Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Epilog 2015

  • Senin, 28 Desember 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Beberapa teman whatsapp saya sudah mengunggah tulisan penutup akhir tahun. Sebuah tulisan hasil perenungan yang sarat nasehat dan kearifan; tentang kehidupan seorang manusia sepanjang tahun 2015 yang bernas dalam beberapa paragraf, namun mampu diurai dengan runtut dan matang.

    Saya juga ingin menulis dengan suasana tenang guna meraih karya tulis mumpuni seperti itu. Tahun ini produksi sastra saya cuma segelintir. Celakanya, tulisan yang saya buat kebanyakan dihasilkan dari proses terburu – buru. Saya kesal bila baca tulisan cetek itu. Saya juga tahu  sebabnya. 

    Menulis itu berpasangan dengan membaca. Setelah Beyond the Inspiration belum ada buku unggulan lainnya yang saya temukan. Hasil pemahaman saya atas buku karya Ustad Felix Siaw itu saya sampaikan dalam pidato di depan sekolah pada saat upacara bendera di suatu hari Senin. Topik yang sama diulang oleh rekan guru dalam acara homestay di Ciwidey enam bulan kemudian. Setiap topik yang unik dan menarik berdampak besar buat orang lain. Dari sisi tersebut, saya merasa konten buku – buku bagus memang harus diupayakan untuk diangkat sebagai bagian dari pembelajaran kami. Konsekuensinya, saya sangat perlu membaca dengan tenang dan terorganisir, sebagaimana keinginan saya pada saat menulis.

    Baik secara harfiah maupun tersirat saya sudah sangat ingin memiliki buku bagus. Buku bagus yang saya baca sesudahnya, entahlah mengapa banyak yang tak saya sukai. Contohnya begini, komik Smurf itu menghibur, tapi begitu selesai tak terbetik keinginan untuk mengulang lagi. KKPK cocoknya buat anak – anak. Genre tulisan yang saya baca, saya perluas pilihannya untuk memahami anak – anak zaman sekarang. Di samping, buku – buku tebal lainnya. Tetapi, saya kadung jatuh cinta pada The Historian karya Elizabeth Kostova. Kualitas kertasnya bagus, jenis HVS unggulan. Walaupun desain kaver sederhana, kemasannya hard cover. Ah, bilakah saya temukan buku tebal dengan pembahasan tuntas dan mendalam, serta penggunaan bahasa Indonesia yang canggih seperti dalam The Historian? Saya harap segera.

    Buku bagus langka peredarannya, tetapi mereka ada dan dekat. Contoh terdekat adalah orang tua saya. Bapak saya ibarat buku bagus itu. Bapak merupakan metafora buku tebal dengan kaver sederhana. Kesederhanaannya adalah bagian yang terkadang membuat saya miris. Namun, kesederhanaan itu merupakan suri teladan buat kami. Di akhir pengabdiannya pada negara beliau telah mendapat penghargaan tertinggi yang selayaknya diterima sebagai seorang mantan pejabat. 

    Yang kini menjadi ganjalan saya sebagai anak tinggallah penyesalan. Saya masih dihantui penyesalan karena kurang melayani orang tua di penghujung hayatnya. Juli lalu bapak berpulang. Saya sudah merasakan kerinduan pada beliau dan menginsafi beliau tidak sedang tidur atau sedang berpelisir. Bapak tidak akan kembali ke rumah dan saya tidak punya kesempatan menyentuhnya lagi. Kini sebaik – baiknya pesan beliau Insya Allah akan saya wujudkan. Wasiatnya adalah  bagian dari tujuan hidup saya sekarang.

    Mengenang bapak tidak akan pernah habis. Sebagaimana kenangan terindah lainnya dari sosok yang mendirikan shalat di sebuah masjid RSPAD, sepasang sepatu mengkilap, dan celana panjang yang disetrika sampai licin. Saya tidak sedang menyusun sebuah cerita fiksi dari bagian – bagian tersebut. Tetapi sungguh hal itu fakta, bukan fiksi. Saya tidak ingin menggambarkan lebih lanjut sekarang. Saya tidak ingin buru – buru memerikan hal yang istimewa sehingga menjadi sesuatu yang dangkal.  Mudah- mudahan Allah berkehendak lain untuk mengggerakkan jari jemari saya untuk topik itu di atas papan ketik dalam waktu dekat. Wallahualam bisawab. Kun fayakun.

    Saya melewati perjalanan yang tak disangka – sangka tahun ini. Dari situ saya sadari, saya masih harus belajar tentang keiklasan dan kesabaran. Karena keiklasan itu di satu sisi membuat saya lelah, di sisi lain bahkan telah mengubah saya jadi jago berkelit. Begitulah dasar doa saya kemudian, agar situasi itu dipecahkan dengan pembagian kerja dan waktu yang sistematis; agar saya memperoleh ketenangan untuk menulis dan membaca.

    Bagian terbaik adalah berdoa. Kawan – kawan di whatsapp bilang, “Berdoalah dalam hati! Hanya pada Allah semata, tidak perlu orang lain tahu.”  Tidak ada penyangkalan tentang itu. Tetapi, penting buat saya menatah keinginan saya di sini. Di dalam benak, saya berharap merasakan keajaiban hidup yang telah Allah swt anugerahkan buat saya beberapa tahun belakangan ini.  Doa yang pernah saya tuliskan di media ini di tahun – tahun yang telah berlalu.

    Yaa Fattah, Yaa Waduud, Yaa Baasith, Yaa Rahman, Yaa Rahiim, Yaa Salam, Yaa Kariim, Sayangilah bapak dan ibu sebagaimana mereka menyayangi aku waktu kecil. Lapangkan kubur dan ampunilah dosa bapak. Berikanlah waktu tenang untuk melaksanakan wasiat bapak.Jadikan aku ibu buat anak – anak suamiku. Jadikan aku istri buat suami pilihanMu. Matikan aku dalam keadaan husnul khotimah. Hilangkan kecemasanku akan prestasi akademik anak – anak kelas 9 angkatan 2013. Jadikan anak – anak itu berakhlak Qurani. Jadikan Alvina, Gege, Jejes, Lila, dan Sarah anak – anak yang sholeh dan sholeha, serta terbangkan dan tempatkan aku di tempat yang Engkau berkahi. Allahuma aattina fiddunya hasanatan wafil akhirati hasanatan waqina adzabannar. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.  (Q)
          

    Membaca Tanda-Tanda

  • Senin, 07 Desember 2015
  • rani nuralam

  • Oleh: Taufiq Ismail


    Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan
    Meluncur lewat sela-sela jari kita
    Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
    Tapi, kini kita telah mulai merindukanya
    Kita saksikan udara abu-abu warnanya
    Kita saksikan air danau yang semakin surut tampaknya
    Burung-burung kecil tak lagi berkicau di pagi hari
    Hutan kehilangan ranting
    Ranting kehilangan daun
    Daun kehilangan dahan
    Dahan kehilangan hutan
    Kita saksikan gunung memompa abu
    Abu membawa batu
    Batu membawa lindu
    Lindu membawa longsor
    Longsor membawa banjir
    Banjir membawa air
    Air mata
    Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
    Bisakah kita membaca tanda-tanda

    Menjadi Ibu

  • Senin, 16 November 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,




  • Tak dapat dipungkiri kita sedang berhadapan dengan perilaku yang mengarah  pada kehancuran sebuah bangsa. Ada sepuluh hal yang diungkapkan tentang ini oleh Thomas Lickona (dalam Musfiroh, 2008). Di antaranya adalah membudayanya ketidakjujuran; semakin tinggi rasa tidak hormat terhadap orang tua, guru, dan figure pemimpin; penggunaan  bahasa yang memburuk (kasar); meningkatnya perilaku merusak diri; dan kian kaburnya pedoman moral.

    Setiap hari matahari terbit di sebelah Timur. Buat sebagian orang di hari Senin - Jumat ketika pagi menjelang, sekolah adalah tujuan. Setiap hari mereka melewati jalan yang itu – itu lagi: menuju ke titik yang sama; bertemu anak – anak yang sama; melaksanakan KBM di waktu yang sama; dan bergelut dalam hal yang sama pula – termasuk hal  yang disebut oleh Thomas Lickona di atas. Itulah sebabnya di dalam ‘hal yang sama’ tidak selamanya terkandung kebaikan semata, namun bisa tersirat keburukan.


    An Nahl – 125

    ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
    Artinya:
    “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang  baik.  Sesungguhnya Tuhanmu Dialah  yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.


    Ayat itu ditafsirkan sebagai dakwah atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran.  Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.

    Bagaimana mewujudkan itu? Berbicara pada anak – anak yang berada dalam fase labil? Yang sebagian di antara mereka keikhlasannya berada di sekolah hanyalah untuk bermain.  Bukan menimba ilmu.

