Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Buku yang Akan Saya Baca

  • Senin, 18 Agustus 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Pagi tadi otak saya terasa buntu. Padahal pengen curhat banyak. Gara - garanya, bangun kesiangan! Sulit sekali suasana hati diubah. Tapi setelah itu, tahu – tahu sel – sel kelabu otak saya langsung menyala. Berubah putih benderangan. Susah – susah cari inspirasi, rupanya cuma butuh satu hal.  Satu hal itu asalnya dari satu orang tertentu saja. Siapa pun bisa jadi sumber inspirasi sebenarnya, tapi padanya ini memang pengecualian – orang yang paling menyebalkan seantero dunia, sebabnya.  Haha. Andai kalian tahu, sebetulnya apa yang hendak saya kerjakan, dan yang sedang dia kerjakan sama sekali berbeda. Tapi feelingnya, langsung touché.  Aneh tapi nyata.  Sumbat di otak saya rontok seketika dan ide – ide itu mengalir bagai air.

    Saya maunya cerita macam-macam. Tapi malu juga dianggap lebay. Sekarang saya bicara buku saja. Saya suka buku. Novel terjemahan, favorit saya. Ketularan kakak tertua. Punya kakak yang doyan baca, jadi keberuntungan buat saya. Hampir setiap kali ia datang, ada saja buku yang dilimpahkan buat saya. Kontainer buku – bukunya ibarat harta karun emas berlian. Pinjam buku padanya pun tidak terbatas waktu atau kena denda.

    Koleksi buku kami lumayan banyak.  Gabungan dari beberapa anggota keluarga. Perpustakaan keluarga kami kecil, tapi interiornya didesain sedemikian rupa sehingga – seperti kata pembantu saya – mirip kamar pengantin. Hahaha.  Apanya yang mirip? Wong tak ada rumbai – rumbai kok! Nyaman, tentu saja.

    The thicker, the better. Buku paling tebal yang saya baca judulnya, The Historian. Karena itu secara otomatis saya paling senang buku tebal.  Kenikmatannya tak tertandingi.  Pengetahuan yang disampaikan mendalam dan baik penggambaran maupun ulasannya tuntas.  Banyak juga buku yang kurang dari 200 halaman, dapat jempol. Meskipun sederhana, tapi pas takarannya. Ibarat makanan, buku itu dilahap tandas dan penuh kenikmatan. Tapi mendapatkan buku yang begini, susah – susah gampang.

    Don’t judge a book by its cover. Banyak buku yang  pada bagian judul  terlihat sangat puitis.  Kaver  pun ditata menarik.    Saya hanya bisa menabahkan diri saat membaca buku yang judulnya puitis dan kavernya menarik itu, tetapi isinya tidak sebanding. Tadinya saya berharap ada kejutan di tengah – tengah tulisan, nyatanya tidak! Dua kali terkecoh.  Ckckck! Begitulah rasa kesal yang dirasakan waktu sampai tengah – tengah buku, dan daripada menghabiskan waktu percuma lebih baik ganti buku lain.

    Sekarang saya hendak baca Perang Salib, buku setebal 808 halaman, pemenang King Faizal International Prize. Sepertinya ini buku bagus. Saya sudah menyiapkan buku ini di urutan pertama bacaan. Karena terpengaruh sosok inspirasional tadi pagi muncul pikiran kriminal untuk bolos selama dua hari buat baca buku, makan, dan minum doang. Halah! Halah! Hmmmm, ini memang  buku yang menarik!  Idenya itu pun tak biasa.  Nekad nggak yaaaa…. Hmmmm!  …. Hihi… . Merdekah!: ) (Q)

    Tuhan, Kita Begitu Dekat

  • Senin, 11 Agustus 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Tuhan
    Kita begitu dekat
    Sebagai api dengan panas
    Aku panas dalam api – Mu

    Tuhan
    Kita begitu dekat
    Seperti kain dengan kapas
    Aku kapas dalam kain – Mu

    Tuhan
    Kita begitu dekat
    Seperti angin dan arahnya
    Kita begitu dekat

    Dalam gelap
    Kini aku nyata
    Pada lampu pada – Mu



    Abdul Hadi W.M

    Angels & Demons

  • Senin, 04 Agustus 2014
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • … .

    Langdon tersenyum. Dia berjalan hilir mudik di depan papan tulis sambil menguyah apel.

    “Mr. Hitzrot!” dia berseru. Seorang pemuda yang mengantuk di deretan belakang segera menegakkan duduknya karena terkejut,

    “Apa! Aku?”

    Langdon menunjuk poster Renaisans yang menempel di dinding.

    “Siapa lelaki yang berlutut di depan Tuhan?”

    “Mmm… seorang santo?”

    “Hebat. Dan bagaimana kau tahu dia itu santo?”

