Ini tulisan yang entah mengapa tadinya sulit sekali diceritakan. Tentang suatu undangan yang inginnya ditolak. Tentang penyakit muntaber yang memalukan sekali untuk diakui karena ada anggapan penyakit ini cuma diidap kalangan bawah yang tidak tahu kebersihan, dan tentang jus apel yang mencurigakan.
Hari itu undangannya cuma makan – makan. Keinginan menampik itu bukan berdasarkan kondisi yang baru pulih semata, tapi lebih berat pada soal sesuatu yang lain yang mengganjal. Bagaimanapun telah diputuskan untuk berangkat ke tempat dan waktu yang sudah ditetapkan itu.
Kami tinggal datang, duduk, makan dan bercakap – cakap. Suguhan makanan terdiri dari makanan Indonesia populer dan makanan Barat yang bisa saja tersaji sebagai umpan tekak, makanan inti, dan pencuci mulut. Namun, makanan – makanan itu dihamparkan di meja bagai dagangan di lapak – lapak kaki lima, jadi kami bisa langsung menyantap tanpa mengikuti tata krama di meja makan secara formal.
Seorang undangan membawa kue kering dan sebotol jus apel. Biasanya perlakuan khusus kuterapkan bila makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam bentuk kemasan. Kendati tulisan di pembungkus makanan dan minuman itu kecil – kecil, tetapi tetap harus diperhatikan lekat – lekat. Karena ada beberapa informasi yang harus diterapkan.
Pertama, Sertifikasi MUI. Menjadi seorang muslim artinya mengikuti Al Qu’ran dan sunnah rasul. Dalam hal makanan dan minuman ada aturan tersendiri. Oleh sebab itu, lambang sertifikasi halal pada suatu produk jadi penting. Sertifikasi halal dikeluarkan oleh LPPOM-MUI . Lembaga inilah yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Bentuknya lambang itu bulat kecil dengan warna tulisan hijau atau hitam, dengan latar belakang putih.
Kedua, tentang kadaluarsa. Pihak perusahaan biasanya mencantumkan tanggal kadaluarsa pada salah satu bagian kemasan makanan yang mereka jual. Semakin jauh tanggal kadaluarsa makanan dan minuman itu berarti produk itu masih tergolong baru dibuat. Jika produk tersebut dikonsumsi setelah masa berlakunya jelas bakal membahayakan kesehatan.
Ketiga, bahkan minuman kaleng harus sampai di rumah terlebih dahulu. Tubuh kaleng – kaleng minuman dibersihkan. Tujuannya untuk mengangkat kotoran yang menempel dan mematikan kuman Leptosirosis. Pernahkah Anda mendengar seseorang mati gara – gara mengkonsumsi minuman kaleng karena kemasan minuman itu terkontaminasi air kencing tikus? Waktu banjir bandang melanda Jakarta tahun 2002, wabah melanda. Korban berjatuhan. Salah satu penyebabnya adalah kuman air kencing tikus itu.
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.
Berita itu langsung memola di kepala. Ada tata cara minum yang harus diubah. Tak peduli dimana selesai berbelanja : di supermarket, minimarket atau di pasar tradisionalkah? Minuman kaleng itu tidak boleh langsung diteguk. Kaleng minuman itu dicuci terlebih dahulu, lalu dibilas dengan air hangat. Kebiasaan itu kemudian diberlakukan pula pada botol : saus, kecap, dan sirup. Hal ini sudah berlangsung bertahun – tahun.
Keempat, bila pada kemasan terdapat tulisan asing yang tidak dapat dibaca, maka keinginan menikmati makanan atau minuman itu mesti dikekang.
Tapi pada hari itu batasan – batasan tersebut diaplikasikan secukupnya. Makanan dan minuman disantap seolah tak ada habisnya. Apalagi sambil menunggu undangan lain yang belum datang, maka tutup toples kerap dibuka dan dirogoh kuenya terus – menerus. Awalnya perilaku demikian tidak berefek pada kondisi fisik yang tengah membaik. Tetapi selang dua jam, yang kuinginkan adalah berada di rumah dan berbaring saja.
Keinginan itu terpaksa ditahan sendiri sebab satu persatu yang lain malah bermunculan sambil membawa makanan sebagai “teman” mengobrol kami. Meja saji pun semakin berlimpah dengan makanan. Begitu tamu terakhir datang tiba – tiba suasana berubah. Mereka bicara seolah dunia milik “kita”. Seketika itu juga aku seperti sedang menonton ruang sidang John Grisham. Pada waktu para juri masuk ke ruangan dan tak seorang pun melihat, melirik, atau pun memandang si terdakwa. Karena dibalik secarik kertas yang diserahkan pada hakim, sudah tertulis kata “bersalah”. Aku hanya menduga … . Perutku terasa mual.
Aku pulang setelah empat jam di sana, tak menikmati apapun! Kekenyangan dan kesakitan. Pukul dua dini hari pada hari berikutnya semua makanan yang lezat – lezat itu termuntahkan. Terkuras habis dari perut. Tepat pada saat obat pemberian dokter sudah habis. Tak ada penolongku, jadi aku berusaha tidur untuk melupakan tubuhku yang melemas.
*
Nah, kemudian datanglah suatu hari yang membuatku tak habis pikir. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, aku tersangkut di situs - situs yang menjelaskan tentang apel. Pada suatu bagian dijelaskan “Di Amerika dan Kanada, cider atau sweet cider merupakan istilah untuk jus apel yang tidak difermentasi, sedangkan jus apel yang difermentasi disebut hard cider. Di Inggris, istilah cider selalu digunakan untuk minuman beralkohol. Akan tetapi di Australia, istilah cider dapat digunakan baik untuk produk beralkohol ataupun tidak.”
Di negara Amerika, Kanada, Inggris, dan Australia jus apel diolah secara massal dan serius sebagai komoditi dengan penamaan yang berbeda. Jus apel rumahan yang berlaku di tempat tinggalku adalah potongan apel, dicampur air dan gula, lalu diblender. Di toko – toko besar minuman jus apel kotak adalah minuman beraroma apel. Rasa jus apel yang kebanyakan beredar di Indonesia berbeda dengan jus apel yang dibawa seorang undangan itu: beraroma apel dengan sedikit bersoda mungkin karena hasil fermentasi. Padahal seorang tamu sudah menolak meneguk minuman itu karena khawatir kehalalannya. Tapi dengan berdalih “non alchohol”, sebagaimana yang tercantum di botol, aku meminum jus apel yang dicampur es batu hingga beberapa gelas.
Membaca hasil jelajahan itu, aku langsung tercenung. Mengingati bahwa selain tulisan “non alchohol”, di botol itu juga terdapat tulisan dalam bahasa Indonesia bahwa produk itu impor Australia! … Bilakah minuman itu beralkohol? Hmm, aku hanya bisa menduga.
Tak jadi kusesali kemuntahan dan kehadiranku di antara mereka tempo hari. Bila kandungan dalam minuman itu haram, maka Tuhanku telah “menyelamatkanku”. Tak ada zat haram mengendap di tubuh. Kemuntahan itu malah jadi penanda kesembuhan. Karena ketika matahari bersinar, tubuh terasa fit dan aktivitas pun berjalan seperti biasa. Yah, mungkin takkan lagi ada pertolongan seperti itu, jadi toleransi harus dimaknai lebih ketat.