Bagian depan landhuis |
Tujuan Napak Tilas X yang diselenggarakan Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya, Bogor kali ini menautkan pikiran saya pada dua hal : (1) Gedung Juang, Bekasi dan (2) Pans Schomper.
Napak Tilas X
Hari/Tanggal : Minggu, 23 Juni 2013Napak Tilas X
Pukul : 09.30 - 13.00
Start/Kumpul : Halaman Landhuis IPB Dramaga Jl. Tanjung No. 4
Narasumber : Antoni Holle (kerabat keluarga van Motman),
Hendra M Astari (Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya), &
Inotji Hajatullah (Sejarawan Kota Bogor)
HTM : Rp15.000/orang
Transportasi
Commuter line membawa saya ke Bogor tepat pukul 06.30 WIB dari Stasiun Cawang. Saya duduk di sofa pink di gerbong pertama yang khusus disiapkan untuk para wanita dan anak - anak. Lima puluh menit kemudian sampailah saya di Bogor. Masih banyak waktu sebelum acara dimulai jadi saya bisa santai menyantap sarapan kedua dan menengok jembatan merah. Setelah itu pilih Angkutan 02 jurusan Bubulak disambung Angkutan jurusan Ciampea (Angkutan jurusan Kampus Dalam) turun di IPB Darmaga.
Commuter line membawa saya ke Bogor tepat pukul 06.30 WIB dari Stasiun Cawang. Saya duduk di sofa pink di gerbong pertama yang khusus disiapkan untuk para wanita dan anak - anak. Lima puluh menit kemudian sampailah saya di Bogor. Masih banyak waktu sebelum acara dimulai jadi saya bisa santai menyantap sarapan kedua dan menengok jembatan merah. Setelah itu pilih Angkutan 02 jurusan Bubulak disambung Angkutan jurusan Ciampea (Angkutan jurusan Kampus Dalam) turun di IPB Darmaga.
Lokasi Landhuis berada di dalam kampus IPB. Berkat teman yang sudah menunggu di Halte BNI jadilah kami beramai – ramai jalan kaki ke sana. Jarak dari jalan masuk menuju landhuis ternyata cukup jauh, tapi kerindangan pepohonan kampus IPB dan keriuhan ibu – ibu yang lama tak bertemu seakan menyingkat jarak.
Pulangnya tak lagi diantar commline, tapi saya pilih salah satu bus di Terminal Baranangsiang. Cuma dalam waktu sembilan puluh menit – meski sempat tersendat kemacetan – saya sudah berada di rumah lagi.
Wisma Tamu Landhuis
Landhuis yang menjadi tujuan kami penampilannya seperti rumah modern masa kini. Di taman terdapat slavenbel. Bagian dalam : berlantai kayu dengan langit – langit bergypsum, berpendingin ruangan sekaligus memiliki pemanas air, dan sederet perlengkapan canggih lainnya. Memang karena diperuntukkan untuk “bisnis”, landhuis difasilitasi sarana dan prasarana yang memadai oleh pihak IPB. Tempat itu menyediakan 7 kamar dan di antara terdapat 2 kamar besar berukuran 6 x 6 m2 dan 5 kamar single berukuran 4 x 5 m2.
Bagi yang ingin menyewa, tarifnya bervariasi. Untuk tipe kamar 1,2,dan 5 dihargai Rp250.000; Kamar 3 dan 4, Rp200.000; dan Kamar 6 dan 7, Rp175.000. Peminat harus booking jauh hari sebelumnya karena Wisma Tamu IPB Landhuis ini tetap diutamakan untuk kepentingan civitas IPB. Konon harga ini akan berubah dalam waktu dekat. Yang berminat bisa kontak : 0251-8420590 / 0251-8621478 / 0251-8621559.
Landhuis menautkan pikiran saya pada sebuah bangunan tua berlantai dua yang masih nampak kokoh dan megah di Jl. Diponegoro, Tambun, Bekasi. Rumah itu peninggalan seorang tuan tanah Kow Tjing Kie yang didirikan pada tahun 1910. Kini bangunan itu berubah fungsi menjadi kantor pemadam kebakaran serta kantor sekretariat dan tempat latihan bela diri Tae Kwon Do. Pada masa kemerdekaan Gedung Juang 1945 ini dijadikan markas pejuang Indonesia.
Rasanya sangat menarik mencerna bagaimana bangunan – bangunan itu mengarungi waktu dan mengikuti keadaan pada jamannya. Kedua bangunan itu memiliki historinya masing – masing. Landhuis memiliki nilai lebih tidak saja karena presiden pertama RI beberapa kali menyambangi tempat tersebut, tapi juga karena merekam sejarah Van Motman.
Beberapa sudut lain landhuis |
Warisan Keluarga van Motman
Dalam http://napaktilasbogor.blogspot.com/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html#!/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html diperikan bahwa orang yang membangun landhuis adalah Gerrit Willem Casimir van Motman (1773-1821), seorang tuan tanah Dramaga yang pertama. Gerrit Willem dilahirkan di Genneperhuis, Belanda, datang ke Hindia Belanda taun 1789. Dia membuka usaha di bidang yang sedang naik daun waktu itu, yaitu perkebunan tebu dan kopi. Sekitar tahun 1811 Menir Motman ini sudah jadi tuan tanah di Dramaga dan Jasinga.
Gerrit Willem tidak lama menempati landhuis, dia meninggal tahun 1821. Lahan di Jasinga diserahkan kepada anaknya yang pertama, sedangkan perkebunan Dramaga diurus oleh anaknya yang kedua, yaitu Jacob Gerrit Theodorus van Motman (1816-1890), sekaligus sebagai tuan tanah Dramaga yang kedua. Oleh penerusnya ini, komoditi yang diusahakan ditambah dengan karet, teh, dan sereh wangi.
Selanjutnya Peter Reinier van Motman (1836-1911) yang menjadi tuan tanah ketiga, diteruskan oleh Alphonse Constant Henri van Motman (1883-1935) sebagai tuan tanah keempat. Tuan tanah kelima, sekaligus menjadi tuan tanah pamungkas dijabat oleh Pieter Reinier van Motman sampai tahun 1958. Tuan tanah terakhir ini kebetulan namanya sama dengan tuan tanah ketiga yang tiada lain adalah kakeknya sendiri.
Tahun 1958, semua orang Belanda yang tinggal di Indonesia beserta keluarganya diminta untuk segera meninggalkan Indonesia, termasuk keluarga Motman di Dramaga ini. Keluarga Motman pulang ke Negeri Belanda dengan meninggalkan harta benda mereka. Aset mereka disita pemerintah RI lalu diteruskan pengelolaan diserahkan kepada Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang IPB).
Bagaimana keadaan Dramaga pada jaman kolonial saya dapatkan terurai di http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/24/dramaga-dan-keluarga-van-motman-424815.html bahwa seorang Belanda bernama Cateau van Kerkhoven - salah satu trio tuan tanah di Jawa Barat selain Bosca dan van Motman - menggambarkan keindahan Groot Dramaga dalam suratnya kepada anak-anaknya di Belanda, “Rumah Dramaga ini indah, semua marmer putih dan dinding putih, teras depan memiliki pemandangan indah dan keseluruhan terasa menghibur. Ada sebuah kolam renang besar di mana air mengalir dengan curah air yang besar dan di sisi lain dibuang melalui sebuah lubang.“
Seorang cucu van Motman pernah menulis surat kepada saudaranya menggambarkan tentang kecantikan Groot Dramaga, Aku bisa menggambar denah keseluruhan dan arsitektur Dramaga (dengan memakai) penutup mata. Aku ingat setiap kamar dengan baik, dan setiap pohon di taman, boengoer dekat lonceng besar, pohon doekoe, rempah-rempah, semak, pala, pakis yang indah dan begonia di pot bunga, kuda-kuda dan kereta. Kuda belang-belang selalu membuat saya kagum dan empat kuda poni melesat begitu cepat sepanjang jalan ….”
Dramaga dahulu terkenal dengan sebutan Liberia-koffie-aanplantingen atau Perkebunan Kopi Liberia. Awal mula tanaman yang ditanam setelah GWC menjadi tuan tanah adalah kopi. Karena tidak menguntungkan maka ditanam gula lalu beralih ke tanaman teh. Walaupun reputasi teh sangat baik namun produksi hancur gara-gara terjangkit wabah lalat hitam, lalu akhirnya terakhir di Dramaga ditanamlah pohon karet.
Dramaga yang saya lihat tak beda dengan kota – kota besar di Pulau Jawa, setidaknya. Jalanan beraspal dilalulintasi kendaraan – kendaraan bermotor. Memang tak ada kebun kopi, gula atau karet sepanjang mata memandang, tapi taman nan asri terlihat di gerbang IPB. Seorang ibu, ibunda seorang teman yang bernama "Iswanti Aja Deh" menuturkan sekilas tentang masa kecilnya sekitar tahun 50an, jelasnya, kampus IPB adalah sebuah hutan karet yang luas. Ia bahkan bermain ke landhuis dan masih melihat bule – bule mendiami tempat itu. Tapi jaman berganti dan semua berubah.
Sebagian peserta Napak Tilas X |
Tur Keliling Rumah
Di landhuis kami dipandu oleh Antonie Holle. Dari silsilah keluarga van Motman, Antoni Holle berasal dari generasi Tag A (Willem Reinier van Motman). GWC van Motman sebenarnya memiliki 13 anak, namun yang hidup hanya 5. Dari kelima anak itu akhinya dibentuk 5 takken atau 5 cabang, yaitu cabang A, B, C, D dan E. Silsilah leluhur Antoni Holle dari van Motman adalah berasal dari cabang A. Nama Antonie Holle sendiri tidak menunjukkan bahwa ia adalah keturunan van Motman. Nama belakangnya diambil dari nama opah buyutnya yang bernama Karel Frederik Holle, orang Belanda yang memiliki perkebunan di Garut yang hidup pada 1829 hingga 1896. K.F. Holle sangat berminat pada bahasa dan kesusastraan Sunda. Maka tidak heran bila K.F. Holle meninggalkan banyak karya sastra berbahasa Sunda. (http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/24/dramaga-dan-keluarga-van-motman-424815.html)
Antonie Holle mengingatkan saya pada Pan Schomper. Orang Belanda ini tak ada kaitannya sama sekali dengan landhuis atau bahkan pertalian dengan dinasti van Motman. Saya hanya pernah membaca memoar Pan Schomper sekitar 12 tahunan yang lalu. Kalau tak salah judul buku itu, Selamat Tinggal Hindia, Janjinya Pedagang Telur. Baik Antonie Holle dan Pan Schomper memiliki perhatian pada tempat milik keluarganya. Salah satu perbedaannya, Pan Schomper menjalani langsung kehidupan di tempat itu (sekarang Museum Gedung Joeang Jl. Menteng Raya, Kebun Sirih, Jakarta), sementara Antonie Holle hidup di jaman yang sama sekali berbeda. Ada banyak orang yang menaruh perhatian pada sejarah dan kebudayaan Indonesia di masa lalu. Demikian pula dengan pria ini, meskipun bukan pewaris landhuis tapi tersirat bagaimana ia menghargai leluhurnya dengan menggali kekayaan landhuis yang terserak dan melestarikannya.
Landhuis boleh jadi milik pemerintah Indonesia, tapi saya mendapat kehormatan karena seperti sedang dipandu tuan rumahnya sendiri. Kedengarannya mungkin janggal dan menggelikan, 'tur keliling rumah'. Di luar negri, macam Kanada, tamu dihormati dengan dijamu keliling rumah. Tur macam begini memang berlaku untuk rumah besar. Hampir di setiap sudut landhuis Antonie Holle menerangkan sejarahnya pada kami. Rumah itu memang besar dan terlalu besar untuk digali sejarahnya dalam waktu sekitar satu setengah jam. Di sela - sela acara, kadang – kadang saya pikir betapa baiknya ia memuliakan tamunya (padahal beberapa orang di antaranya ehem, maksudnya orang awam macam saya) dianggap berpengetahuan sama dengan para sejarawan gaek dan mumpuni yang turut dalam acara itu. Saya sampai malu hendak bertanya apa karena tersesat dalam diskusi. Tapi jadinya, saya penasaran bagaimana duduk perkara landhuis ini. Lumayan juga pengetahuan saya jadi bertambah, bertambah, dan bertambah lagi apalagi karena melakukan riset kecil di internet. (Q)
Daftar Pustaka:
http://napaktilasbogor.blogspot.com/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html#!/2010/04/langhuis-dramaga-peninggalan-tuan-tanah.html
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/24/dramaga-dan-keluarga-van-motman-424815.html