    Dalam situasi itu seorang guru harus berusaha mengolah hati agar tidak cepat – cepat naik pitam. Sebagai seorang ibu, ia harus berhati – hati menegur anak – anak.  Salah – salah yang keluar adalah sebuah kutukan dan sejarah Malin Kundang malah terulang lagi. Ingin rasanya mencetak semua anak saya kelak menjadi para diplomat atau jurnalis handal. Tetapi seseorang harus tahu kemuskilan itu ada batasannya. Tiap – tiap mereka adalah individu yang unik dan istimewa. Sebagaimana Kahlil Gibran berkata, “Engkaulah busur tempat anakmu, anak panah hidup, melesat pergi,” maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan kompetensi diri lebih dalam. dan melakukan pembimbingan yang tak kenal lelah. Yups! Jadi superwoman. Huehehe.

    H a d i a h 

    Kendati demikian, setiap kali timbul keburukan maka keburukan itu harus diubah menjadi molekul – molekul hikmah. Anak dan guru saling bersenyawa meraih kebaikan. Rasa lelah dan semangat mengalir silih berganti sehingga tak salah jika Rendra berkata, “Hidup adalah perjuangan.” 


    Indahnya perjuangan itu – saat  kelelahan itu meruap – jadi terbayarkan dalam beragam momen. Umpamanya, sebagaimana perkataan Ibu Rubaeah Maryam, guru matematika di sebuah tsanawiyah di Bantar Gebang, Bekasi bahwa anak – anak yang paling cerdaslah yang akan muncul membela gurunya. Ternyata anak – anak yang paling cerdas itu dalam sebuah kelas jumlahnya pun lebih dari satu orang. Terngiang – ngiang di telinga saya bagaimana mereka mengingatkan teman – temannya agar fokus belajar dengan mengatakan, “Hormati guru!”

    Di waktu yang berbeda, seorang Kaisar memburu sejak saya selesai mengajar bahasa Indonesia dari kelasnya dan berseru dari lantai dua, “Ibuuuuuu balik lagi. Pelajaran IPA kosong, Buuuu… Ibuuuu… .”  Seruan Kaisar membuat  saya merasa jadi orang penting sedunia. Ada seseorang, meski cuma satu anak membutuhkan bimbingan. Membutuhkan saya.

    Kalau ada yang dapat melihat isi hati saya, mungkin menemukan emoticon Mr. Smiley di sana. Karena saya senantiasa terkenang bagaimana Ananda Alfin Trinurmansyah merampas sapu yang sedang saya pegang dan meneruskan membersihkan seberkas noda di lantai kelasnya.


    Anak – anak punya cara tersendiri menyampaikan rasa hormat mereka pada guru. Misalnya, di luar jam sekolah, tiba – tiba mereka menghampiri dan menyalami dengan takzim guru yang tak lihat kedatangan mereka. Tetapi, di lain waktu ketika berpapasan di sebuah jalan Ananda Rachma Amanda dengan gaya tomboinya masih sempat menyapa. “Ibuuuuuu… .” katanya sembari ngeloyor dengan motornya. Polahnya bikin geleng – geleng kepala, tetapi mampu menerbitkan sebuah senyum di wajah saya. : )


    Selain, tentang betapa saya sangat menikmati suguhan seporsi soto ayam. Waktu itu saya menerima kiriman seporsi home made soto ayam dari anak seorang penjual sayur.  Rasanya benar - benar lezat!


    Puncaknya saat anak – anak kelas IX mendapat hasil Ujian Nasional bahasa Indonesia dengan gemilang. Di mata saya nilai itu terlihat seperti taburan berlian yang berkelip indah di langit. Anak – anak cerdas itu dengan izin Allah – lah yang mampu membaca dengan baik ujian yang sedang diberikan dan mempersembahkan yang terbaik buat orang tua mereka.


    Kelas – kelas Kebaikan

    Saya tak tahu keistimewaan apa sehingga anak – anak memberi hadiah yang sangat indah buat gurunya. Tapi saya tahu semua itu tak mungkin hasil upaya pribadi tetapi kerja sama yang kompak antarpara pendidik di sekolah. Allah Swt telah memungkinkan kekurangan dan kelebihan tiap pendidik sebagai bahan saling melengkapi untuk mendidik anak – anak kami.

    Adapun pernyataan Lictona tentang perilaku yang mengarah  pada kehancuran sebuah bangsa, ngeri sekali menginsafinya. Tantangan zaman menjadi ujian buat banyak orang. Pergeseran itu menjadi tantangan kita untuk menjawabnya. Ibarat kepompong yang bermetamorfosis, semoga anak bangsa ini menjadi lebih berbudi luhur, tangguh, dan Islami setelah digodok dalam kelas – kelas kebaikan.  La haula wala quwata illa billah. (Q)

    Di Tokyo Kita Bertemu

  • Senin, 09 November 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • “Ohayo-gozaimasu, good morning!” katanya dalam dua bahasa dengan riang menyampaikan salam seraya membungkuk hormat. Aku tersenyum.

    “Ohayo-gozaimasu, good morning, Nak!” balasku.

    Watashiwa Mimi chan desu.

    “A so desu ka. Dozo yoroshiku. O genki desu ka?” tanyaku tentang kabarnya.

    “Hai, genki desu.” Sahutnya masih dalam bahasa Jepang tentang kabarnya yang baik.

    Di tanah air biasanya orang tua yang memperkenalkan anaknya, dan si anak akan mencium tangan orang yang lebih tua sebagai tanda bakti. Tapi aku suka spontanitas ini. Gadis kecil itu membuatku rindu.

    Rahmat menyambarku dan kami langsung berpelukan. Sementara putrinya itu sudah lari ke serombongan wanita yang berada tak jauh dari kami. Rahmat bilang, “Tambah gemuk, kau! Makanya gabung ke tim futsal kita. Buat senang – senang saja! Tapi mungkin buatmu sekalian membakari karbo ya? Hahaha…”

    Kutonjok lengannya, pura – pura kesal. “Sompret kau! Ketemu – ketemu malah bicara diet. Fit and six pax! Nih!” lagakku seperti binaragawan.

    “Halah!”

    Derai kami menggelorakan musim semi yang jatuh di bulan April ini. Leganya bertemu teman sebangsa dan bicara dalam bahasa ibu. Tak ada kegundahan. Ledek – ledekan bebas bertanggung jawab adalah tanda keakraban saja. Sebenarnya kami kuliah di tempat yang sama, Universitas Tokyo. Namun, tempat tinggal yang tersebar dan kesibukan yang berbeda membuat langkanya perjumpaan kami. Chatting itu banyak manfaatnya, tapi bertatap muka dan saling menyentuh begini jauh lebih manusiawi.

    “Mimi sudah besar ya? Apa kabarmu, Mat?” tanyaku kemudian.

    “Kami bawa jajanan pasar.”

    Heh? Rahmat menerima tonjokan main – mainku lagi. Si mahasiswa terbaik dari fakultasnya, Agriculture, menyahut “jajanan pasar” pada pertanyaan yang kuajukan! Jawaban yang tak ilmiah. Jauh panggang dari api, begitu kata peribahasa di negeri kami. Aku masih ingat dengan baik bahwa jajanan pasar adalah makanan favorit Krista. Tapi begitu mahasiswa peraih cum laude dari Todai ini menyampaikan bahwa makanan tradisional Indonesia itu adalah kegemarannya pula, kedengarannya seperti ujaran “aku mencintai Krista”. Hmm, aku tak kuasa menjerumuskan diri dalam pikiranku sendiri. Sampai menduga bilakah benar begitu yang dimaksudkannya? Atau mungkinkan ia tahu kisah kasih kami dan hendak membakar rasa cemburuku?

    *

    Setiap tahun perkumpulan kami selalu mengadakan pertemuan di bawah bunga sakura yang sedang bermekaran. Selalu di pohon yang berbeda. Sakura memiliki beragam jenis. Putih dan merah jambu biasa mendominasi pemandangan. Sakura datangnya hanya setahun sekali. Dalam periode singkat. Sekitar empat belas hari saja. Sesudah itu langsung berganti dengan dedaunan hijau. Bangunan pencakar kaki lima mencuat di antara bunga – bunga berwarna merah jambu di sepanjang jalan ini. Nampak kontras sehingga membentuk pemandangan unik.

    Setiap tahun materi acara di perkumpulan masih yang itu – itu saja: sambutan – sambutan, perkenalan anggota baru, dan ramah tamah. Tidak rumit sebagaimana protokoler suatu acara di negri matahari terbit yang diselenggarakan orang Jepang sendiri. Lebih banyak senyum dan senda gurau dalam hanami kami.  Momen tradisi tahunan di Jepang untuk piknik bersama kawan atau keluarga sambil memandang keindahan bunga sakura dipergunakan sebagai ajang silaturahmi dan perkenalan anggota baru. Hal itu bukan saja berarti perkenalan dengan mahasiswa baru dari rumah, tapi juga memperkenalkan bertambahnya anggota keluarga dari mahasiwa yang membawa keluarganya ke sini.

    Tikar – tikar sudah tergelar. Bekal sudah menghampar. Mimi sedang bermain dengan anak – anak lain di tanah lapang. Satu persatu anggota perkumpulan sudah bersila di atas tikar. Kulihat Krista mengobrol dengan beberapa wanita. Anehnya, seperti tahu sedang diperhatikan, tiba - tiba Krista langsung menengok ke arahku.  “Hai!” teriaknya lembut. Tangannya melambai ke udara dan tersenyum.

    Tanganku baru setengah bergerak ketika kulihat ia kembali asyik bercengkerama dengan para wanita. 

    “Tak usah mengurus dia. Paling – paling ngerumpi. “ sergah Rahmat dan mulai mengalihkan pembicaraan soal lain. “Nah, begini,  tim futsal kita kekurangan pemain. Tidak ada pemain cadangan. Semua bermain. Inilah repotnya. Urusanku di sini sudah hampir selesai …  “

    Suara Rahmat mengambang di udara. Aku membiarkannya bicara sendiri. Aku masih memperhatikan Krista. Semua yang ingin kuketahui tentangnya berasal dari Rahmat.

    “Sesudah Mimi berusia satu tahun, Krista naik JAL menyusulku. Dia wanita hebat. Wanita penyayang. Katanya ia mau menemaniku. Bersama – sama ke manapun aku pergi. Tapi mana tega kubiarkannya dalam keadaan hamil mengarungi samudera. Perjalanan Jakarta – Tokyo teramat panjang. Memangnya Kampung Melayu – Senin! Hahaha … Aku ‘kan harus memikirkan bayi dalam kandungan Krista juga. Yang kusesali tak bisa mendampinginya saat persalinan. Tapi dia wanita tegar.

    Kau tahu kami bertemu di mana? Di chat room! Hahaha… . Aku ini memang kuper. Waktu ia mau menerima si kutu buku ini, ah betapa beruntungnya aku.” Mata Rahmat berbinar.

    “Kau yang menggombal barangkali!” olokku waktu itu.

    Rahmat tak marah. Dia malah balas mengutukiku segera mendapat wanita sebaik Krista. Ia tak tahu bahwa hal itu membuatku terenyuh.

    Krista memang wanita yang istimewa. Orang akan segera mencintainya karena ia hangat, cerdas dan bersahaja. Selama ini pertemuanku dengan Krista hanya terjadi tiga kali karena acara perkumpulan kami dan agenda KBRI. Sejak pertama kali bertemu, di Festival Hanami dua tahun yang lalu, segalanya tentang Krista mulai menancap kembali di kepalaku. Namun, aku belum sempat bercakap – cakap panjang dan mendalam dengannya. Aku tahu ia sama terperanjatnya melihat aku yang tahu – tahu berdiri di hadapannya. Jauh dari rumah kami. Ia mendekap Mimi sedemikian rupa untuk menghilangkan kegelisahannya. Sementara aku, aku seperti ingin menampar – nampar muka sendiri supaya bangun dari mimpi. Tentu saja itu bukan mimpi. Tapi setelah itu, pada pertemuan – pertemuan berikutnya, kuperhatikan Krista tak lagi menatapku. Memang tak sopan memandang orang lekat – lekat, bagaimana pun sepenasarannya dirimu.

    Hanya saja, aku berani bersumpah, pernah sekali waktu kudapati pandangannya menghujam tepat ke arahku. Terkadang aku berharap mata yang memandangku itu masih menyiratkan cinta. Aku menentang segala perasaan iba yang dikirimkan Krista saat memandang balik barang sekejaban itu.  Seolah – olah mata itu bicara tentang kebebalanku, tentang penyia – nyiaanku padanya enam tahun yang lalu, tentang kesendirianku. Yang dibicarakan selalu tentang tempat tinggal mereka, Mimi, Rahmat, KBRI, bahasa Jepang dan pertunjukan tradisional Jepang. Wajahnya bersemu merah dan bening. Suaranya terdengar ramai dan berenergi. Aku tahu, kebahagiaan yang diinginkannya sudah terpampang di depan matanya. Aku mungkin akan jadi pria tak tahu diri bila berani memisahkan mereka, padahal sudah kusaksikan wanita yang kucintai bahagia dengan keluarganya. Yah, kadang – kadang imajinasiku bisa mendaki jauh melebihi ketinggian gunung Fuji. Tapi, untunglah hanya dalam  imajinasi, yang menyesakkan.

    Barangkali aku pernah jadi pria yang paling dibencinya di seluruh dunia. Membuatnya menangis karena aku pilih magang di Australia sehabis lulus kuliah.  Aku ingat kepiluannya menahanku. Tapi aku menafikannya. Setelah dua tahun di negeri kangguru, aku mulai mencarinya. Berita yang kuterima, ia sudah menikah!

    Udara mengalir segar, dan keheningan suara Rahmat menggugah lamunanku. Pada Rahmat dengan agak malu kukatakan, “Okay! Kabari kelanjutan, Mat.” Padahal aku hanya menebak ujung perkataan pria muda yang sudah beruban itu. Rasanya ia masih bicara soal futsal ‘kan? Batinku. Aku segera memisahkan diri darinya. Berdalih hendak ambil gambar.
    *
    Rahmat dan si kecil Mimi sudah memanggil – manggilku untuk bergabung di tikar mereka sebelum acara dimulai. Kurapikan sedikit kameraku dan menyandangkannya di bahu. Siaga untuk dipergunakan. Siap mengabadikan momen langka. Apapun yang menarik hati sang subyek. Kameraku adalah mataku. Sejauh ini, sejak keluar rumah: langit, teman – teman, keramaian Taman Shinjuku, gerbang, botol, bento, Mimi, si gadis cilik yang memerangkap hatiku, Krista, dan sakura (tentu saja sakura) telah terekam dalam memori.

    Kali ini kami mendapat tiga anggota baru. Dua pria, satu wanita. Aku tahu gadis baru itu. Kami pernah bertemu di perpustakaan. Dia kesulitan mencari nomor buku di katalog komputer yang disediakan pihak perpustakaan. Aku membantunya mencari keperluannya di situ. Dorongan sesama satu rumpun. Logatnya menyesatkanku. Kiraku ia encik manis dari negeri Jiran. Ternyata, datangnya dari Pekan Baru! Hani adalah mahasiswi S2 Agriculture. Melihatku, ia  melepaskan senyuman. Ia masih ingat.
    Acara selesai tak berapa lama setelah itu. Masing – masing melanjutkan acara mereka sendiri. Kami sepakat menyusuri Sungai Meguro dimana pemandangan sakura nan indah juga tersingkap. Kelompok kecil kami sekarang terdiri dari aku, Keluarga Rahmat dan Hani. Sebagai senior, Rahmat hendak mewariskan pengalamannya selama kuliah pada Hani. Demikian pula Krista, berniat menghibahkan perabotannya. Ia tidak akan membutuhkan banyak perabot untuk kenang – kenangan saat pindahan. Adapun Mimi dan aku terlibat dalam pembicaraan santai mengenai jajanan pasar Krista bento yang paling lezat. Bento lazimnya untuk wadah bekal makan besar, tapi Krista memodifikasi untuk kuenya. Dalam gendonganku, gadis cilik empat tahun itu mengatakan menyukai kue ku lebih dari apapun.
    “Ikaga desu ka?” tanyaku tentang rasa kue itu setelah ia menggigit sekali.
    Totemo oishii desu. Lezaaaaaaaaaat, Om!” Mimi menguyah baik – baik kuenya.
    Aku tertawa. Ya, aku sudah merindukan ini. Anakku mungkin akan sebesar Mimi bila aku pilih menikah ketika itu.

    *
    Di tempat tinggalku. Tiada menit tanpa menyalakan laptop. Usai menikmati hanami, aktivitas lain dimulai. Malam ini ada gambar yang harus ditransfer. Aku tahu tadi kameraku sudah merekam banyak hal.  Bidikanku seakan – akan tak terbendung. Sudah waktunya menyortir. Begitu LCD – ku menyala, ada wajah yang dominan yang terpampang di sana. Pengalihan ke angle lain selalu menghadirkannya. Wajahnya photogenic. Mode pakaiannya sangat menawan. Warnanya kontras dengan musim semi, tapi seolah – olah menyatu dengan alam, dan aku mengenalinya.

    Ibarat sakura yang keindahannya hanya sejenak, maka kali ini kupikirkan segala yang tertinggal, kemudian tentang masa depan. Gambar Hani dalam memoriku ternyata lebih banyak ketimbang obyek yang lain. Lucunya, hal itu baru kusadari belakangan. Aku tak tahu apakah aku memang sebodoh itu, padahal aku belajar di kampus terbaik ke – 12 sedunia. Menimbang isi memoriku itu pula, maka kini tentang Hani akan kutata baik – baik dalam hati. Paling tidak mengenalnya lebih dahulu. Mudah – mudahan darinya kumendapat cinta yang abadi bagai bunga eidelweiss. 

    Sakura, sakura, kau mungkin datang sesaat tapi kau sudah mengajariku menghargai keindahan, keberkahan, momentum. Ya, aku ingin merengkuhnya sekarang.
    *

    Di Sungai Meguro kami menghabiskan hari menikmati keserentakkan bermekarannya sakura dengan menyusuri sungai itu. Di festival hanami tahun ini kiranya menjadi festival terakhir bersama kami. Setelah diwisuda kemarin dulu Rahmat berencana segera memboyong keluarganya terbang pulang ke Indonesia. Sebentar lagi Krista menyelesaikan short course NOH – sebuah seni tradisional Jepang berunsur drama, tari, dan nyanyian – jadi mungkin bulan depan mereka sudah pulang. Krista sudah menjadi wanita yang berbeda. Bahagia dengan kehidupannya dan tak ingin bicara denganku. Aku tak tahu kapan kami akan bertemu lagi atau mungkinkah akan bertemu. Percakapan dengan menggunakan fasilitas Yahoo Messanger akan jadi wadah basa – basi. Yah, tapi lambat laun aku akan terbiasa melupakan kerinduan pada mereka.

    Sayonara, Genta chan!” salam Mimi ringan seperti biasa, seraya membungkuk hormat.

    Ja Sayonara, Mimi Chan!” balasku dengan membungkukkan tubuh seperti kebiasaan orang Jepang. Aku tersenyum. Menahan keinginan memeluk boneka mungil itu.

    Bekasi, 30 September 2012

    (Nuralam, Robindrani. 2012. "Di Tokyo Kita Bertemu," Japan Love Story, Kumpulan Cerpen.  Jakarta: Pena Meta Kata)


    Pahlawan Tak Dikenal

  • Senin, 02 November 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
    Tetapi bukan tidur, Sayang
    Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
    Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

    Dia tidak ingat bilamana dia datang
    Kedua lengannya memeluk senapang
    Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
    Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

    Wajah sunyi setengah tengadah
    Menangkap sepi padang senja
    Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
    Dia masih sangat muda

    Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
    Orang-orang ingin kembali memandangnya
    Sambil merangkai karangan bunga
    Tapi yang nampak, wajah-wajahnja sendiri yang tak dikenalnya

    Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
    Tetapi bukan tidur, sayang
    Sebuah peluru bundar di dadanya
    Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda

    1953
    Bachtiar, Toto Sudarto. 2001. Suara, Etsa, Desah. Jakarta: Grasindo.

    Tanah Kelahiran

  • Senin, 05 Oktober 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Seruling di pasir ipis, merdu
    antara gundukan pohonan pina
    tembang menggema di dua kaki,
    Burangrang – Tangkubanprahu.
    Jamrut di pucuk-pucuk,
    Jamrut di air tipis menurun.
    Membelit tangga di tanah merah
    dikenal gadis-gadis dari bukit
    Nyanyikan kentang sudah digali,
    kenakan kebaya merah ke pewayangan.
    Jamrut di pucuk-pucuk,
    Jamrut di hati gadis menurun.

    Ramadhan K.H.

    Saya Mau Masak

  • Jumat, 02 Oktober 2015
  • rani nuralam


  • Pulang mengaji Jejes tanya – tanya kukusan apa yang ada di dalam dandang. Begitu tahu apa yang sedang saya masak intensitasnya mengunjungi dapur pun jadi meningkat sambil bertanya, “Kapan matangnya?” 

    Skotel siap menjelang maghrib. Asap hangat mengepul di atas adonan. 

    Dalam perjalanan menuju ruang makan Jejes dan adiknya membuntuti saya. Mereka begitu sejak dua loyang panas keluar dari dandangnya.  Begitu tersaji di meja seiris demi seiris skotel yang fresh from dandang kami lahap.  Seiris itu tidak cukup. Buktinya ketika setengah jam berlalu dua loyang skotel sudah dalam keadaan kosong! Keduanya tergolek di wash stafel. Tak saya sangka secepat itu ludesnya. :D

    Saya sudah tersanjung dengan pujian Jejes sejak ia datang ke dapur, “Kapan matangnya?” atau bahasa tubuhnya yang mengatakan pingin bangets skotel bikinan saya. 

    Alhamdulillah! Karena seketika hati saya merekah merah merona bagai sebuah puspa yang sedang berkembang. Saya senang lihat skotel saya habis ludes laris manis. Lumayan buat orang yang hampir tak pernah memasak lagi. Semua bahan saya cemplungi pakai ilmu kira – kira saja. Tanpa takaran seperti yang tertera dalam resep. Jadi lebih kurang begitulah  tentang memasak, pakai feeling and everything will be okay. Haha.

    *

    Dari dulu saya ingin masak. Saya ingin menyiapkan hidangan keluarga. Tapi saya tidak sempat. 

    Waktu yang dulu itu saya ingin bikin makanan lezat dan nikmat buat almarhum bapak. Kami biasanya menyiapkan rebusan dari umbi – umbian, sari buah dan sayuran, lauk bakaran, lauk dingin, bubur bayi, minuman hangat tanpa gula atau dengan gula jagung untuk beliau. Hidangan begitu ‘kan bukan masakan! Saya ingin mengolah sendiri sejak memilih bahan – bahannya sampai menyajikannya di meja dari tangan saya sendiri. Saya ingin mendekor meja makan saya bagai seorang chef menyiapkan hidangan untuk tamunya. Sebetulnya secara sederhana saya cuma mau memasakkan sesuatu. Tetapi, untuk bapak kesempatan itu sudah lewat. Saya sibuk. 

    Kalau ada kesempatan memasak saya akan hepi sekali. Karena waktu itu adalah waktu bersenang – senang. Karena waktu itu saya bisa lihat orang yang saya sayangi menikmati segenap hati saja dalam hidangan. Karena waktu itu adalah waktu melepaskan lelah. (Q)
      
      

    Dalam Gelombang

  • Senin, 07 September 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Alun bergulung naik meninggi,
    Turun melembah jauh ke bawah,
    Lidah ombak menyerak buih,
    Surut kembali di air gemuruh.
    Kami mengalun di samud'ra-Mu,
    Bersorak gembira tinggi membukit,
    Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
    Silih berganti tiada berhenti.
    Di dalam suka di dalam duka,
    Waktu bah'gia waktu merana,
    Masa tertawa masa kecewa,
    Karni berbuai dalam nafasmu,
    Tiada kuasa tiada berdaya,
    Turun naik dalam 'rama-Mu.

    St. Takdir Alisjahbana (1984:4)

    Tentang Kemerdekaan

  • Senin, 03 Agustus 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
    Janganlah takut kepadanya
    Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
    Janganlah takut kepadanya
    Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
    Bawalah daku kepadanya



    1953

    SEMALAM

  • Senin, 06 Juli 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Semalam aku sendirian di dunia ini, kekasih;
    dan kesendirianku... sebengis kematian...
    Semalam diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara...,
    Di dalam fikiran malam.
    Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari.
    Dan, ia berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilas pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan... sekucup ciuman


    Kahlil Gibran

    Feel like heaven

  • Senin, 15 Juni 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Entah mengapa mata saya bisa  tidak awas. Jika di seberang itu – di antara kerumunan orang , dalam jarak sepuluh meter – ada sepasang mata yang tengah mengawasi. saya akan tahu. Tapi saya tak bisa memperhatikan semua orang, beberapa yang mencolok saja. Dan saya perlu beberapa bulan menginsafi bahwa berpasang bola mata itu tengah melihat. 

    Jadi saya ambil langkah selanjutnya yaitu pasang telinga baik – baik.  Anak – anak menaruh perhatian atas kisah yang saya tumpahkan. Kelompok lain begitu rendah hati memaklumi penampilan saya. Sementara ada segelintir orang, pilih bersembunyi dari suara dan pandangan saya. 

    Untuk kelompok istimewa caranya menaruh perhatian sangat sederhana, dan sepertinya ia mengambil tempat agar perkataannya bisa saya dengar. Seolah – olah ia sedang berdiri di belakang saya dan memastikan dukungannya. Bagaimana sih maksudnya 'ia'? 'Mereka'? Ya, maksudnya 'ia' itu adalah seseorang yang merupakan bagian dari mereka. Masih terasa ganjil mendengar kata yang mengiringi saya itu. Tetapi bagaimana membuktikannya? Yah, saya tak tahu dan saya pikir tidak perlu dibuktikan. 

    Tempat ini sangat istimewa. Saya telah memohon pada Allah ditempatkan di tempat yang Ia berkahi. Di sini saya bisa lihat bagaimana para prianya memperlakukan para wanita dengan penuh rasa hormat dan beradab.  Bicara lembut selayaknya pelantun ayat – ayat suci Al Quran, Tetapi maskulin sebagaimana seorang penakluk pegunungan.

    Hati saya pun bergembira karena mereka mendengarkan suara saya. Lucu sekali, ketika jarak sudah diambil, langkah seribu  diancang – ancang, dan rencana buat masa depan juga telah dirancang, tahunya segala hal membuat saya “stuck” di sini. Saya masih hendak berangkat pergi. Tapi saya menunggu  Allah menunjukkan tempat lain yang diberkahinya, di suatu tempat yang bukan di tempat saya berdiri sekarang ini. Tapi barangkali di sinilah tempat saya, tempat dimana impian saya bisa terwujud semua. Mereka juga sudah membuat saya belajar berlaku rendah hati dan memuliakan orang lain. Apalagi yang harus digambarkan.  Saya jadi ingin membesarkan  anak laki – laki saya seperti mereka mendidik putra – putra mereka. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Q)  

    Indahnya Persahabatan

  • Senin, 01 Juni 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Tiada mutiara sebening cinta.
    Tiada sutra sehalus kasih sayang.
    Tiada embun sesuci ketulusan hati.

    Sahabat bukan,
    Matematika yang dapat dihitung nilainya.
    Ekonomi yang mengharapkan materi.
    PPKN yang dituntut oleh Undang-undang.

    Tetapi,
    Sahabat adalah sejarah yang dapat dikenang sepanjang masa.


    Desmailiai Irawan

    Jembatan Kami

  • Senin, 25 Mei 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,



  • Mungkin karena semalam di blok kami mati lampu makanya seseorang memasang api unggun di tepi jembatan. Maaf, bukan di tepi jembatan, namun di tepi kali hitam. Jembatan kami itu sudah dibongkar dan dalam proses penyelesaian. Tidak ada yang bakar jagung atau pun sekumpulan orang mengelilinginya seperti anak Pramuka sedang bermain api unggun. Jalanan tidak lantas terang benderang karena api itu. Tetapi, bulan sabit di atas kamilah yang bersinar menerangi kami. 

    Isu menyebutkan bahwa biaya pembuatan jembatan itu hingga sembilan ratus juta rupiah. Pekerjanya terdiri dari lima orang pria. Mereka bekerja delapan jam sehari. Pembuatannya sudah berlangsung selama 3 minggu. Konon, para pekerja itu mulai bekerja jam 10.00 pagi. Istirahat jam 12 siang, selama dua jam. Lalu, mulai lagi pada jam 14. Berakhir pukul 16. Oleh karena itu, sejauh ini bentuk jembatan itu … ya, begitu gitu ajah deh. *Alon – alon asal klakon*

    Banyak orang mencak – mencak karena kelambanan pengerjaannya. Omzet penjual di jalan raya blok itu menurun. Lalu lintas dialihkan ke jalan tikus. Orang tua cemas anak – anak mereka harus adu jalan dengan pengendara motor - pengguna roda empat atau lebih tidak bisa melewati jalan alternatif itu. Polisi cepek menjamur. Deruman motor mengganggu kenyamanan istirahat warga sekitar. Andaikata Bandung Bondowoso hidup dan cerita legenda Candi Sewu dipeluntir 180 derajat, mungkin ia akan berkata, ‘Daulat Ni Mas Roro Jonggrang, kakanda akan mewujudkan keinginanmu’ saat menjawab titah Roro Jonggrang untuk membuat jembatan kami dalam semalam. Hehehe. 

    Yah, wow, alangkah ajaibnya bila jembatan kami itu seketika terwujud ala Bandung Bondowoso. Bukan semacam kopi instan, mi instan, bubur instan, atau teh celup seperti itu. Bukan tiga menit langsung jadi. Sesuatu yang cepat itu, mudah – mudahan tidak melulu dianggap tindakan instan yang rapuh, merusak kesehatan, dan asal – asalan. Kalau jembatan kami sudah beroperasi lagi niscaya mengembalikan kehidupan banyak orang ke kehidupan normal. Membuat lalu lintas lancar dan memudahkan interaksi antarkecamatan - kabupaten dan antarRT – RW, yah menghubungkan banyak hal yang terputus kembali. (Q)

    Keraton Solo

  • Kamis, 21 Mei 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,















  • Sketsa Kopi

  • Senin, 04 Mei 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Sepagi tadi kuseduh kopi
    Hitam pekat tanpa gula, susu apalagi
    Di bibir gelas kulihat bekas cumbu malam
    Setubuh cuaca yang meruam
    Geligi setia tandang
    Ingin kureguk ini kopi setengah jadi
    Ya, setengah kepul mengintimidasi hari
    Bekas cumbu itu hidup
    Meliuk-liuk di antara jejak hirup

    Sesiang ini, gelas setengah isi
    Memaksa mentari menarik diri
    Dari pergumulan kopi dan sunyi

    Lathifah Edib, Bjm, 221113

    Beyond The Inspiration

  • Senin, 27 April 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Pada zaman dahulu kala di suatu negeri bukan antah berantah memerintahlah seorang amir atau panglima perang. Belum lagi usianya menginjak 17 tahun, tujuh bahasa dikuasainya. Pada umur 19 tahun memimpin kota di Kesultanan Utsmani di Adrianopel. Pada saat itu pikirannya dipenuhi bisyarah Rasulullah saw yang berbunyi, “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat – hebat amir (panglima perang) adalah amirnya dan sekuat – kuatnya adalah pasukannya.” (HR. Ahmad)

    Karena bisyarah itu maka ia pun membentuk pasukan elit yang diberi nama Janissaries. Sejumlah 40.000 orang yang loyal pada Allah dan Rasul – Nya berkumpul untuk penugasan itu. Taktik yang dijalankan adalah memutuskan urat nadi utama Konstatinopel, yaitu Selat Bosphorus. Supaya ia bisa memegang jalur utama perdagangan, transportasi, dan suplai logistik ke Konstatinopel maka dibangunlah Benteng Rumeli Hisari. Tinggi benteng ini 82 meter dengan 7 menara citadel. Dibangun oleh 5.000 pekerja dan selesai kurang dari 4 bulan.

    Tetapi, pertahananan Konstatinopel sangat kuat. Tembok Konstatinopel tebal dan tingginya 30 m. Temboknya terdiri dari 3, yaitu Tembok Dalam (Inner Wall), Tembok Luar (Outer Wall), serta parit. Tinggi tembok bervariasi. Tinggi tembok dalam 18 – 20 m, tinggi tembok luar 12 – 15 m dan dalamnya parit 10 dengan lebar 20 m. Ketebalan tembok adalah 5m dan tembok luarnya 2m.

    Sang Amir menyadari bahwa dengan cara konvensional mustahil menaklukkan Konstatinopel. Maka dipakailah teknologi persenjataan tercanggih, yakni meriam Orban. Selain itu, sebanyak 250.000 pasukan dipersiapkan untuk ke medan laga.

    Tetapi, dengan segala taktik itu kemenangan belum bisa diraih. Misalnya, ketika pasukan muslim hendak melewati Teluk Tanduk Emas, tentara Konstatinopel telah memasang rantai raksasa untuk menghalangi rantai raksasa di laut untuk menghalangi kapal – kapal perang kaum muslim. Lalu, di bagian Selatan, 400 kapal perang yang telah disiapkan sang Amir tidak bisa berbuat apa – apa. Karena dihadang kapal – kapal Konstatinopel yang besar dengan pasukan yang lebih berpengalaman. Banyak kapal kaum muslim karam dan hancur dalam serangan laut. Sementara itu di sebelah Barat, dengan gencar pasukan kaum muslim memborbardir tembok Konstatinopel tanpa henti, dentuman – dentuman yang memekakkan telinga dan menggetarkan bumi terus dilancarkan.

    Demikian pula dengan keampuhan meriam Orban diberdayakan seoptimal mungkin. Namun, meriam itu hanya bisa ditembakkan 3 jam sekali. Hal itu jelas membuat pihak lawan punya waktu memperbaiki tembok.
    Dengan segala upaya yang telah dilakukan nyatanya tak mampu menaklukkan Konstatinopel. Alhasil korban dari pihak kaum muslimin berjatuhan. Nada – nada sumbang untuk melemahkan perjuangan merebak.

    Tetapi, sang Amir tetap mengobarkan semangat prajuritnya dengan bisyarah Rasulullah saw. Bisyarah itu adalah keyakinan kaum muslimin yang tidak diambil dari fakta yang ada di sekelilingnya, tetapi hanya dari ucapan Allah dan Rasulullah saw. They believe in something that can’t be seen by eyes.

    Setelah itu, sang Amir menitahkan pasukannya memindahkan kapal melewati Bukit Galata. Sebanyak 72 kapal pindah dari Selat Bosphorus menuju Teluk Tanduk Emas dalam waktu semalam. Pada pagi harinya, 22 April 1453 disertai takbir dan tahlil pasukan Konstatinopel diserbu dan dipukul kaum muslimin.

    Seorang sejarawan bernama Yilmaz Oztuna menggambarkan kejadian itu sebagai kejadian yang tidak pernah dilihat dan tidak pernah didengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa. Muhammad Al Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal – kapalnya di puncak – puncak gunung sebagai pengganti gelombang – gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang pernah dilakukan oleh Alexander The Great. Benar! Sosok sang Amir adalah Muhammad II bin Murad II yang diberi gelar Al Fatih (sang penakluk), menurut para sejarawana tidak pernah menjadi masbuq dalam shalatnya; tidak pernah meninggalkan shalat rawatib yang secara tak langsung berarti tak pernah menunaikan shalat fardhunya. Teguh menegakkan shalat tahajud karena ia ingin mengikuti tabiat nabi.


    Ada sembilan bab dalam buku Beyond the Inspiration. Tetapi, bab “Beyond The Inspiration” adalah bab favorit saya. Ya itu yang sudah paparkan di atas. Menggetarkan hati. Mengagumkan. Sejarah mencatat dan saya membacanya sekarang. Kejayaan Islam dikibarkan oleh seorang pemuda istimewa. Pemuda yang menguasai Konstatinopel pada usia 21 tahun. Berperang dengan pasukan kafir dalam perang Salib pada usia 12 tahun. Delapan abad setelah kehadiran rasulullah sebagai utusan yang memperbaiki akhlak.

    Tulisan tentang Al Fatih termuat dalam beberapa buku lainnya, misalnya dalam Atlas Perang Salib dan Perang Salib. Konten kedua buku itu sangat berat. Kehadiran buku Beyond the Inspiration kehadiran menjadi istimewa karena buku ini mempermudah pemahaman saya tentang satu bagian kecil sejarah peradaban Islam, sejarah perang salib itu. Selain itu, juga karena saat saya tengah berada di kelas ketika tiba – tiba seorang pemuda menyodorkan buku Beyond the Inspiration. Dia meminjamkan buku ini padahal tak saya minta. Saya hampir tak pernah meenemukan anak – anak usia remaja menyelami buku macam ini. Apalagi dari seorang pemuda istimewa, seorang siswa SMP, bernama Fadel Arozaqi. Sangat tak terduga. Tapi di akhir bacaan saya senang dan puas membaca buku ini. Bab “Beyond the Inspiration” sangat mengesankan. (Q)

    Sumber : Siauw, Felix Y. 2011. Beyond the Inspiration. Jakarta : Khilafah Press.

    Makam Raja - raja

  • Kamis, 16 April 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Napaktilas XV

    Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya menggelar acaranya yang ke – 15.  Saya skip ketika perhelatan mereka yang ke – 14 menuju Batu Jaya. Jadi keikutsertaan kali ini adalah acara mahapenting untuk melengkapi koleksi situs yang dikunjungi bersama mereka. Pada Minggu, 5 April 2015 pukul  07.00 peserta berkumpul di depan Bogor Trade World, Kota Bogor. Hari cerah, udara sejuk mengantar sedikitnya 28 orang ke tujuan.  Rencananya, rute yang akan dikunjungi Situs Garisul, Jasinga - Batu Tapak Harkatjaya Cigudeg - Setu Cigudeg - Mausoleum van Motman - Bendung Gunung Bubut PLTA Cikaracak - Museum Pasir Angin. Pada acara kali ini tiap peserta dikenakan biaya Rp.140.000,00 /orang. Biaya yang relatif ringan untuk sebuah wisata sejarah.

    Lokasi yang kami kunjungi berada di Bogor Barat.  Yang pertama disambangi adalah Situs Garisul. Jarak dari parkir bus ke lokasi adalah 500 ratus meter. Kami melalui jalan setapak. Di  tengah perjalanan sebuah jembatan gantung jadi obyek menarik pertama  ke makam dan tak urung para fotografer mulai beraksi. Demikian memang patut dimaklumi karena perpaduan jembatan gantung dan sungai berbatu merupakan pemandangan yang indah. Mubazir jika diabaikan. :P

    Nah, sembari mengunjungi langsung obyeknya, pengetahuan tentang tempat – tempat itu tersebar di  internet. Berikut ini adalah copas dari tulisan itu dan penyusunannya berdasarkan urutan kunjungan rombongan.



    Makam Raja – raja Islam, Garisul

    Situs Garisul terletak di Kampung Garisul, Desa Kalong Sawah, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Situs itu merupakan kompleks makam Islam era abad ke - 19. Dari  https://ensiklopediwisataindonesia.wordpress.com/…/situs-g…/   Diperoleh informasi sebagai berikut. Luas area Situs Pemakaman Garisul kurang lebih 3.000 m2. Posisinya menghadap ke barat. Peninggalan bersejarah ini berasal dari abad ke-15 sampai 16 M. Dalam dekade tertentu merupakan peninggalan zaman perkembangan dan kebudayaan Islam. Namun, pada salah satu peninggalannya terdapat angka 1021-1031 Hijriah.

    Di antara kumpulan makam kuno tersebut ada 9 makam utama yang merupakan simbol dari kepemimpinan. Bentuk bangunan diketahui mempunyai ciri-ciri tersendiri yang merupakan pengaruh kebesarannya. Analisis ini diambil berdasarkan makam serta ketinggian batu nisan. Hasil pengamatan dapat diketahui bahwa di antara ke-9 makam kuno tersebut terdapat nama Syekh Ishak, Panglima Sultan Hasanudin Banten dan para istrinya. Salah satu di antaranya adalah putri raja dari Kerajaan Kediri.

    Yang menarik adalah setiap batu nisan mempunyai keseragaman pada jenis batu dan motifnya, dengan ketinggian rata-rata di atas permukaan tanah sekitar 20-30 cm. Selain itu, di setiap makam bercirikan satu tunggul atau satu batu nisan saja yang mempunyai relief/kaligrafi bertuliskan huruf Arab gundul, yakni berbentuk kubah atau segi tiga yang melambangkan makam prajurit. Di lokasi ini juga terdapat 9 buah batu nisan dengan ciri tersendiri, letaknya di tengah nisan lainnya. Dari 9 buah batu nisan, 7 di antaranya mempunyai bentuk lekukan yang berbeda dengan nisan lainnya yang menunjukkan bahwa 7 makam laki-laki dan yang 2 adalah makam wanita. Tinggi makam pembesar itu rata-rata 60-70 cm dengan relief dan huruf kaligrafi lebih banyak. Jarak antara satu dengan yang lainnya 170-200 cm. Nama-nama yang disebutkan terbatas pada pengetahuan yang ada, di antaranya disebutkan: Syekh Ariffuddin, Beberapa panglima perang pasukan Sultan Hasanudin, 2 orang putri raja Demak dan Cirebon, Pemimpin pasukan: Ishak. Ditinjau dari angka tahun penangalan perlu penelusuran lebih lanjut, sebab bermunculan keragaman dalam mengintreprestasikan angka tahun yang masih samar, yakni tahun 1015, 1501, dan 1021 karena tidak ada tanda-tanda petunjuk jenis tahun, apakah tahun Hijriyah, tahun Saka Jawa, atau tahun Saka Hindu.

    Sebagai informasi tambahan disebutkan bahwa di makam utama dari depan saung terdapat 10 nisan bernama: (1) Syekh Syarifudin; (2) Syekh Mada; (3) Ratu Nyimas Sri Kerti Mukti; (4) Ratu Dewi Manggala; (5) belum diketahui; (6) Syekh Daud bin Syekh Mansur Cikaduweun; (7) Syekh Ishak (Ahli Tafsir); (8) Syekh Iman (Ahli Tajwid); (9) Syekh Purwa Kawasa (Ahli Perang); (10) belum diketahui. 

    Di luar makam kesepuluh nisan itu ada Pangeran Mangku Bumi, Pangeran Jaga Raksa, Syekh Muji, Pangeran Kerta Kencana, Ageng Manggala (istri Kerta Kencana), Pengeran Sukma Jagat, Pangeran Soca Manggala, Syekh Abdullah bin Yasin bin Yusuf, dan Syekh Yaman di tengah-tengah. Di luar dari makan raja-raja Islam ini terdapat makam Syekh Sandong (artinya selendang yang digendong dan dia seorang yang pendiam maka dikenal sebagai Mbah Sadiem).

    Adapun keterangan Ketua Komunitas Napak  Peninggalan Budaya, Hendra M. Astari yang mengutip Uka Tjandrasasmita (2009) bahwa situs ini telah disinggung pertama kali oleh Dr. Hoesein Djajadiningrat sebagai salah satu situs bercorak Islam yang ada di wilayah Bogor bagian Barat.

    Penelitian yang intensif baru dilakukan oleh Muhammad Thoha Idris tahun 1990-an. Idris (1995) menyebutkan bahwa tipologi nisan Garisul sangat terkait dengan nisan yang ada di Banten Lama.

    Beberapa nisan yg msh terbaca antara lain: makam Haji Syarif tahun 1200 H/1822 M, makam Embah Adong tahun 1215 H/1837 M, dan ada juga nisan kubur dari tahun 1238 H/1860 M. Angka-angka tahun dari abad ke-19 itu jelas ada kaitannya dengan masa pergerakan rakyat melawan penjajah yang mungkin semula mereka berada di Banten. 

    Musoleum van Motman

    Musoleum van Motman

    Lalu, kami melanjutkan perjalanan menuju Musoleum van Motman. Lokasinya berada di wilayah Kampung Pilar, Desa Sibanteng, Kecamatan Leuwisadeng. Berjarak kira-kira 25 Km dari Kota Bogor dan perlu 300m untuk menjangkaunya dari jalan raya. Astana Van Motman  ada di  http://napaktilasbogor.blogspot.com/2010/06/astana-van-motman-terbengkalai.html.

    Keluarga van Motman adalah tuan tanah yang mempunyai perkebunan yang sangat luas di wilayah Bogor pada akhir abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20. Wilayah perkebunannya meliputi daerah Dramaga, Jambu, sampai Jasinga. Moyang van Motman pertama yang menjejakkan kakinya di tanah Jawa adalah Gerrit Willem Casimir van Motman. Dia dilahirkan di Genneperhuis, Negeri Belanda pada 11 Januari 1773. Gerrit Willem sampai di Buitenzorg (sebutan Bogor waktu itu) pada usia yang terhitung masih muda. 

    Dengan kerja kerasnya, van Motman muda ini sudah berhasil menjadi tuan tanah pada masa pemerintahan Guberbur Jenderal Daendles (1808-1811). Tanah yang dikuasainya meliputi daerah yang cukup luas di sebelah barat Bogor. Gerrit Willem mula-mula mengusahakan tanaman tebu dan kopi di tanah perkebunannya. Tebu dan kopi adalah dua komoditas perkebunan yang menjanjikan keuntungan berlipat waktu itu.  

    Sebagai tuan tanah yang memiliki lahan perkebunan yang terhitung luas, setidaknya Menir Motman membangun pesanggrahan (landhuis) di tiga tempat yang berbeda, yaitu di Dramaga, Jambu dan Jasinga. Bangunan landhuis di Dramaga masih berdiri sampai sekarang, sedangkan landhuis Jasinga keberadaannya dibuktikan dari sebuah foto koleksi Tropenmuseum Belanda yang memperlihatkan sebuah rumah tak jauh dari aliran sungai Cidurian. Adapun rumah yang di Jambu tidak jelas di mana keberadaannya.  

    Sempat adanya landhuis van Motman di afdeling Jambu bisa disimpulkan dari keterangan di situs www.uwstamboomonline.nl yang menyebutkan adanya empat anak Gerrit Willem yang dilahirkan di tempat ini antara tahun 1811-1814. 

    Tentang Gerrit Willem Casimir sendiri tidak jelas di mana dimakamkannya. Dia meninggal tanggal 25 Mei 1821 di Dramaga, dan disebutkan dikuburkan di Jasinga. Begitu pula tidak ada keterangan tentang jasad siapa saja yang diawetkan di cungkup moseleum Jambu ini. Hanya saja masyarakat setempat menyebutkan, sampai tahun 1965 masih terlihat empat jasad keluarga van Motman di dalam bangunan moseleum yang di tempatkan di dalam peti kayu yang sisi atasnya ditutupi kaca.

    Keadaan mausoleum pada saat dikunjungi ini tak berbeda jauh dari penggambaran yang ditulis Hendra M. Astari pada tahun 2010 itu. Sampai sekarang bangunan moseleum di kompleks astana ini masih berdiri kokoh. Walaupun keadaannya terlihat kumuh dan tak terawat. Bangunan seluas kira-kira 40 m² ini dominan berwarna putih, dengan bagian yang mulai menghitam di sana-sini. Bangunan moseleum ini berbentuk letter plus (palang), dan menurut Anthony Holle, salah seorang kerabat keluarga van Motman, arsitekturnya merupakan replika dari gereja Santo Petrus yang berada di Kota Roma, Italia. 

    Cungkup ini orientasinya menghadap ke arah utara-selatan. Pintu masuknya berada di sebelah selatan. Dahulunya terdapat daun pintu di lawang masuk ini, tetapi sekarang keadaannya kosong melompong tanpa penghalang. Ukuran lawang pintu ini kira-kira 2 X 1,5 m. Tepat di atas pintu masuk terdapat tulisan “FAM: P.R. v MOTMAN”. 

    Ornamen ram kaca di setiap dinding bagian atas yang berbentuk setengah lingkaran telah bolong tanpa kaca penutupnya, yang tertinggal tinggal rangka kayuna. Pada bagian atas bangunan, tepat di tengahnya ada kubah segi delapan bergaris tengah 1,5 meter. 

    Di bagian dalam bangunan, sisi sebelah barat dan timurnya ada ruangan seperti kamar yang dibagi menjadi dua tingkat. Di tempat inilah disemayamkan empat jasad mumi keluarga van Motman. Di bagian dalam bangungan ini masih terlihat rangka besi behel berserakan, sepertinya telah dicabut dengan paksa. Juga terlihat coretan hasil aksi vandalisme di sekeliling dinding bangunan. 

    Di dinding selatan dan utara bagian dalam, masih terlihat warna cat hijau melapisi dindingnya. Malahan ragam hiasnya juga masih terlihat jelas. Di dinding ini juga tak lepas dari aksi vandalisme, banyak terdapat coretan yang tidak tentu artinya. 

    Di halaman luar moseleum, keadaannya sangat mengkhawatirkan. Tanaman semak dan rumput liar tumbuh di mana-mana, begitu pula dengan talas liar banyak tumbuh di sana. Sepertinya halaman ini telah dijadikan kebun, karena telah ditanami oleh beberapa tumbuhan seperti pisang dan tanaman albasia. 

    Di halaman cungkup ini masih terlihat adanya 12 pilar bekas nisan kuburan Belanda. Pilar-pilar tersebut keadaannya merana sekali karena telah ditumbuhi oleh tanaman merambat. Luas keseluruhan lahan kompleks Astana van Motman ini sekarang tinggal 600 m². 


    Museum Pasir Angin

    Komunitas Napaktilas Peninggalan Budaya di Museum Pasir Angin

    Situs Pasir Angin terletak di Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Bukit Pasir Angin berada tidak jauh dari aliran sungai Cianten. Situs ini ditandai dengan adanya sebuah batu monolit. Yang istimewa dari monolit ini adalah memiliki bidang datar di beberapa sisinya. Orientasi dari monolit setinggi 1,2 meter ini menghadap ke arah timur.

    Bagi orang awam sepertinya tidak ada yang aneh dari seonggok batu di puncak bukit ini, tetapi bagi para ahli, batu yang memiliki bidang datar dan berada di ketinggian, serta tidak jauh dari aliran sungai akan sangat menarik perhatian.

    Esensi dari kehidupan bercorak megalitik adalah adanya pemujaan terhadap arwah para leluhur. Dan para pendukung kebudayaan ini percaya bahwa tempat-tempat tinggi seperti gunung dan bukit merupakan tempat bersemayamnya arwah-arwah tersebut. Sehingga tidak mengherankan jika di ketinggian banyak ditemui peninggalan tempat pemujaan (punden), seperti halnya situs Pasir Angin. 

    Di situs ini pada tahun 1970 dilakukan ekskavasi atau upaya penggalian yang dilakukan oleh tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) yang dipimpin oleh R.P. Soejono. Ekskavasi ini berlangsung sampai tahun 1975.

    Dari penggalian ini dihasilkan banyak artefak-artefak yang menunjukkan bahwa situs ini dahulunya merupakan tempat nenek moyang kita melakukan kegiatan ritual. Barang-barang yang ditemukan di sini, antara lain: kapak perunggu, tongkat perunggu, manik-manik batu daun kaca, mata tombak, kapak besi, gerabah, dan lain-lain.

    Dari penggalian ini terlihat bahwa barang-barang yang ditemukan ternyata berada di sekitar batu monolit dan berkumpul membujur dari barat ke timur. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan yang melibatkan benda-benda temuan tersebut dipusatkan pada batu monolit ini.

    Mengenai orientasi kegiatan di sekitar monolit dengan arah hadap timur-barat, menurut Haris Sukendar, hal ini disejajarkan dengan perjalanan matahari. Tempat matahari terbit, yaitu di timur merupakan perlambang dari kelahiran atau kehidupan, sementara tempat tenggelam matahari di barat merupakan simbol dari kematian.

    Diperkirakan situs Pasir Angin ini digunakan menjadi tempat ritual pada masa logam awal sekitar tahun 600 – 200 SM. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis radio aktif atom karbon C14 dari sampel arang di situs tersebut yang menunjukan pertanggalan absolut dari tahun 1000 SM sampai 1000 tahun Masehi. Kira-kira selama 2000 tahun upacara atau tradisi megalitik terus berlangsung di tempat ini. 

