Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Napak Tilas XII

  • Senin, 21 April 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Lima bulan berlalu sejak napak tilas terakhir di Kecamatan Tenjolaya. Seminggu yang lalu Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya menggelar acara yang ke – 12: “Sisi Lain Jejak Megalitik di Gunung Salak.

    Masih di Gunung Salak! Maka karena tak ada aral yang melintang, tentu saja acara ini tidak dilewatkan. Gambaran keindahan pemandangan di lereng Gunung Salak yang bernuansa hijau, coklat, biru, putih, dan kelabu kerap membayang. Apalagi petualangan kecil pada acara sebelumnya bikin penasaran seperti apa medan kali ini. 
    Memotret Peninggalan. Dr. Hasan Djafar.
    Matahari sepertinya tengah tersenyum pada kami. Kecerahan teraut di wajah para peserta. Sekitar 27 partisipan berkumpul di Bogor Trade Mall. Lokasi yang strategis menjadikan BTM sebagai titik tolak keberangkatan. Variasi peserta kali ini sangat menarik. Dari anak – anak usia SD dan SMP hingga para pini sepuh antusias mengikuti acara. Ibu – ibu bersepatu teplek sampai bersepatu boot juga ada. Jangan tanya, tentang kaum prianya. Mereka yang mungkin berpakaian perlente di hari kerja, saat itu tampil bersahaja, santai, tetapi keyyeeeeen. 

    Nah, begitu sang narasumber, Dr. Hasan Djafar muncul bersama pak ketua, Hendra M Astari maka jadilah kami beramai – ramai menuju lokasi. 

    Ada tiga kendaraan roda empat yang mengantar kami ke situs yang dituju. Tujuan pertama berada di Kampung Pondok Bitung, Desa Sukaharja, Kec. Cijeruk, Kab. Bogor. Ada dua peninggalan megalitik yang berada di areal tersebut, yaitu Batu Korsi dan Batu Aseupan. Sebelum berangkat seperti biasa kami telah dibekali brosur tentang peninggalan yang akan disambangi dan dalam brosur “Napak Tilas Ke-12” termuat informasi begini:  
     
    Perawatan Lingkungan Batu Korsi

    Batu Korsi 
    Rupa batu yang satu ini benar – benar menyerupai kursi: bagian datar sebagai dudukan dan bagian sandaran. Tinggi batu adesit ini adalah 125 cm dan lebarnya 110 cm. Posisinya memanjang dari selatan ke utara, dengan bagian datar terdapat di ujung sebelah utara. Bila diukur panjang x lebarnya, bidang datar Batu Korsi ini adalah 90 cm x 85 cm. Diduga permukaan rata pada batu itu merupakan sentuhan budaya manusia pada masa lalu. Kontur tanah menuju batu bersejarah itu menanjak. Permukaan tanah berbentuk terasering alias berundak – undak dengan penahan dari bebatuan. 

    Batu Aseupan
    Batu Aseupan  
    Bentuk monolit ini meruncing ke atas dengan sisi – sisinya membentuk empat bidang miring. Tiga dari empat bidangnya memiliki permukaan yang cukup rata. Salah satu bidang datarnya menghadap ke selatan (puncak Gunung Salak). Tingginya mencapai empat meter. Bagian baratnya seolah – olah terpancang sehingga bagian bawahnya membentuk sebuah ceruk. Melewati ceruk ini mengalir selokan kecil dari arah selatan (atas) menuju ke utara. 

    Masyarakat lokal menyebutnya sebagai Batu Aseupan atau batu kukusan. Bila dilihat sepintas lalu bentuknya kerucut yang mengingatkan kita pada bentuk kukusan (alat masak tradisional).

    Untuk mencapai kedua peninggalan itu kami berjalan kaki lebih kurang sepuluh menit dari tempat parkir. Kami melewati pemukiman penduduk dan jalan setapak sambil mengagumi pemandangan buah menteng yang meranum di atas pohon. Yup! Begitulah! Kami cuma lihat – lihat saja buah itu bertengger di dahannya. Tak ada yang berani mengambil. Menikmati buah yang rasanya manis asam ya saat ada yang beli dan berbaik hati bagi – bagi buat kami. Lalu, penemuan sebuah kebun pokpohan di kaki Batu Aseupan. Saya baru pertama kali lihat daun pokpohan yang biasa jadi pelengkap lalapan, ada sebanyak itu.  Wow! Mantabs dicocol pakai sambal. Slrup! Dan, kok ada yang mendapat kecombrang? Dimana pula gerangan kecombrang itu berada? Asiknaaa masak - masak … . :P 

    Usai meninjau Batu Korsi dan Batu Aseupan, perjalanan dilanjutkan ke Guha Lengkop dan Punden Jagakarsa. Brosur dan makalah “Tradisi Megalitik” yang disiapkan panitia sangat membantu peserta mendapat gambaran umum tentang situs. 

    Guha Lengkob
    Guha Lengkob 
    Guha Lengkob berada gua yang berada di lembah atau kaki bukit. Namun keawaman pihak berwenang sehingga penyebutan tempat itu akhirnya dan secara berangsur – angsur disebut Gua Langkop. Deskripsi gua ini sebagai berikut : sebuah gua atau yang mungkin lebih tepat disebut ceruk. Atap dan dinding dari batu sedang alasnyadari batu – batu datar yang disusun rapi. Orang yang hendak masuk harus membungkuknya tubuhnya. Sekeliling gua terdapat formasi batu yang tak beraturan. Beberapa menhir tampak berada di sekeliling gua dengan tinggi yang berbeda – beda. Pun sebuah batu dadar teronggok di dekatnya. Undakan sudah tidak jelas. 



    Punden Jagakarsa
    Punden Jagakarsa 
    Tidak jauh dari Guha Lengkob terdapat Situs Punden Jagakarsa. Ada dua formasi batu dengan jarak satu meter. Punden pertama, susunan batunya agak acak. Tidak jelas ada satu atau dua teras batu di punden ini. Beberapa menhir menunjukkan tinggi yang tidak seragam. Pada punden kedua, susunannya lebih rapi dan tertata. Terdiri dari satu teras batu. Punden agak tersembunyi di antara rerimbunan semak. Penduduk menyebutnya sebagai Jagakarsa atau Embah Jagakarsa. Siapa gerangan sosok yang satu itu, mesti digali lebih dalam. Demikian sebagaimana yang dikatakan HMA (Hendra M. Astari (?))
     * 

    Untuk mencapai peninggalan yang berada di Pondok Bitung dan Kampung Tapos tidak bisa dijangkau dengan berjalan kaki sebagaimana acara Napak Tilas ke – 11.

    Untunglah panitia sudah menyiapkan tumpangan yang mengantar kami ke sana. Memang minim tantangan. Tak menguras energi, tetapi sebuah pengetahuan dan petualangan baru datang tergelar. Pagi – pagi saya dan beberapa orang mendapat privillige naik Land Rover Keluaran 1979nya Kang Asep. “Whew! Ini nih, mobil jejak petualangan!” Seru saya yang baru pertama kali naik land rover begitu memasuki mobil. Pada saat berangkat kendaraan masih melaju kalem. Begitu menuju Pondok Bitung ketika siang merayap, kami melewati satu titik dengan kemiringan jalan mencapai 45 derajatan. Buat empat pria yang sudah duduk di atap mobil bolehlah itu jadi alasan mengocok adrenalin. Tapi di dalam land rover saya tengah duduk manis dan menikmati celotehan para ibu. Hihihi. 


     *

    Peninggalan yang kami saksikan hari itu ternyata belum dikaji secara ilmiah lebih lanjut. Sayang sekali bila benda purbakala dibiarkan terbengkalai dan tak dilestarikan. Rekreasi dan edukasi bisa jadi kombinasi yahud untuk kelanjutan pelestarian budaya. Sebagaimana slogan komunitas yang juga dikutip dari perkataan Bung Karno ini : "Jas merah!" Maka janganlah melupakan sejarah! (Q)


    Hatur nuhun: 
    Kang Hendra M Astari 
    Kang Asep 
    Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya

    Kemenangan

  • Senin, 14 April 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Sesungguhya Kami telah memenangkan
    engkau dengan kemenangan yang nyata

    agar Allah mengampuni dosamu yang telah lalu
     dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmatNya kepadamu
    dan menunjukimu jalan yang lurus,

    dan menolong dengan pertolongan yang kuat

    dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati
     orang – orang mukmin
    supaya menambah keimanan mereka di samping
    keimanannya (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah tentara yang ada di langit dan di bumi,
    dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.




    Al – Fath 1 – 5
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint