Rumah
Rumahmu adalah sorgamu bagaimanapun buruknya gubuk – gubuk dan tenda
plastik yang engkau bangun di bawah jembatan atau gedung megah
kerajaan baru yang didirikan untuk istrimu, anak – anakmu, sanak – keluarga
yang menumpang kenikmatan di dunia.
Bila lidah kecut dan wajah masam antara sesama, meskipun itu anak – anakmu
biarkan mereka pergi mengembara, sebelum mengetahui arti rumah bagi
tumpangan segala yang damai dan suka ria.
Neraka itu jangan dibungkus dalam kantong plastik sebagai bekal memasuki
rumah, buanglah dikotak – kotak sampah dalam perjalanan, sebelum ada yang
mengetuk pintu membangunkan ketentraman.
Rumah adalah benteng atau gua batu tempat bertahan bagi musuh
yang kau bangun dalam khayalmu sendiri atau warisan sejarah buruk yang diwariskan
moyangmu dulu sebelum mengenal peradaban.
Rumahmu bukanlah pusat segala kegiatan mengasah ketajaman pedang
dan menyusun kamus keganasan menabung kecemasan dan kekecewaan.
Mengharamkan senda – gurau dan taklid kepada kepongahan.
Rumahmu adalah sorgamu, bentangan sajadah penghuninya, para
pendiri bangunan ibadah. Yang di dalamnya, dan seluruh rumah dekat
dengan ALLAH!
Slamet Sukirnanto, 1993
Bangunan Sekolah
setiap pagi minggu
anakanakku mengajak ke bangunan sekolahnya
yang baru dibangun
dengan sorot matamentari membias wajahwajah
patria
mereka berharap cepat selesai agar dapat belajar
untuk menyongsong masadepan
aku sangat bangga ketika mereka menyatakan
betapa besar cinta mereka terhadap negeri ini
tapi di balik itu aku bagai disayat sembilu
konstruksi bangunan, penyediaan sarana dan prasarana sekolah ini
apakah dapat mewujudkan citacita mereka
karena biaya pendidikan teramat mahal
dan pelaku pendidikan masih mencaricari sistem
anakanakku masih menatap bangunan sekolahnya
dengan matamentari dan wajahwajahpatria
Arsyad Indradi, Banjarbaru,1979
Kelima Anakku
Yang
tertua bernama Harun kelahiran September 1999. Bermain bola jadi hobinya. Dia
sering lupa waktu bila sudah bermain. Kalau jadwal belajarnya tak diawasi
dengan ketat, alamat nilai rapornya terancam kebakaran, padahal peringkatnya di
kelas sudah masuk sepuluh besar. Bila diberi dorongan ekstra, juara satu pasti
bisa diraih!
Di
tahun yang sama selang delapan hari kelahiran Harun, Aditya hadir ke muka
bumi. Bayi – bayi yang lahir seperti tak ada bedanya: mungil, botak, telanjang,
dan menjerit – jerit. Tapi menjelang usianya yang ketiga belas tahun ini penampilan
anakku berubah drastis. Potongan rambutnya ABC (ABRI Bukan Cepak iya). Terlihat
“gaul”. Di dalam kelas anakku ini selalu jadi penyemarak kami dan caper (cari
perhatian). Tapi bila kufokuskan materi untuknya, tiba – tiba dia malah hilang arah. Ah,
andai saja ia tahu kasih sayangku selalu coba kubagi seadil – adilnya, yang
diperlukannya sebenarnya hanya belajar, konsentrasi dan bersabar.
Anak
perempuanku satu – satunya bernama Dina. Lahir di musim hujan November 1999. Suaranya
jernih bagai suara penyiar yang sedang bicara melalui corong suara. Dipoles
sedikit, mungkin benar anak gadisku kelak akan jadi penyiar radio. Aku tak
mengkhawatirkan tekad belajarnya. Dia sudah les ini dan itu sehabis pulang
sekolah. Uji kompetensi berkala yang kuberi kerap menempatkannya di nomor satu
sebagai peraih nilai tertinggi.
Satu
– satunya pesaing berasal dari Yudis. Hitam matanya terlihat besar dan
cemerlang. Rambutnya bagai bulu landak yang dipangkas rapi. Bicaranya lugas selayaknya anak – anak. Dia juga anak
yang sibuk. Pada hari – hari tertentu tak berapa lama sehabis pulang sekolah
anakku yang lahir di penghujung tahun 1999 ini sudah harus mengikuti TPA,
kegiatan bela diri Thifan, atau mengerjakan PR yang seabrek – abrek dari guru –
gurunya di sekolah.
Albi,
anak bungsuku yang pemalu lahir Januari 2000. Kami punya kegemaran yang sama
yakni bersepeda. Jam terbang bersepedanya sudah banyak karena ia sering memakai waktu
luangnya dengan bersepeda ke mana – mana bersama teman – temannya. Anak sekecil
itu sudah bersepeda ke tempat – tempat yang masih kurencanakan untuk kapan –
kapan. Kendati begitu, senang sekali lihat perkembangan tingkat kepercayaan
dirinya dan perhatiannya pada pelajaran meningkat. Tapi bahkan, Rasulullah pun
mengingatkan belajar hingga ke liang lahat! Mudah – mudahan semangat belajar
tak mengendur sehabis ujian.
Jarak usia
kelima anakku tak berbeda jauh, tapi aku tak serajin itu melahirkan. Ibarat
sebuah sulap, mereka tiba – tiba sudah hadir dalam kehidupanku, di dalam sebuah kelas kecil yang kami
asuh. Hari ini mereka menghadapi Ujian Nasional yang diselenggarakan serentak
di seluruh tanah air. Sampai hari Rabu kemampuan akademis mereka diuji. Aku mungkin
ibu yang tak mereka bayangkan, guru yang akan segera dilupa, tapi aku mendoakan
kesuksesan mereka. Selamat berjuang, Nak! Siap tempur ya?
Bismillahirrahmanirrahim.
Langganan:
Postingan (Atom)
Langganan:
Postingan (Atom)
:)
Daftar Isi 2019
Arsip
-
►
2011
(26)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (4)
- Agustus (2)
- September (4)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (3)
-
▼
2012
(32)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (3)
- Agustus (2)
- September (3)
- Oktober (3)
- November (1)
- Desember (3)
-
►
2013
(28)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (2)
- Juni (3)
- Juli (1)
- Agustus (2)
- September (1)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2014
(23)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (2)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (2)
- Agustus (3)
- September (2)
- Oktober (2)
- November (1)
- Desember (1)
-
►
2015
(26)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (1)
- Oktober (2)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2016
(14)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (1)
- April (1)
- Mei (1)
- Juni (1)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (2)
- Oktober (1)
- November (1)
- Desember (1)