Ketika kecil, ada sebuah pohon di depan
rumah. Aku tak tahu sejak kapan pohon itu tumbuh, tahu – tahu ia muncul dan
membesar. Entah mengapa tak ada anak – anak yang menyerbunya meskipun buah –
buahnya yang mungil itu telah meranum, padahal pohon itu terkesan meneduhi.
Banyak orang buta waktu tumbuhan itu dipanggil
kersen karena di tempatku lazimnya dikenal dengan nama pohon ceri. Nama
ilmiahnya adalah Muntingia calabura L. Gampang tumbuhnya. Tak perlu
perawatan khusus. Pohon itu banyak berdiri di pinggiran jalan sebagai penaung
pedagang – pedagang kaki lima atau jadi pangkalan ojeg.
Pohon itu bagian kesenanganku karena hobiku
memanjat. Aku tahu rasanya berada di ketinggian. Pemandangan dari ketinggian
dapat melambungkan khayalan ke mana – mana. Asyik sekali pengembaraan itu.
Di hari minggu pagi aku
senantiasa memanjat dan bertengger di dahan my ceri tree yang kuat. Aku sudah
kelas lima SD. Aku sudah besar jadi tak ada keraguan saat naik ke atas pohon
dan beraktivitas di sana. Ada saja yang bisa dilakukan, tapi tak pernah lama. Kadangkala aku hanya
ingin menikmati ceri merah, menghabiskan sekantung kecil kacang kulit sisa
suguhan pada turnamen bridge mingguan bapak – bapak kompleks kami
semalam di rumah atau cuma berniat menghabiskan sebutir permen yang emoh aku
bagi ke siapa pun.
Hingga tibalah suatu ketika di hari
minggu, “Turun!” sebuah suara memerintahku.
Tampak orang tuaku memelotiku. Melihat
siapa di sebelahnya, dugaku tetangga kami telat menghasut orang tuaku, “Pamali
atuh, anak gadis manjat – manjat pohon.”
Aku kesal dimarahi. Tak paham sama
sekali mengapa larangan itu perlu diberlakukan. Seharusnya ibu tidak muncul.
Tapi, kubiarkan tubuhku merosot ke tanah tanpa berani bertanya mengapa.
*
Beberapa hari kemudian, ada sebuah
tangga yang menjulur ke atap. Tangga itu membangkitkan ideku. Untuk beberapa
saat, tiap sore anak – anak tangga itu berhasil kudaki. Berada di atas atap asik
juga ternyata. Walaupun cuma duduk – duduk melihat pemandangan di langit : layang
– layang, burung gereja, pesawat terbang, dan langit yang terlihat indah. Pemandangannya
tak pernah membosankan. Terasa damai, seolah tak ada oksigen. Tapi kesenangan
itu juga sebentar saja. Di suatu sore ibu menangkap basah aku. “Turun! Nanti
genting bocor!”
*
Ibu selalu melarang ini dan itu. Kesal rasanya, tapi hal itu tak membuatku jera. Pada suatu hari ketika hujan turun deras aku naik
ke loteng tempat jemuran. Aku bermain hujan di sana. Aman. Tak ada ibu.
Serunya bermain hujan, apalagi saat kakak dan adikku bergabung. Tapi karena mereka, kami
ketahuan. Mereka riuh sekali mengalahkan suara hujan. Ibu
menyuruh kami masuk dengan keras. Gelagatnya membuatku harus bersiap menerima
omelan. Tapi ada hal lain yang bikin ciut hati.
Kulihat sisi lutut kaki kiriku terluka.
Ada tetesan merah keluar dari kulit yang terkonyak. Aku tak tahu dari mana
asalnya. Aku tak merasakan sakit. Air hujan pun tak memerihkan luka itu. Aku
terdiam. Berpikir keras bagaimana menyembunyikannya dari ibu. Terlambat! Di
anak tangga, ibu yang sudah menunggu melihat tetesan darah di kakiku.
Waktu ibu terpekik, kagetku setengah
mati. Teriakannya, alamat hukuman buatku. Aku bakal dimarahi. Tapi
tidak! Ibu menghambur, memeriksa dan menanyakan keadaanku. Suaranya
berbeda. Wajahnya berubah. Ia melembut. Sepertinya khawatir. Aku menjawab
sebisanya dengan terbata – bata, dan sebentar kemudian, aku sudah dibaringkan
di tempat tidur. Lukaku diobati.
Semula kupikir kegalakan ibu tak ada
matinya. Ia akan selalu jadi sosok wanita yang keras dan diktator. Tetapi, karena
kejadian itu, aku belajar bahwa ibu tidak seperti itu. Ada kalanya ia memang harus tegas dan keras, tapi hatinya selalu lembut. Sebagai anak, aku seharusnya mematuhi perkataannya karena ibu tahu yang terbaik buat anak - anaknya. (R)