    “Dia mempunyai halo?”

    “Bagus sekali. Dan apakah halo keemasan itu mengingatkanmu pada sesuatu?”

    Hitzrot tersenyum. “Ya! Benda Mesir yang kita pelajari semester lalu. Itu … mm … cakram matahari!”

    “Terima kasih, Hitzrot. Tidurlah kembali.” Langdon kemudian memerhatikan mahasiswa lainnya.

    “Halo, seperti juga simbol Kristen lainnya, dipinjam dari agama Mesir Kuno yang menyembah matahari. Agama Kristen dipenuhi contoh – contoh pemujaan matahari.”

    “Maaf?” gadis yang duduk di deretan depan itu berkata lagi. “Aku selalu ke gereja, tapi aku tidak pernah memuja matahari.”

    “Betulkah? Apa yang kau rayakan pada 25 Desember?”

    “Natal. Hari lahir Yesus Kristus.”

    “Tapi, menurut Alkitab, Kristus lahir pada bulan Maret. Kenapa kita merayakan pada akhir Desember?”

    Diam.

    Langdon tersenyum. “Tanggal 25 Desember adalah hari libur kaum pagan kuno, sol invictus – Matahari yang Tak Terkalahkan – bertepatan dengan titik balik matahari pada musim salju. Itu saat yang luar biasa dalam setahun ketika matahari kembali bersinar, dan hari mulai bertambah panjang.”

    Langdon menggigit apelnya lagi.

    “Penyebaran agama Kristen,” dia melanjutkan, “sering mengadopsi hari – hari suci yang sudah ada upaya masuk – Kristen tidak terasa terlalu mengejutkan. Itu disebut transmutasi. Itu membantu orang untuk menyesuaikan diri dengan agama baru mereka. Para pemeluk baru itu terus mempertahankan tanggal – tanggal suci mereka, berdoa di tempat – tempat suci yang sama, menggunakan simbologi yang sama … dan mereka hanya semata – mata mengubah tuhannya dengan yang baru.”

    Sekarang gadis di depan itu tampak marah. “Anda menyindir kalau agama Kristen hanyalah … pemujaan matahari dengan kemasan ulang?”

    “Sama sekali tidak. Agama Kristen tidak hanya meminjam dari para pemuja matahari. Ritual kanonisasi seorang Kristen Kristen diambil dari ritual ‘pengangkatan dewa’ milik Euhemerus. Ritual “Tuhan makan’, atau Pemujaan Kudus, diadopsi dari Aztec. Bahkan konsep Kristus mati untuk menebus dosa dipandang sebagai bukan milik Kristen semata; pengorbanan diri seorang pemuda untuk menebus dosa – dosa rakyatnya ada dalam tradisi Quetzalcoat yang paling awal.”

    Gadis itu melotot. “Jadi apa yang asil dari agama Kristen?”

    “Dalam setiap agama yang terorganisasi, hanya sedikit ritual yang asli. Agama – agama tidak terlahir begitu saja. Suatu agama berkembang dari agama lainnya. Agama modern merupakan sebuah susunan … sebuah percampuran catatan sejarah mengenai pencarian manusia untuk mengerti Tuhan.”

    “Mmm … tunggu dulu,” Hitzrot mencoba – coba, tampaknya sudah terbangun sekarang, “Saya tahu sesuatu yang asli dari Kristen. Bagaimana dengan gambaran kita akan Tuhan? Kristen tidak pernah menggambarkan Tuhan sebagai dewa matahari, elang, atau seperti orang Aztec, atau apa saja yang aneh. Gambaran Kristen selalu berupa seorang lelaki tua dengan janggut putih. Jadi gambaran kita tentang Tuhan adalah hal yang asli, bukan?”

    Langdon tersenyum, “Ketika orang – orang Kristen pertama beralih meninggalkan tuhan mereka yang terdahulu – dewa – dewa pagan, dewa - dewa Romawi, Yunani, matahari, Mithraic, apa pun itu – mereka bertanya kepada gereja bagaimana rupa Tuhan Kristen mereka yang baru. Dengan bijaksana gereja memilih wajah yang paling kuat, paling ditakuti … dan paling terkenal dari seluruh catatan sejarah yang ada.”

    Hitzrot tampak ragu, “Seorang lelaki tua dengan janggut putih yang panjang?”

    Langdon menunjuk poster yang berisi hierarki dewa – dewa kuno yang tergantung di dinding. Di puncaknya duduk seorang lelaki tua dengan janggut putih yang panjang.

    “Apakah Zeus terlihat seperti tokoh yang cukup kalian kenal?”

    Kuliah itu berakhir tepat di situ.

    *

    Dan Brown, Angels & Demons, hlm.293 – 295, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta.
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint