Saya membayang apa yang ada di benak pemilik sebuah foto dengan perkataan Seno Gumiro Ajidarma yang suatu ketika memotret beberapa objek di Jepang dan dituangkan dalam tulisan “Memotret Jepang”, “… , kenapa saya memotret?” urai budayawan itu memulai argumennya mengapa ia memotret objek yang ‘tidak – tidak’ di sana, “Pasti bukan karena saya ingin membuat foto yang bagus, apalagi yang bagus seperti pendapat semua orang. Lagi pula kata bagus ini sulit saya pertanggungjawabkan. Saya memotret sesuatu karena saya tertarik kepada apa yang saya potret. Jadi, foto itu tidak mempresentasikan obyeknya, melainkan subyeknya, yakni pandangan saya. Sebuah foto merepresentasikan kembali pandangan saya. Fotografi adalah mata yang memandang."
Saya tertarik pada sebuah foto. Dari sekian banyak foto yang dipajang seorang teman, akhirnya saya menekuri pada yang satu itu. Foto yang saya maksud adalah salah satu dari beberapa foto dengan tema yang berbeda – beda. Melihat foto itu secara obyektif, yah, apa mau dikata, biasa - biasa saja. Tebakan paling jitu, objek itu pasti diambil dengan kamera telepon selular. Harap maklum, tebak - tebak buah manggis.
Seperti apa deskripsinya memang takkan saya ceritakan secara terperinci, apalagi menampilkan foto itu. Sengaja saya sensor. Karena bukan niat saya hendak mempermalukannya, justru sebenarnya sebaliknya dan hendak menjaga "privasinya". Jadi bersabarlah untuk mendengar penjelasan saya.
Seperti apa deskripsinya memang takkan saya ceritakan secara terperinci, apalagi menampilkan foto itu. Sengaja saya sensor. Karena bukan niat saya hendak mempermalukannya, justru sebenarnya sebaliknya dan hendak menjaga "privasinya". Jadi bersabarlah untuk mendengar penjelasan saya.
Mengapa foto itu dipampang? tanya saya dalam hati. Cukup lama saya menatapnya. Saya tak tahu mengapa mata saya terpikat pada foto yang sesungguhnya tidak eye catch itu. Foto itu adalah gambar dua buah kapal beriringan yang diambil dari atas bukit. Imajinasi saya mengatakan bahwa kedua kapal itu hendak merapat ke sebuah pelabuhan.
Selagi memandanginya tiba - tiba saya ikut – ikutan senang dengan pemandangan alam itu. Karena seolah – olah mendengar suaranya. Menekuri kembali kata – kata yang pernah diucapkannya. Kemudian, merasuk ke dalam dirinya, lalu terambil kesimpulan bahwa antara mata yang memandang dan kata – kata yang terucap klop benar.
Saya ingat pernah berintuisi tentang seorang teman lama dan ia kemudian menjadi orang pertama sebagaimana yang saya bayangkan. Bila keyakinanmu benar pada seseorang, maka itu perasaan yang menyenangkan. Demikian pula sekarang. Saya merasa, memang begitulah ia. Ia tak bermuslihat. Matanya telah memandang jauh ke seberang dan memotret pemandangan itu. Setelah itu membaginya pada kami. Spontan. Apa yang kita lihat dengan mata telanjang maka begitu pulalah realitasnya.
Di jejaring sosial, banyak ragam foto yang diunggah orang. Foto dirinya dengan keluarga batihnya, foto aktivitas anak - anaknya, foto beramai - ramai bergaya dengan teman - temannya, foto dirinya pasang aksi bak foto model, dan macam - macam lainnya yang lucu dan beradab. Foto begitu juga bagus, tapi bagi saya kadar 'like'-nya sedang-sedang saja! Karena pancaran kebahagian mereka itu terkadang bikin iri. Hehe. Biar begitu sekali waktu mau juga kok, saya beri mereka jempol karena rasa iri itu tidak destruktif. Andaikata jempol saya lebih dari empat tentu akan saya bagi buat mereka semua. Namun, dua jempol yang saya miliki malah berada di kaki, walah, itu 'kan tidak sopan! :P ... Banyak foto bagus, namun tidak semua foto yang dijepret sesuka hati jadi foto yang akan saya sukai, kecuali foto dua kapal tadi itu, kini jadi foto IST.
Syukurlah Seno Gumira Ajidarma telah membuat definisi seperti itu, bahkan saya setuju seribu persen. Karena buat seseorang yang cuma pakai kamera hp dan pocket camdig, mengintip The Arrow Book of Photography, Allan Cash barang sebentar dan tak pernah ikut kursus fotografi (Ups! Ketahuan deh, lagak saya bak kritikus! Berani - beraninya menilai miring foto orang lain padahal sama saja. Memalukan! Haha) uraian Ajidarma yang satu itu sangat memotivasi.
Fotografi bukan bidang yang ingin saya pelajari, otodidak sekalipun, namun bila ada kesempatan memotret rasanya seru bereksperimen mengambil gambar sesuka hati, dan sebagaimana yang saya kutip sekali lagi dari Seno Gumira Ajidarma: "Sebuah foto merepresentasikan kembali pandangan saya." (Q)
Fotografi bukan bidang yang ingin saya pelajari, otodidak sekalipun, namun bila ada kesempatan memotret rasanya seru bereksperimen mengambil gambar sesuka hati, dan sebagaimana yang saya kutip sekali lagi dari Seno Gumira Ajidarma: "Sebuah foto merepresentasikan kembali pandangan saya." (Q)
Daftar Pustaka
“Memotret Jepang,” Buletin Informasi Nuansa, Oktober – November 1999, Jakarta : Pusat Kebudayaan Jepang.
“Memotret Jepang,” Buletin Informasi Nuansa, Oktober – November 1999, Jakarta : Pusat Kebudayaan Jepang.