Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Into Thin Air

  • Senin, 19 Mei 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Maret 1996, majalah Outside mengirimku ke Nepal untuk berpartisipasi dalam, dan menulis tentang pendakian di Gunung Everest yang dipandu.  Aku berangkat sebagai salah seorang dari delapan peserta dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh seorang pemandu terkemuka dari Selandia Baru bernama Rob Hall. Pada 10 Mei, aku tiba di puncak gunung, tetapi keberhasilan mencapai puncak Everest itu harus dibayar dengan sangat mahal. Ekspedisi itu membuatku terguncang sehingga aku kesulitan menyusun tulisan untuk Outside.

    Beberapa penulis dan editor yang kuhormati menyarankan agar aku tidak terlalu terburu – buru menulis buku ini; mereka memintaku untuk menunggu dua atau tiga tahun; untuk memberi ruang antara diriku dan ekspedisi Mei 1996 tersebut, agar aku bisa memperoleh sudut pandang yang lebih jelas.  Meskipun saran yang mereka berikan sangat bijak, tetapi pada akhirnya aku harus mengabaikannya – terutama karena peristiwa di gunung itu terus menggerogoti jiwaku.  Kupikir, menuliskannya ke dalam sebuah buku bisa membuatku melupakan Everest.

    Ternyata tidak. Terlebih lagi, aku juga setuju bahwa kepuasan pembaca kurang terlayani jika karya seorang penulis merupakan bagian dari upaya untuk menyembuhkan jiwa, seperti  yang kulakukan dalam buku ini. Namun, aku berharap sesuatu bisa diperoleh jika aku mengungkapkan perasaanku tentang akibat langsung dari bencana tersebut, ketika perasaan sedih dan kenangan tentang itu masih segar dalam ingatanku. Aku ingin ceritaku memiliki kejujuran yang benar – benar mentah dan tanpa belas kasihan, kejujuran yang bisa hilang seiring berjalannya waktu dan memudarnya derita yang kurasakan.

    Beberapa orang yang mengingatkanku agar tidak terburu – buru menuliskan cerita ini adalah orang – orang yang pernah mengingatkanku agar tidak berangkat ke Everest.  Ada banyak alasan bagus, mengapa aku tidak boleh pergi, tetapi upaya untuk menaklukkan Everest merupakan tindakan tidak masuk akal yang sudah menjadi bagian dari diriku.  Setiap orang yang dengan sungguh – sungguh berpikir untuk melakukannya, hampir dipastikan, sudah terganggu akal sehatnya.

    Kebenaran yang paling sederhana  adalah aku tahu bahwa aku tidak seharusnya pergi ke Everest, tetapi aku pergi juga. Dan karena itu, aku ikut menjadi penyebab tewasnya orang – orang yang baik, sesuatu yang mungkin mengusik batinku untuk waktu yang sangat lama.



    Seattle, November 1996
    Jon Krakauer

    Sonet 12

  • Senin, 12 Mei 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
    tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat
    aksara apa.  Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
    tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –

    dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi
    dihimpitnya.  Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
    harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –
    tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat

    pada sebuah tanda Tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari
    jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng
    jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
    merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng

    Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?
    Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?


    Sapardi Djoko Damono, 2009

    Solilokui

  • Kamis, 08 Mei 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Ini kutipan yang saya ambil dari tulisan Rhenald Kasali berjudul "Konsep Visual". Beliau mengatakan bahwa simbol-simbol yang memberikan pesan-pesan nonverbal, menurut ahli psikologi memberikan lebih banyak makna dibandingkan pesan verbal. Dalam banyak hal, pemikiran itu juga berlaku dalam presentasi. Waktu kita mengembangkan ide-ide visual tentunya harus sesuai dengan topik yang akan disampaikan.  Holchombe dan Stein (1990) memberikan tips mewujudkan suatu konsep visual. Pertama, gunakan analogi dalam menyampaikan topik. Bisa pula metafora atau apa saja yang berhubungan dengan pembahasan. Dengan analogi yang cerdas, kita bisa menceritakan dengan bahasa yang sederhana, lugas, dan menarik. Kedua, gunakan visual sesuai dengan data yang ada. Petunjuk untuk membuat visualisasi biasanya dari kata kerja, karena kata kerja menunjukkan suatu kegiatan (action). Bisa pula dimanifestasikan berupa gambar misalnya sebuah tanda panah yang mengarah kepada tujuan. Ketiga, berkeyakinan bahwa visual ini sesuai dengan kata-kata yang ingin dikembangkan. ( http://news.detik.com/read/2000/08/27/202918/285377/25/konsep-visualhttp://news.detik.com/read/2000/08/27/202918/285377/25/konsep-visual)

    Sangat menarik betapa hidup bisa tertata dengan rapi dan bergelimang keajaiban karena pemanfaatan konsep visual dengan baik. Banyak orang tidak bermaksud menerapkan teori itu dengan sengaja.  Barangkali visual mind adalah teori yang dibaca sepintas lalu, sebagai tambahan pengetahuan saja, namun ternyata berdampak luar biasa. Tetapi, menjadi bagian dari sesuatu itu sangat menyenangkan, bagian dari kelompok yang ber-visual mind.

    Presentasi beberapa tulisan dalam blog ini sudah disiapkan tahun lalu.  Pada kenyataannya, tulisan – tulisan itu bagai mantra yang ditebar ke langit. Umpamanya: “Kemenangan”. Tulisan itu adalah terjemahan dari ayat – ayat Al – Fath, surat ke-48 dalam Al Qur’an. Dua tahun lalu, ceramah Ustad Yusuf Mansyur di Wisata Hati tentang Al Fath  meninggalkan kesan mendalam buat saya. Cek saja videonya di Youtube. Saya jadi selalu ingin menulis sesuatu tentang kemenangan dan Al Fath.  Tetapi, tidak ada yang pas, kecuali dalam formulasi seperti itu. Secara kebetulan dalam minggu yang sama dengan terbitnya tulisan itu, sebuah hadiah yang ditujukan untuk saya diumumkan kepada khayalak. Ada dua hal yang berbeda, tetapi muncul bersamaan dan seakan – akan saling melengkapi. Memikirkan hal itu, bagi saya sungguh menggelisahkan. Seolah – olah saya sedang berbangga diri menerima hadiah itu, lalu mengutip sebuah terjemahan Al Fath. Betul, dengan senang hati hadiah itu saya terima, tetapi situasi itu sebenarnya bikin saya mau ngumpet saja.

    Kebetulan – kebetulan itu datangnya silih berganti sejak beberapa tahun terakhir. Bukan tentang “Kemenangan”, tetapi juga hal lainnya.

    Jadi bagaimana menjelaskan hal ini? Ada banyak penjelasan yang dapat menuntaskan pertanyaan itu. Salah satunya adalah apalagi kalau bukan sebuah visual mind yang tengah berperan dalam kehidupan saya kini. Saya sedang menuliskan takdir saya sendiri. Semua yang tertulis itu benar – benar untuk menyambut suatu hal. Bila benar begitu, maka menulis bukan lagi sekedar aktivitas pengisi waktu luang, tetapi juga doa. Jadi, menulis harus dilakukan dengan pertimbangan - pertimbangan yang matang.

    Melanjutkan kata – kata Rhenald Kasali, “(Hati-hati jika) inginnya tampil menarik, salah-salah visualnya tidak sesuai. Maka, sebelum presentasi dimulai, uji coba dahulu (bagaimanapun caranya). Siapa tahu ada pesan visual yang tidak sesuai dengan kata-kata yang ingin disampaikan.”(Q)
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint