Setitik cahaya di ujung lorong pada awalnya. Tampak berkilauan dan menari - nari. Selama lima jam berikutnya cahaya itu semakin membesar. Pertama tercengang, kemudian tergoda. Terbesit hasrat ingin melihat karena sekilas pukas ia terlihat cantik. Tak sabar. Tetapi, bagaimana ini? Aku masih tersangkut. Di sini sempit dan aku masih bergelut cari jalan keluar. Masihkah ia di sana saat aku datang? ... Kemudian sesuatu terjadi. Jalanku melicin,dan tahu - tahu aku sudah merosot, terlepas, dan sepasang tangan menampungku. HUP!
Aku terjatuh ke dalam tangan yang hangat. Tangan yang sejuta kali lebih besar dari tanganku ini menyentuh tubuhku di mana - mana. Sungguh mengherankan merasakan kecekatan tangannya. Kalau saja waktu itu sudah kupahami konsep kesopanan, maka detik itu juga amarahku sudah melonjak karena ia juga sudah berani menepuk pantatku.
Tapi wanita itu menepuk dengan lembut, dan sensasi damai timbul mengalir ke seluruh pancainderaku. Ada udara murni menyerbu masuk ke dalam hidung, mengisi otakku, menuju kerongkongan, menyebar ke paru - paru, lalu menyatu ke dalam pembuluh darah. Setelah sedikit tenang, kusadari bahwa aku berada dalam naungan cahaya pudar kuning keemasan. Cahaya itu tidak lagi menari - nari, tapi hanya bersinar ramah. Cahaya, niatku hendak menyapa seolah sudah lama berkenalan dengannya . Namun, segalanya yang terjadi barusan itu datangnya bertubi - tubi sehingga perasaan riang dan bingung bercampur aduk tak keruan. Satu - satunya ekspresi yang kutahu dan bisa kutumpahkan adalah dengan cara menjerit - jerit di tengah ruangan. Keras sekali.
Mereka tertawa.
Lalu, lagi - lagi wanita itu, dia baik sekali merengkuhku (hati - hati); memindahkanku ke sebuah meja; membersihkan badanku yang lengket; membasuh dengan air hangat dan membungkusku dengan perca. Ia menyerahkanku pada wanita muda itu.
Wajah wanita muda itu letih dan tanpa riasan. Sekilas terlihat jelek. Berantakan sekali. Namun saat mendekatinya seperti ada tarikan kuat yang tak kumengerti. Aku ditempelkan ke dadanya, dipasrahkannya ku ke dalam pelukannya. Secara otomatis mulailah kumenyusu. Nyaman. Reda pula tangisku. Aku jadi teringat ketenangan dalam rahimnya beberapa jam yang lalu. Kami mulai saling berpandangan. Kuterpesona pada wajah yang menyiratkan rasa bahagia itu. Senyum sederhananya senantiasa mengembang dan matanya berbinar - binar. Kubiarkan jarinya menyelinap dalam genggaman tanganku. Aku suka padanya.
Kupikir bagus sekali bila momen kami ini diabadikan dalam foto - foto hitam - putih, atau yang berwarna sekalian. Meskipun yang mana pun sepertinya sama saja, tapi pilihanku condong pada yang dicuci berwarna, biar lebih mahal, tapi terlihat nyata. Aku tak keberatan dipotret bugil, mungil, ompong, atau dalam keadaan tak dibebat selembar kain pun. Suatu saat kelak - bila mereka mau sabar menungguku hingga aku sudah lebih dewasa sedikit - aku juga pasti telah serta merta lebih siap bergaya dan tampak molek dalam baju kodok keluaran mutakhir.
Apa saja, aku mau kok, tapi sayangnya tak ada pria berkodak di ruang itu. Tak ada pria satu pun! Keterlaluan! Padahal katanya di tahun 70an, para pria mulai terlibat dalam persalinan istri - istri mereka. Mereka tidak lagi menunggu resah di luar ruang kebidanan, tapi terlibat dalam proses melahirkan, meskipun mungkin partisipasi mereka sebatas menggenggam tangan istri yang sedang mengejan kesakitan.
Yah, sepertinya kelahiranku tidak dinantikan segegap gempita manakala si sulung lahir.
Dengan berjalannya waktu, hal itu sudah kulupakan. Dalam masa - masa balita ibu mengalihkan perhatianku pada banyak hal. Yang kerap terpatri adalah ketika ibu mengenalkanku pada cahaya, sumber cahaya : matahari, senter, petromaks, lampu, lampu lilin, dan seterusnya.
Saat sistem sensor motorik, afeksi, dan kognitifku mulai bekerja baik, barulah kusadari sumber cahaya yang pandai menari itu bernama bohlam. Ternyata bohlam itu adalah lampu yang sama yang kami pakai di setiap ruang di rumah kami yang dulu, meski dengan daya yang berbeda, tahun 80an. Cahaya yang sama. Ia bersinar saat gelap. Menemaniku menggambar dalam jarak 30 cm. Membiarkanku membaca dalam terangnya.
Memasuki tahun 90an, kami tak pakai bohlam lagi. Sudah diganti dengan lampu yang hemat energi, lebih terang, tapi lebih murah. Dan di masa itulah, suatu saat di Orde Presiden Soeharto masih sedikit lagi berjaya, kutemukan sebuah diari tua. Lembarannya memang sudah berwarna coklat, tapi kualitas kertas nomor wahid sehingga tidak lapuk atau pun rapuh. Tak ada yang berarti dalam diari itu. Lajur - lajur yang menandakan hari dan tanggal dalam 12 bulan itu dibiarkan 85% kosong. Tiap pergantian bulan dibatasi dengan gambar - gambar menarik negri India. Tapi momen seolah - olah berhenti pada suatu waktu.
Pada lajur Friday, tanggal itu, tertera dua baris tulisan ringkas. Tulisan sambung miring ke kanan dengan tinta hitam. Aku terpekur. Selamanya takkan kumiliki dokumentasi foto kelahiran, tapi rupanya bapak telah mencatat sebuah nama dan angka - angka 13.25 dalam diari bersampul India74.
:)
Daftar Isi 2019
Arsip
-
▼
2011
(26)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (4)
- Agustus (2)
- September (4)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (3)
-
►
2012
(32)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (3)
- Agustus (2)
- September (3)
- Oktober (3)
- November (1)
- Desember (3)
-
►
2013
(28)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (2)
- Juni (3)
- Juli (1)
- Agustus (2)
- September (1)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2014
(23)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (2)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (2)
- Agustus (3)
- September (2)
- Oktober (2)
- November (1)
- Desember (1)
-
►
2015
(26)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (1)
- Oktober (2)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2016
(14)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (1)
- April (1)
- Mei (1)
- Juni (1)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (2)
- Oktober (1)
- November (1)
- Desember (1)