darah. Sejak itu
    aku selalu tidur sambil mendengar
    suara –suara yang menggema
    dari dalam tanah

    Tengah hari aku berjalan di atas air
    bayang awan seperti lelehan sperma di gaun
    biru seorang perempuan yang pendiam. Daun –daun
    merah memandang jauh ke dalam mataku,merogoh
    pikiranku, mencari-cari seseorang yang bersembunyi
    ke dalam kepala dan ginjalku

    Malam hari jantungku berwarna ungu
    seluruh suara menggema dari dalam tubuhku
    suara yang menjelma nyanyian perempuan bergaun
    biru. Mendorong mesin cuci darah,kudatangi  gedung
    pertunjukan. Menyelinap dan berdiam dalam sebuah
    adegan.  Tepat ketika seorang penonton keluar

    dari dalam tubuhku…



    Ahda Imran, 2013
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint