Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Momen 212

  • Senin, 31 Desember 2018
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Kumpulan Flyer Acara 212 Tahun 2018























    Bagai

  • Senin, 09 Juli 2018
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • oleh Lan Fang

    aku menantikanmu bagai tetes tirta di pasir,
    bagai kesunyataan hujan tanpa air, zikir tanpa akhir.

    aku mencintaimu bagai laut,
    bagai induk semua anak sungai, muara semua kabut.

    aku merindukanmu bagai pengembara cakrawala,
    : sedang kau bagaimana?

    9 Rubaiyat Langit dan Hujan

  • Senin, 11 Juni 2018
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Oleh Lan Fang


    (1)
    kau sedikit sekali kusimpan dalam kenangan.
    apakah cinta harus memiliki banyak ingatan?
    bukankah sebongkah awan
    sudah cukup mencucurkan hujan?


    (2)
    kita bersisian tak memberi sela untuk udara.
    “aku rindu jadi sengaja mimpi kuciptakan.
    kita di sana. tapi bila kau sendirian saja
    lihatlah, rintik hujan masih bertahan.”


    (3)
    rindu hujan tak terlihat di mana dasarnya,
    langit: “bila terlalu dalam nanti kau menangis,”
    diam-diam hujan menghimpun desis gerimis
    yang bergelayutan di ujung harum hio sua.


    (4)
    “tidakkah kau mencintaiku?” hujan
    tak berharap langit mengiyakan.
    hujan hanya ingin mencium pelupuknya
    ketika dipandang begitu mesra.


    (5)
    aku ingin memujamu seperti hujan.
    menurutmu, “jangan”
    hujan adalah tangis langit.
    tetap basah ketika kemarau yang sulit.


    (6)
    apakah yang paling penting bila hujan reda?
    sorak kanak-kanak bermain bola dan sepeda.
    tidak. pergilah ke pekarangan dan tengok saja
    hatiku dibasahi cinta. warnanya seperti apa?


    (7)
    aku tak menyukai langit karena bulan begitu jauh.
    aku mencintai bintang-bintang di mata yang teduh.
    “bagaimana kita menyeimbangkannya? aku bukan langit,”
    begitulah, bisikmu, “aku kabut di kaki bukit.”


    (8)
    tiba-tiba gelombang hujan mendesing.
    kata dan suara memburu ledakan cahaya.
    burung kecil berlomba dengan pesawat udara.
    aneh…, mereka sama sekali tidak bising.


    (9)
    “aku tulis 9 rubaiyat untukmu.” hampir usai,
    tetapi langit belum terang sehabis hujan.
    jika begitu langitkah? hujankah? oh, bukan.
    jangan sembilan! ini rubaiyat yang tak selesai.

    Tangis Belibis

  • Senin, 09 April 2018
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Oleh Lan Fang



    (1)

    teduh, suara subuh.
    sepi, bunyi tubuh.
    gerimis mendenting hening
    dan Kau begitu bening.


    (2)

    kepada kesepiankah kita berpulang?
    Atau kita ingin kesepian itu datang?

    di dalam kesepian, para malaikat menemani
    bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam. para
    malaikat berjubah tembus cahaya. para
    malaikat yang memberikan sepasang sayap ketika
    bocah-bocah itu menginginkannya. para
    malaikat yang memahkotai mereka
    dengan mawar tak berduri, mahkota yang tak melukai.

    “sekarang kami peri!” mereka melonjak-lonjak tak mau
    pergi dari waktu kanak-kanak di mana langit selalu jingga.
    apakah kita salah satu di antara mereka? tidak! kita hanya
    anak-anak bisu yang lahir dari malam berbatu.

    tiba-tiba sungai waktu berseru “lekas! kalian sudah
    menua,” daun-daun berkemas, kering lalu lepas.
    tetapi kau tak mengajakku bergegas.
    (sungguh tidak kusangka ternyata usia tidak berbau)

    kita pun terpasung pada palung terpanjang, tersepi.
    sssttt..., puisi sedang berbunga, di sini.

    (Ket. 1. bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)


    (3)

    aku ini malam

    tahukah kau kalau malam terbuat dari purnama
    bundar yang memudar? ada perempuan berdada
    asap yang menyerap pendar bintang. sepasang matanya
    yang berasap juga mengirimkan pesan,
    “mari bersulang di kaki rupang.”
    itulah pesan yang belum mampu kueja. tetapi ia
    tetap setia beranjali, bermudra, dan membakar dupa
    untuk menjerat sekerat cahaya.

    maka malam pun gelap, segelap aku. aku pun remuk,
    seremuk asap. asap yang masih setia bermoksa.


    (4)

    suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
    tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
    kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
    dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
    menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.

    azan Jogya dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
    handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
    kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
    aku gembira: “apakah kau bangun untuk Sesuatu?”

    rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
    tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
    Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
    suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
    teratai di ujung subuh. jangan lupa!


    (5)

    seorang musafir menyiarkan syair, “oh, Roh, betapa aku
    tersiksa puisi cinta. cinta yang terbakar bersamaMu.”

    ketika itu ada yang berteriak dan ada yang tersumbat,
    ada yang bergerak dan ada yang merambat, ada Badai
    Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi Cahaya, Cahaya di Atas
    Cahaya “aum mani padme hum.” ketika itu ada
    seekor belibis menangis.

    Sebuah Pagi

  • Senin, 12 Maret 2018
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Oleh Lan Fang

    pada sebuah pagi yang sumringah. burung-burung singgah
    mematuki bebijian seperti memetik putik-putik puitik,
    lalu mereka memeluk suluk untuk mewuwung suwung


    6 Sonet Bunga Tidur

  • Senin, 12 Februari 2018
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • oleh Lan Fang


    sudah berapa malam kau tak berkunjung. pasti kau sedang sibuk.
    maka, mataku tak bertabir gula. rupanya kau meneropong bintang.
    tolong, ambilkan satu saja untukku. biarkan yang lain, sayang.
    sebab di plafon, para tikus berpesta sampai gaduh. gludak gluduk.

    “kenapa tak menyukai mereka? maaf, bila tak berkenan,” kau selalu sopan.
    aku hanya cemas : apakah tikus-tikus bisa dijadikan sonet yang rupawan?
    mereka hanya kusir kereta labu Cinderella, pengerat kayu yang berisik sekali.
    di mana akan kau sematkan sebiji bintang itu? di rambut atau di jantung hati?

    telah kurangkai kembang setaman. sebab banyak rahasia yang kita simpan.
    semua hanya untukmu. sebab bertambah malam mata harus semakin awas.
    abrakadabra! ingin kumusnahkan kutuk itu agar kita tidak berbeda pikiran.
    kini jangan marah bila kutarik empat larik. kau nafas yang tak akan kulepas.

    sekarang aku (ingin) merebahi pundakmu. ciumlah mataku.
    kelopak dan bulumataku. kau akan menemukan banyak sonet di situ.

    Sangat Bukan

  • Senin, 08 Januari 2018
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Oleh Lan Fang


    apakah kau: angin yang melekat pada kaca pintu?
    sangat bukan,
    aku pintu, tempat syair menumpahkan ragu.

    kalau begitu apakah kau: keraguan yang dipanah rindu?
    sangat bukan,
    aku rindu yang melayari waktu demi waktu

    jadi apakah kau: waktu yang tersulut sumbu
    sangat bukan,
    aku sumbu bulan dari celah kelambu.
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint