Tak dapat dipungkiri kita sedang berhadapan dengan perilaku yang mengarah pada kehancuran sebuah bangsa. Ada sepuluh hal yang diungkapkan tentang ini oleh Thomas Lickona (dalam Musfiroh, 2008). Di antaranya adalah membudayanya ketidakjujuran; semakin tinggi rasa tidak hormat terhadap orang tua, guru, dan figure pemimpin; penggunaan bahasa yang memburuk (kasar); meningkatnya perilaku merusak diri; dan kian kaburnya pedoman moral.
Setiap hari matahari terbit di sebelah Timur. Buat sebagian orang di hari Senin - Jumat ketika pagi menjelang, sekolah adalah tujuan. Setiap hari mereka melewati jalan yang itu – itu lagi: menuju ke titik yang sama; bertemu anak – anak yang sama; melaksanakan KBM di waktu yang sama; dan bergelut dalam hal yang sama pula – termasuk hal yang disebut oleh Thomas Lickona di atas. Itulah sebabnya di dalam ‘hal yang sama’ tidak selamanya terkandung kebaikan semata, namun bisa tersirat keburukan.
An Nahl – 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat itu ditafsirkan sebagai dakwah atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.
Bagaimana mewujudkan itu? Berbicara pada anak – anak yang berada dalam fase labil? Yang sebagian di antara mereka keikhlasannya berada di sekolah hanyalah untuk bermain. Bukan menimba ilmu.
Dalam situasi itu seorang guru harus berusaha mengolah hati agar tidak cepat – cepat naik pitam. Sebagai seorang ibu, ia harus berhati – hati menegur anak – anak. Salah – salah yang keluar adalah sebuah kutukan dan sejarah Malin Kundang malah terulang lagi. Ingin rasanya mencetak semua anak saya kelak menjadi para diplomat atau jurnalis handal. Tetapi seseorang harus tahu kemuskilan itu ada batasannya. Tiap – tiap mereka adalah individu yang unik dan istimewa. Sebagaimana Kahlil Gibran berkata, “Engkaulah busur tempat anakmu, anak panah hidup, melesat pergi,” maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan kompetensi diri lebih dalam. dan melakukan pembimbingan yang tak kenal lelah. Yups! Jadi superwoman. Huehehe.
H a d i a h
Kendati demikian, setiap kali timbul keburukan maka keburukan itu harus diubah menjadi molekul – molekul hikmah. Anak dan guru saling bersenyawa meraih kebaikan. Rasa lelah dan semangat mengalir silih berganti sehingga tak salah jika Rendra berkata, “Hidup adalah perjuangan.”
Indahnya perjuangan itu – saat kelelahan itu meruap – jadi terbayarkan dalam beragam momen. Umpamanya, sebagaimana perkataan Ibu Rubaeah Maryam, guru matematika di sebuah tsanawiyah di Bantar Gebang, Bekasi bahwa anak – anak yang paling cerdaslah yang akan muncul membela gurunya. Ternyata anak – anak yang paling cerdas itu dalam sebuah kelas jumlahnya pun lebih dari satu orang. Terngiang – ngiang di telinga saya bagaimana mereka mengingatkan teman – temannya agar fokus belajar dengan mengatakan, “Hormati guru!”
Di waktu yang berbeda, seorang Kaisar memburu sejak saya selesai mengajar bahasa Indonesia dari kelasnya dan berseru dari lantai dua, “Ibuuuuuu balik lagi. Pelajaran IPA kosong, Buuuu… Ibuuuu… .” Seruan Kaisar membuat saya merasa jadi orang penting sedunia. Ada seseorang, meski cuma satu anak membutuhkan bimbingan. Membutuhkan saya.
Kalau ada yang dapat melihat isi hati saya, mungkin menemukan emoticon Mr. Smiley di sana. Karena saya senantiasa terkenang bagaimana Ananda Alfin Trinurmansyah merampas sapu yang sedang saya pegang dan meneruskan membersihkan seberkas noda di lantai kelasnya.
Anak – anak punya cara tersendiri menyampaikan rasa hormat mereka pada guru. Misalnya, di luar jam sekolah, tiba – tiba mereka menghampiri dan menyalami dengan takzim guru yang tak lihat kedatangan mereka. Tetapi, di lain waktu ketika berpapasan di sebuah jalan Ananda Rachma Amanda dengan gaya tomboinya masih sempat menyapa. “Ibuuuuuu… .” katanya sembari ngeloyor dengan motornya. Polahnya bikin geleng – geleng kepala, tetapi mampu menerbitkan sebuah senyum di wajah saya. : )
Selain, tentang betapa saya sangat menikmati suguhan seporsi soto ayam. Waktu itu saya menerima kiriman seporsi home made soto ayam dari anak seorang penjual sayur. Rasanya benar - benar lezat!
Puncaknya saat anak – anak kelas IX mendapat hasil Ujian Nasional bahasa Indonesia dengan gemilang. Di mata saya nilai itu terlihat seperti taburan berlian yang berkelip indah di langit. Anak – anak cerdas itu dengan izin Allah – lah yang mampu membaca dengan baik ujian yang sedang diberikan dan mempersembahkan yang terbaik buat orang tua mereka.
Kelas – kelas Kebaikan
Saya tak tahu keistimewaan apa sehingga anak – anak memberi hadiah yang sangat indah buat gurunya. Tapi saya tahu semua itu tak mungkin hasil upaya pribadi tetapi kerja sama yang kompak antarpara pendidik di sekolah. Allah Swt telah memungkinkan kekurangan dan kelebihan tiap pendidik sebagai bahan saling melengkapi untuk mendidik anak – anak kami.
Adapun pernyataan Lictona tentang perilaku yang mengarah pada kehancuran sebuah bangsa, ngeri sekali menginsafinya. Tantangan zaman menjadi ujian buat banyak orang. Pergeseran itu menjadi tantangan kita untuk menjawabnya. Ibarat kepompong yang bermetamorfosis, semoga anak bangsa ini menjadi lebih berbudi luhur, tangguh, dan Islami setelah digodok dalam kelas – kelas kebaikan. La haula wala quwata illa billah. (Q)