    Penelitian dan penggalian yang dilakukan selama kurang lebih enam tahun di situs Pasir Angin ini telah menghasilkan begitu banyak barang temuan. Untuk menyimpan benda-benda tersebut akhirnya dibangunlah site museum di tempat ini pada tahun 1976.

    Memang tidak semua benda hasil penggalian ditempatkan di museum ini, ada juga yang dibawa ke Jakarta dan disimpan di museum pusat dan di kantor Puslitarkenas.

    Museum Purbakala Pasir Angin yang dibangun tak jauh dari batu monolit ini, selanjutnya tidak hanya menyimpan benda purbakala dari situs ini, tetapi juga dari situs-situs lain di sekitar Bogor. Seperti sejumlah arca dari situs Gunung Cibodas Ciampea yang keadaannya banyak yang tidak utuh lagi. Disimpan juga di museum ini manik-manik dan guci keramik yang ditemukan secara tidak sengaja di situs Pasir Gintung.

    Sampai sekarang museum Pasir Angin merupakan satu-satunya museum yang berada di wilayah kabupaten Bogor. Sebagai tempat penyimpan benda-benda bersejarah tentunya museum ini bisa dioptimalkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu sejarah dan arkeologi. Keberadaannya juga bisa untuk lebih mengenalkan para generasi muda terhadap sejarah masa lalu bangsanya, sehingga para penerus bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya.

    Keberadaan situs Pasir Angin dan museumnya merupakan cermin perjalanan budaya megalitik di Indonesia. Ritus pemujaan di tempat ini ternyata dilakukan dari masa prasejarah sampai terus tembus ke masa sejarah (kira-kira abad ke-10).

    PLTA Karacak



    Keberadaan Waduk Gunung Bubut berkaitan erat dengan berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kracak. Waduk ini dimaksudkan untuk tempat menghimpun air agar turbin PLTA senantiasa berputar sepanjang waktu. Sehingga PLTA ini dapat terus beroperasi dan secara berkesinambungan dapat menyuplai listrik ke konsumennya.

    Melihat cukup luasnya areal Waduk Gunung Bubut ini, bisa diperkirakan pembangunannya memakan waktu yang cukup lama. Bila PLTA Kracak mulai beroperasi tahun 1926, tentunya berbagai persiapan termasuk pembangunan Waduk Gunung Bubut dilakukan sebelumnya. Diperkirakan selesainya pembangunan waduk ini pada tahun 1925 atau paling telat awal tahun 1926.

    Secara resmi pihak PLTA Kracak menamakan waduk ini dengan istilah Kolam Tando Air (KTA). Sementara masyarakat setempat menyebut tempat ini dengan nama Gunung Bubut. Mungkin sudah menjadi ingatan kolektif masyarakat, bahwa pembangunan waduk dilakukan dengan cara membubut (menggali/melubangi) gunung (bukit), sehingga sebutan Gunung Bubut atau gunung yang dibubut lebih membekas dibanding sebutan kolam tando air versi PLTA.

    Waduk Gunung Bubut atau Kolam Tando Air (KTA) berlokasi di Kampung Karacak, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang. Hanya 300 meter dari pinggir jalan kabupaten Leuwiliang – Puraseda, dan sekitar 5 kilometer dari kantor kecamatan Leuwiliang.

    Waduk ini dibuat dengan konstruksi beton. Luas areal permukaan waduknya sendiri mencapai 42.000 m², sedangkan luas dasarnya 35.000 m². Waduk ini dapat menampung air sebanyak 187.000 m³ dan ketinggian air maksimal yang bisa ditampung adalah sampai 7,25 m.

    Berada di ketinggian 388 m dpl, waduk inipun dilengkapi dengan jalur limpasan air atau spillway. Hal ini untuk safetyjika terjadi keadaan over capacity, air yang berlebih bisa dialirkan melalui jalur ini, langsung menuju sungai Cianten.

    Waduk Gunung Bubut berfungsi untuk menampung air yang dialirkan dari Bendung Cianten di Desa Karyasari dan Bendung Cikuluwung di Cibitung Kulon yang berada di daerah hulu. Dengan bantuan gravitasi bumi, dari waduk ini air dialirkan melalui dua pipa pesat (penstock) dengan diameter sekitar 2 meter menuju turbin PLTA yang dipasang di Rumah Pembangkit (Power House).

    Untuk mencapai Waduk Gunung Bubut ini, dari Jalan Karacak kita bisa berjalan kaki menyusuri jalan kecil di sisi jalur pipa pesat. Kontur jalannya cenderung menanjak dan puncaknya kita akan melewati tanjakan terjal dengan sekitar 200 anak tanggga menuju waduk ini.

    Pertemuan Dua Sungai : Cianten dan Cikuluwung


    Sumber:









    Sorot

  • Senin, 06 April 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Setiap kali,
    kau telusuri sekujur tubuhku
    dari ubun-ubun hingga ujung sepatu
    dengan cara yang sama.
    Kau selalu telanjangi aku.

    Kukatakan bahwa aku mengagumimu.
    Tapi aku sadar
    bahwa tak juga satu yang kusuka darimu
    Entahlah.
    Terkadang aku memang terkecoh sendiri
    di mana letak kepribadianmu sesungguhnya,
    di matamu?
    atau di senyummu?

    Dewi Kartika T. Wati. Depok, 28 Maret 1988

    Taman Prasasti

  • Senin, 23 Maret 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Jakarta yang pernah disebut Batavia menyimpan sejarah kolonial Belanda. Peninggalan dari masa lalu itu tersebar di berbagai pelosok. Beberapa di antaranya sudah menjadi bagian dari cagar budaya. Sebut saja Museum Fatahilah, Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, Stasiun Beos, dan Taman Prasasti. 

    Beberapa museum itu sudah pernah diulas di sini. Kini giliran Museum Taman Prasasti. Pada tahun 1977 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan sebuah makam bernama Kebon Jahe Kober menjadi Museum Taman Prasasti.  Lokasinya di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat. Luasnya 1,2 ha. Tidak sebagaimana umumnya museum, maka museum ini merupakan museum terbuka yang menampilkan karya seni dari masa lampau. Di sana kita akan lihat nisan – nisan kuno dan artistik, termasuk kereta jenazah kuno.

    Makam Kebon Jahe Kober sendiri telah ada sejak masa kolonial Belanda, tepatnya tahun 1795. Ketika itu terjadi suatu wabah yang membuat banyak warga belanda di Batavia meninggal. Hal ini membuat kebutuhan lahan penguburan meningkat signifikan. Kebetulan saat itu kuburan warga Belanda di samping Gereja Baru (Nieuwe Hollandse Kerk, sekarang Museum Wayang) dianggap sudah terlalu padat.

    Hal ini membuat pemerintah Batavia mengadakan lahan pemakaman baru di wilayah Selatan Batavia, yang posisinya agak jauh keluar kota dan jauh dari kepadatan penduduk kala itu. Karena itulah, makam yang sekarang beralamat di Jalan Tanah Abang no. 1 ini akhirnya diresmikan.

    Dari segi tata kota, posisi Makam Kebon Jahe Kober amat strategis karena berada di tepi kali Krukut. Hal ini membuat lalu lintas pengangkutan jenazah beserta keluarga umumnya melalui kali Krukut.

    Uniknya bentuk artistik bangunan nisan kuno tersebut menginspirasi para seniman masa kini berkarya. Misalnya, pembuat video klip. Beberapa tahun yang lalu Marcell mengambil latar Taman Prasasti untuk pembuatan salah satu video klipnya. Lalu, demikian pula syuting video klip Ungu yang berjudul "Demi Waktu" dilakukan di sini. Selain itu, para fotografer, mengesyut model – model cantik yang pasang aksi di atas nisan (?). 

    Di museum ini dihimpun berbagai prasasti dari zaman Belanda dan sebelumnya serta makam beberapa tokoh Belanda, Inggris dan Indonesia atau Hindia Belanda seperti: 
    • A.V. Michiels (tokoh militer Belanda pada perang Buleleng)
    • Dr. H.F. Roll(Pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran pada zaman pendudukan Belanda)
    • J.H.R. Kohler(tokoh militer Belanda pada Perang Aceh)
    • Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles, mantan Gubernur Hindia Belanda dan Singapura)
    • Kapitan Jas, makamnya diyakini sebagian orang dapat memberikan kesuburan, keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan.
    • Miss Riboet tokoh opera pada tahun 1930-an
    • Soe Hok Gie aktivis pergerakan mahasiswa pada tahun 1960-an. Nisannya berbentuk kotak kecil dengan patung malaikat di atasnya. Tidak mencolok dibandingkan dengan nisan-nisan lainnya.(Q)







    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint