Situs Gunung Padang
Saya pergi ke tempat yang baru – baru ini menghebohkan. Tentang sebuah situs megalitikum Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Pasalnya situs Gunung Padang bukan sekedar tentang sebuah permukaan tanah seluas 900 meter persegi bersama bebatuan di atasnya, melainkan meliputi keseluruhan bangunan yang diduga kuat ada dan tertimbun di bawahnya alias terdapat sebuah bangunan berbentuk piramida. Adapun usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum Masehi. Lebih tua, ketimbang piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Bila benar? ... Kereeeen... . Nenek moyangku bukan cuma pelaut tetapi juga arsitek hebat yang melahirkan peradaban yang hebat.
Lalu, tahu – tahu Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya mengumumkan kegiatan acara napak tilasnya yang ke-13 ke Gunung Padang. Pengaturan waktu yang seolah saling melengkapi itu jadi momen yang tentu saja tak saya lewatkan.
Keberangkatan
Acaranya diselenggarakan pada hari Minggu, tanggal 14 September 2014. Berkumpul di Terminal Damri Kota Bogor pada pukul 05.45. Rutenya Bogor - Gunung Padang - Stasiun Lampegan, lalu kembali ke Bogor. Peserta dikenakan biaya Rp. 120.000,00/orang untuk tiket masuk dan transportasi dari Bogor ke lokasi situs (PP).
Kami berangkat pukul 06.30. Jumlah peserta 28 orang, termasuk panitia. Komposisi peserta terdiri dari pria dan wanita dengan beragam latar belakang (sejarawan, ilmuwan, guru, ibu rumah tangga, bahkan pelajar). Angkatan sweet seventeen sampai golden age turut meramaikan rombongan.
Situs prasejarah peninggalan kebudayaan megalitikum ini tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota, kecamatan Warung Kondang, di jalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Terletak di ketinggian 885 m dpl.
Dalam perjalanan pemandangan pagi semakin menghangatkan suasana. Mobil berbaris di pintu tol sudah jadi tontonan lumrah, tapi perbukitan teh, aneka sayur mayur, deretan warung di tebing Puncak, persawahan, perbukitan dengan jalan – jalan yang berkelok – kelok sangat enak dinikmati, apalagi tanpa kendala berarti. Soalnya, antimo, si Obat Mabuk sudah diganti dengan tusukan akupuntur antimabuk, Bundo Iswanti sehingga pada bagian ini, pesan moralnya adalah jangan lupa bawa obat – obatan pribadi kalau bepergian jauh!
Memasuki Cianjur kami melipir sebentar ke Warung Sate Marangi. Sarapan. Tahukah Anda dengan dua buah ketan bakar, 10 tusuk sate daging, 10 tusuk sate lemak yang dilumuri bumbu oncom, dan teh hangat cuma-cuma, tujuh belas ribu perak! Sepiring berdua. Sambil duduk di bangku kayu, bisa pula kalau mau menonton si mamang sedang memanggang ketan dan menyiapkan satenya karena posisinya tepat berada di depan warung. Kenyang menyenangkan.
Sampai
Pukul sebelas kami melalui gapura bertuliskan Situs Gunung Padang. Desain gapura itu macam gapura Jurassic Park - ada di film berjudul sama. Luas areal situs ini sekitar 3 ha sehingga menjadi kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara.
Kedatangan kami berbarengan dengan rombongan ITB yang sebelumnya berada dalam iring – iringan di belakang kami. Jumlah mereka lebih banyak. Dari kendaraan yang terlihat setidaknya ada 1 bus, 1 minibus, dan 5 mobil. Selanjutnya dari tempat parkiran, kami harus berjalan menanjak sekitar sepuluh menit ke pintu masuk.
Saat menuju pintu masuk, ternyata banyak orang yang sudah berjalan turun ke areal parkir. Saya heran melihat orang – orang itu karena terbetik dalam benak saya, seperti apa tempat yang akan kami sambangi. Karena suasana situs yang pernah saya kunjungi bersama komunitas ini, sejauh ini kerap khidmat dan sunyi.
Stairway to Heaven
Stairway to heaven, apa itu? Pasti bukan karya Chopin. Saya kembali penasaran tentang rutenya begitu pak ketua mengungkit hal itu. Lalu, melintas pintu masuk barulah terlihat jalan yang bercabang dua. Di sana terdapat dua tangga yang berbeda. Yang berada di sebelah kanan adalah rute jinak. Anak tangganya berbahan dasar semen, rapi, kokoh dan sudah diberi pagar besi di pinggirnya. Ada pun di sisi lain, kendati terdapat pegangan besi persis seperti yang rute jinak, namun medannya lebih sulit. Kemiringan berkisar 45 derajat. Tiap langkah yang kami lalui berpijak pada tatanan batu yang tidak utuh di beberapa bagian. Perjalanan memang lebih singkat, namun rasanya wow! Menguras dan melegakan napas. Jadi penyebutan ‘stairway to heaven’ saya artikan begitulah rasa surga setelah bersusah payah menaiki tangga yang sulit.:P
Sesampainya di atas bukit sepajang mata memandang sebaran bebatuan andesit besar berbentuk persegi dan manusia saling berbagi tempat. Ramai. Pengunjung hari itu bukan dari Komunitas Napak Tilas dan Tim ITB saja, tetapi dari berbagai kalangan.
Lokasi situs dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam. Kompleksnya memanjang, menutupi permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu. Situs itu sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat. Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam.
Penemuan
Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede. Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.
Fungsi
Fungsi situs Gunung Padang diperkirakan sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim di sana pada sekitar 2000 tahun S.M. Hasil penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya pelibatan musik dari beberapa batu megalit yang ada. Selain Gunung Padang, terdapat beberapa tapak lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode megalitikum.
Penelitian
Soal penelitian situs ini sudah cukup banyak dilakukan para ilmuwan. Berbagai temuan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang ini akhirnya melakukan uji radiometrik karbon (carbon dating, C14). Menariknya hasil uji karbon pada laboratorium Beta Miami, di Florida AS, menera bahwa karbon yang didapat dari pengeboran pada kedalaman 5 meter sampai dengan 12 meter berusia 14.500-25.000 tahun.
Sementera Tim Riset Situs Megalit Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang melakukan penelitian tanggal 30 Mei 2014 mengungkapkan bahwa situs dibangun oleh empat kebudayaan berbeda, yang tertua diperkirakan mencapai umur 10.000 tahun.
Ada beberapa orang yang percaya kalau situs Gunung Padang memiliki keterkaitan dengan situs piramida yang ada di mesir. Seorang arkeolog asal Bosnia Herzegovina, Semir Sam Osmanagich meyakini hal itu. Dikarenakan bentuknya yang mirip dengan ruang di dalamnya dan karena umurnya yang jauh lebih tua dibandingkan piramida yang ada di mesir. Usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum Masehi, sementara piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Meskipun demikian, saat ini situs padang masih berada dalam masa pengkajian lebih lanjut.
Selain riset dan survei, kajian pustaka terus dilakukan. Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang diketahui berhulu di sekitar tempat situs ini. Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.
Waktu kami ke sana sebuah penelitian juga sedang dilaksanakan. Terpal biru yang dipasang dengan spanduk bertuliskan “Posko Timnas Pelestarian dan Pengelolaan Situs Gunung Padang” menjadi salah satu penandanya. Demikian pula beberapa alat berat dipasang dalam areal terpal biru. Tidak ada penjagaan ekstrim, tetapi tentara RI juga ambil bagian dalam pengamanan.
Terowongan Lampegan
Kami melanjutkan ke terowongan peninggalan jaman Belanda yang memiliki panjang 686 meter. Terowongan Lampegan dibangun oleh perusahaan kereta api SS (Staats Spoorwegen) dan dibangun pada pada periode 1879 - 1882. Terowongan ini merupakan terowongan pertama di Jawa Barat yang letaknya di lintas kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung via Bogor/Sukabumi. Di Wikipedia dinyatakan bahwa salah satu terowongan pertama di Jawa Barat yang dibuat di desa Cibokor yang lokasinya di Pasir Gunung Keneng, Cianjur Jawa Barat.
Asal muasal penamaan Lampegan diambil dari cerita yang beredar. Bahwa nama Lampegan asalnya dari kata yang sering disebutkan oleh Beckman ketika memeriksa hasil pekerjaan pegawainya. Setiap melihat pegawai yang sedang bekerja di dalam terowongan, dia sering berteriak mengingatkan kepada pegawainya untuk tetap membawa lampu agar lebih aman dari bahaya kurangnya zat asam. “Lamp pegang...., lamp pegang”, dia mengingatkan dalam campuran bahasa Belanda dan Indonesia. Maksudnya adalah agar pegawai membawa lampu. Di terowongan itu udaranya masih lembap dikarenakan lubang terowongan yang hanya ada satu. Akhirnya, terowongan ini disebut 'Terowongan Lampegan'
Rembesan air mengakibatkan bagian atas terowongan hancur. Sehingga hubungan kereta api Sukabumi-Cianjur terputus. Setelah mengalami renovasi pada September 2000, Sukabumi dan Cianjur kembali terhubung. Namun dari tanggal 12 Maret 2001, terowongan itu ambruk lagi, dan hubungan stasiun Cianjur dan Sukabumi kembali terputus. Pada tahun 2010, Terowongan Lampegan kembali direstorasi dan telah memasuki tahap uji coba. Sekarang stasiun Lampegan melayani KA Siliwingi untuk rute Bogor – Sukabumi – Cianjur.
Pulang
Ini bukan pertama kali Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya mengunjungi Situs Gunung Padang, tapi pengalaman pertama buat saya. Seperti biasa, secara keseluruhan acara berlangsung lancar dan bernas. :)
Sumber:
http://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/02/27/puluhan-ilmuwan-asing-kagumi-penelitian-gunung-padang/
http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Gunung_Padang
http://id.wikipedia.org/wiki/Terowongan_Lampegan
Saya pergi ke tempat yang baru – baru ini menghebohkan. Tentang sebuah situs megalitikum Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Pasalnya situs Gunung Padang bukan sekedar tentang sebuah permukaan tanah seluas 900 meter persegi bersama bebatuan di atasnya, melainkan meliputi keseluruhan bangunan yang diduga kuat ada dan tertimbun di bawahnya alias terdapat sebuah bangunan berbentuk piramida. Adapun usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum Masehi. Lebih tua, ketimbang piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Bila benar? ... Kereeeen... . Nenek moyangku bukan cuma pelaut tetapi juga arsitek hebat yang melahirkan peradaban yang hebat.
Lalu, tahu – tahu Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya mengumumkan kegiatan acara napak tilasnya yang ke-13 ke Gunung Padang. Pengaturan waktu yang seolah saling melengkapi itu jadi momen yang tentu saja tak saya lewatkan.
Keberangkatan
Acaranya diselenggarakan pada hari Minggu, tanggal 14 September 2014. Berkumpul di Terminal Damri Kota Bogor pada pukul 05.45. Rutenya Bogor - Gunung Padang - Stasiun Lampegan, lalu kembali ke Bogor. Peserta dikenakan biaya Rp. 120.000,00/orang untuk tiket masuk dan transportasi dari Bogor ke lokasi situs (PP).
Kami berangkat pukul 06.30. Jumlah peserta 28 orang, termasuk panitia. Komposisi peserta terdiri dari pria dan wanita dengan beragam latar belakang (sejarawan, ilmuwan, guru, ibu rumah tangga, bahkan pelajar). Angkatan sweet seventeen sampai golden age turut meramaikan rombongan.
Situs prasejarah peninggalan kebudayaan megalitikum ini tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota, kecamatan Warung Kondang, di jalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Terletak di ketinggian 885 m dpl.
Dalam perjalanan pemandangan pagi semakin menghangatkan suasana. Mobil berbaris di pintu tol sudah jadi tontonan lumrah, tapi perbukitan teh, aneka sayur mayur, deretan warung di tebing Puncak, persawahan, perbukitan dengan jalan – jalan yang berkelok – kelok sangat enak dinikmati, apalagi tanpa kendala berarti. Soalnya, antimo, si Obat Mabuk sudah diganti dengan tusukan akupuntur antimabuk, Bundo Iswanti sehingga pada bagian ini, pesan moralnya adalah jangan lupa bawa obat – obatan pribadi kalau bepergian jauh!
Memasuki Cianjur kami melipir sebentar ke Warung Sate Marangi. Sarapan. Tahukah Anda dengan dua buah ketan bakar, 10 tusuk sate daging, 10 tusuk sate lemak yang dilumuri bumbu oncom, dan teh hangat cuma-cuma, tujuh belas ribu perak! Sepiring berdua. Sambil duduk di bangku kayu, bisa pula kalau mau menonton si mamang sedang memanggang ketan dan menyiapkan satenya karena posisinya tepat berada di depan warung. Kenyang menyenangkan.
Sampai
Pukul sebelas kami melalui gapura bertuliskan Situs Gunung Padang. Desain gapura itu macam gapura Jurassic Park - ada di film berjudul sama. Luas areal situs ini sekitar 3 ha sehingga menjadi kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara.
Kedatangan kami berbarengan dengan rombongan ITB yang sebelumnya berada dalam iring – iringan di belakang kami. Jumlah mereka lebih banyak. Dari kendaraan yang terlihat setidaknya ada 1 bus, 1 minibus, dan 5 mobil. Selanjutnya dari tempat parkiran, kami harus berjalan menanjak sekitar sepuluh menit ke pintu masuk.
Saat menuju pintu masuk, ternyata banyak orang yang sudah berjalan turun ke areal parkir. Saya heran melihat orang – orang itu karena terbetik dalam benak saya, seperti apa tempat yang akan kami sambangi. Karena suasana situs yang pernah saya kunjungi bersama komunitas ini, sejauh ini kerap khidmat dan sunyi.
Stairway to Heaven
Stairway to heaven, apa itu? Pasti bukan karya Chopin. Saya kembali penasaran tentang rutenya begitu pak ketua mengungkit hal itu. Lalu, melintas pintu masuk barulah terlihat jalan yang bercabang dua. Di sana terdapat dua tangga yang berbeda. Yang berada di sebelah kanan adalah rute jinak. Anak tangganya berbahan dasar semen, rapi, kokoh dan sudah diberi pagar besi di pinggirnya. Ada pun di sisi lain, kendati terdapat pegangan besi persis seperti yang rute jinak, namun medannya lebih sulit. Kemiringan berkisar 45 derajat. Tiap langkah yang kami lalui berpijak pada tatanan batu yang tidak utuh di beberapa bagian. Perjalanan memang lebih singkat, namun rasanya wow! Menguras dan melegakan napas. Jadi penyebutan ‘stairway to heaven’ saya artikan begitulah rasa surga setelah bersusah payah menaiki tangga yang sulit.:P
Sesampainya di atas bukit sepajang mata memandang sebaran bebatuan andesit besar berbentuk persegi dan manusia saling berbagi tempat. Ramai. Pengunjung hari itu bukan dari Komunitas Napak Tilas dan Tim ITB saja, tetapi dari berbagai kalangan.
Lokasi situs dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam. Kompleksnya memanjang, menutupi permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu. Situs itu sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat. Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam.
Penemuan
Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede. Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.
Fungsi
Fungsi situs Gunung Padang diperkirakan sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim di sana pada sekitar 2000 tahun S.M. Hasil penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya pelibatan musik dari beberapa batu megalit yang ada. Selain Gunung Padang, terdapat beberapa tapak lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode megalitikum.
Soal penelitian situs ini sudah cukup banyak dilakukan para ilmuwan. Berbagai temuan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang ini akhirnya melakukan uji radiometrik karbon (carbon dating, C14). Menariknya hasil uji karbon pada laboratorium Beta Miami, di Florida AS, menera bahwa karbon yang didapat dari pengeboran pada kedalaman 5 meter sampai dengan 12 meter berusia 14.500-25.000 tahun.
Sementera Tim Riset Situs Megalit Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang melakukan penelitian tanggal 30 Mei 2014 mengungkapkan bahwa situs dibangun oleh empat kebudayaan berbeda, yang tertua diperkirakan mencapai umur 10.000 tahun.
Ada beberapa orang yang percaya kalau situs Gunung Padang memiliki keterkaitan dengan situs piramida yang ada di mesir. Seorang arkeolog asal Bosnia Herzegovina, Semir Sam Osmanagich meyakini hal itu. Dikarenakan bentuknya yang mirip dengan ruang di dalamnya dan karena umurnya yang jauh lebih tua dibandingkan piramida yang ada di mesir. Usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum Masehi, sementara piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Meskipun demikian, saat ini situs padang masih berada dalam masa pengkajian lebih lanjut.
Selain riset dan survei, kajian pustaka terus dilakukan. Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang diketahui berhulu di sekitar tempat situs ini. Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.
Waktu kami ke sana sebuah penelitian juga sedang dilaksanakan. Terpal biru yang dipasang dengan spanduk bertuliskan “Posko Timnas Pelestarian dan Pengelolaan Situs Gunung Padang” menjadi salah satu penandanya. Demikian pula beberapa alat berat dipasang dalam areal terpal biru. Tidak ada penjagaan ekstrim, tetapi tentara RI juga ambil bagian dalam pengamanan.
Kami melanjutkan ke terowongan peninggalan jaman Belanda yang memiliki panjang 686 meter. Terowongan Lampegan dibangun oleh perusahaan kereta api SS (Staats Spoorwegen) dan dibangun pada pada periode 1879 - 1882. Terowongan ini merupakan terowongan pertama di Jawa Barat yang letaknya di lintas kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung via Bogor/Sukabumi. Di Wikipedia dinyatakan bahwa salah satu terowongan pertama di Jawa Barat yang dibuat di desa Cibokor yang lokasinya di Pasir Gunung Keneng, Cianjur Jawa Barat.
Asal muasal penamaan Lampegan diambil dari cerita yang beredar. Bahwa nama Lampegan asalnya dari kata yang sering disebutkan oleh Beckman ketika memeriksa hasil pekerjaan pegawainya. Setiap melihat pegawai yang sedang bekerja di dalam terowongan, dia sering berteriak mengingatkan kepada pegawainya untuk tetap membawa lampu agar lebih aman dari bahaya kurangnya zat asam. “Lamp pegang...., lamp pegang”, dia mengingatkan dalam campuran bahasa Belanda dan Indonesia. Maksudnya adalah agar pegawai membawa lampu. Di terowongan itu udaranya masih lembap dikarenakan lubang terowongan yang hanya ada satu. Akhirnya, terowongan ini disebut 'Terowongan Lampegan'
Rembesan air mengakibatkan bagian atas terowongan hancur. Sehingga hubungan kereta api Sukabumi-Cianjur terputus. Setelah mengalami renovasi pada September 2000, Sukabumi dan Cianjur kembali terhubung. Namun dari tanggal 12 Maret 2001, terowongan itu ambruk lagi, dan hubungan stasiun Cianjur dan Sukabumi kembali terputus. Pada tahun 2010, Terowongan Lampegan kembali direstorasi dan telah memasuki tahap uji coba. Sekarang stasiun Lampegan melayani KA Siliwingi untuk rute Bogor – Sukabumi – Cianjur.
Pulang
Ini bukan pertama kali Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya mengunjungi Situs Gunung Padang, tapi pengalaman pertama buat saya. Seperti biasa, secara keseluruhan acara berlangsung lancar dan bernas. :)
Sumber:
http://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/02/27/puluhan-ilmuwan-asing-kagumi-penelitian-gunung-padang/
http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Gunung_Padang
http://id.wikipedia.org/wiki/Terowongan_Lampegan