Oleh Lan Fang
(1)
teduh, suara subuh.
sepi, bunyi tubuh.
gerimis mendenting hening
dan Kau begitu bening.
(2)
kepada kesepiankah kita berpulang?
Atau kita ingin kesepian itu datang?
di dalam kesepian, para malaikat menemani
bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam. para
malaikat berjubah tembus cahaya. para
malaikat yang memberikan sepasang sayap ketika
bocah-bocah itu menginginkannya. para
malaikat yang memahkotai mereka
dengan mawar tak berduri, mahkota yang tak melukai.
“sekarang kami peri!” mereka melonjak-lonjak tak mau
pergi dari waktu kanak-kanak di mana langit selalu jingga.
apakah kita salah satu di antara mereka? tidak! kita hanya
anak-anak bisu yang lahir dari malam berbatu.
tiba-tiba sungai waktu berseru “lekas! kalian sudah
menua,” daun-daun berkemas, kering lalu lepas.
tetapi kau tak mengajakku bergegas.
(sungguh tidak kusangka ternyata usia tidak berbau)
kita pun terpasung pada palung terpanjang, tersepi.
sssttt..., puisi sedang berbunga, di sini.
(Ket. 1. bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)
(3)
aku ini malam
tahukah kau kalau malam terbuat dari purnama
bundar yang memudar? ada perempuan berdada
asap yang menyerap pendar bintang. sepasang matanya
yang berasap juga mengirimkan pesan,
“mari bersulang di kaki rupang.”
itulah pesan yang belum mampu kueja. tetapi ia
tetap setia beranjali, bermudra, dan membakar dupa
untuk menjerat sekerat cahaya.
maka malam pun gelap, segelap aku. aku pun remuk,
seremuk asap. asap yang masih setia bermoksa.
(4)
suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.
azan Jogya dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku gembira: “apakah kau bangun untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!
(5)
seorang musafir menyiarkan syair, “oh, Roh, betapa aku
tersiksa puisi cinta. cinta yang terbakar bersamaMu.”
ketika itu ada yang berteriak dan ada yang tersumbat,
ada yang bergerak dan ada yang merambat, ada Badai
Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi Cahaya, Cahaya di Atas
Cahaya “aum mani padme hum.” ketika itu ada
seekor belibis menangis.
(1)
teduh, suara subuh.
sepi, bunyi tubuh.
gerimis mendenting hening
dan Kau begitu bening.
(2)
kepada kesepiankah kita berpulang?
Atau kita ingin kesepian itu datang?
di dalam kesepian, para malaikat menemani
bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam. para
malaikat berjubah tembus cahaya. para
malaikat yang memberikan sepasang sayap ketika
bocah-bocah itu menginginkannya. para
malaikat yang memahkotai mereka
dengan mawar tak berduri, mahkota yang tak melukai.
“sekarang kami peri!” mereka melonjak-lonjak tak mau
pergi dari waktu kanak-kanak di mana langit selalu jingga.
apakah kita salah satu di antara mereka? tidak! kita hanya
anak-anak bisu yang lahir dari malam berbatu.
tiba-tiba sungai waktu berseru “lekas! kalian sudah
menua,” daun-daun berkemas, kering lalu lepas.
tetapi kau tak mengajakku bergegas.
(sungguh tidak kusangka ternyata usia tidak berbau)
kita pun terpasung pada palung terpanjang, tersepi.
sssttt..., puisi sedang berbunga, di sini.
(Ket. 1. bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)
(3)
aku ini malam
tahukah kau kalau malam terbuat dari purnama
bundar yang memudar? ada perempuan berdada
asap yang menyerap pendar bintang. sepasang matanya
yang berasap juga mengirimkan pesan,
“mari bersulang di kaki rupang.”
itulah pesan yang belum mampu kueja. tetapi ia
tetap setia beranjali, bermudra, dan membakar dupa
untuk menjerat sekerat cahaya.
maka malam pun gelap, segelap aku. aku pun remuk,
seremuk asap. asap yang masih setia bermoksa.
(4)
suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.
azan Jogya dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku gembira: “apakah kau bangun untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!
(5)
seorang musafir menyiarkan syair, “oh, Roh, betapa aku
tersiksa puisi cinta. cinta yang terbakar bersamaMu.”
ketika itu ada yang berteriak dan ada yang tersumbat,
ada yang bergerak dan ada yang merambat, ada Badai
Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi Cahaya, Cahaya di Atas
Cahaya “aum mani padme hum.” ketika itu ada
seekor belibis menangis.