Karya
Alpha Hambally
Di permukaan lambungmu yang cekung, aku
benamkan diri menerabas selaputnya untuk
mencari kepingan tubuhku: kulitku yang
berceceran di antara bakteri dan protein,
dagingku yang menempel dari satu zat dan
serabut urat serta hasrat yang tak pernah bisa
mencapai puncak yang menghapus jalan
kembali ke pangkalnya yang suram. (Tapi
bagaimana pun, aku memang telah doyong
kehabisan energi.) Kepingan itu pun tak
kunjung bersatu meskipun sebongkah wahyu
muncul membasuh bibirmu dan sisa noda
pertempuran yang tertinggal di gigimu. Kau
meremasku hingga pipih, melebihi daging
seekor cacing pita yang kau besarkan dengan
puting indukmu. Seluruh waktuku habis untuk
menjalin hubungan rahasia dengan sebutir
virus agar ia mengenalkanku pada arus air
senimu yang ternyata hanya memutar arahku
ke hulu hasratmu. Tapi aku tak pernah hanyut
hanya karena terseret lautan madu yang
umpah dari kelaminmu. Aku putus asa dan
berdoa agar jantungmu dipompa oleh asap
candu hingga paru-paru dan pencernaanmu
bisa kuajak tertawa. Karena setelah itu
taringmu akan masuk melalui pori-poriku,
mengelupas kulitku sampai lapis terdalam.
Kau kunyah dagingku dan memuntahkan
ampasnya ke dalam bau. Kau paksa aku
berjalan di sepanjang ususmu yang beringas
tanpa sehelai baju. Kau dorong sisa tubuhku
menuju lubang penghabisan bersama gas yang
senantiasa bersamaku, setelah aku mampu
bersemedi ketika ginjalmu bekerja untuk
mendengar doa-doa yang selama ini tak pernah
kau kabulkan, dan untuk mengirim pengakuan
ini kepada biji-biji yang kelak bernasib serupa,
meskipun tak ada gunanya.
2018
Alpha Hambally
Di permukaan lambungmu yang cekung, aku
benamkan diri menerabas selaputnya untuk
mencari kepingan tubuhku: kulitku yang
berceceran di antara bakteri dan protein,
dagingku yang menempel dari satu zat dan
serabut urat serta hasrat yang tak pernah bisa
mencapai puncak yang menghapus jalan
kembali ke pangkalnya yang suram. (Tapi
bagaimana pun, aku memang telah doyong
kehabisan energi.) Kepingan itu pun tak
kunjung bersatu meskipun sebongkah wahyu
muncul membasuh bibirmu dan sisa noda
pertempuran yang tertinggal di gigimu. Kau
meremasku hingga pipih, melebihi daging
seekor cacing pita yang kau besarkan dengan
puting indukmu. Seluruh waktuku habis untuk
menjalin hubungan rahasia dengan sebutir
virus agar ia mengenalkanku pada arus air
senimu yang ternyata hanya memutar arahku
ke hulu hasratmu. Tapi aku tak pernah hanyut
hanya karena terseret lautan madu yang
umpah dari kelaminmu. Aku putus asa dan
berdoa agar jantungmu dipompa oleh asap
candu hingga paru-paru dan pencernaanmu
bisa kuajak tertawa. Karena setelah itu
taringmu akan masuk melalui pori-poriku,
mengelupas kulitku sampai lapis terdalam.
Kau kunyah dagingku dan memuntahkan
ampasnya ke dalam bau. Kau paksa aku
berjalan di sepanjang ususmu yang beringas
tanpa sehelai baju. Kau dorong sisa tubuhku
menuju lubang penghabisan bersama gas yang
senantiasa bersamaku, setelah aku mampu
bersemedi ketika ginjalmu bekerja untuk
mendengar doa-doa yang selama ini tak pernah
kau kabulkan, dan untuk mengirim pengakuan
ini kepada biji-biji yang kelak bernasib serupa,
meskipun tak ada gunanya.
2018