Pernahkah kamu berangkat ke arah gelap?
Tempat segala yang bernama lelah hinggap?
Berdiri saja dengan tenang
Aku akan mengajakmu menyentuhi lorong-lorong yang tak kaukenal, cuma dengan matamu
Dengan hatimu. Dengan napasmu yang tenang dan kauatur tarikan dan hembusannya
satu demi satu
Dengan degup jantungmu yang ritmik, dan sedikit kaubesarkan suaranya
Kaudengarkan suaranya
Kaubesarkan suaranya
Dan kaudengarkan suaranya
Berdiri saja dengan tenang
Pada sebuah hutan yang gelisah
Bebauan daun-daunnya merambati wajahmu dengan jelas
Menebarkan aroma sejuk yang mengaliri bagian dalam lehermu,
paru-parumu,
bahumu,
kedua tangan dan telapak tanganmu,
perutmu,
menjalari betis hingga setiap sisi telapak kakimu
dan sekujur tubuhmu yang tetap berdiri tenang
dalam bayang-bayang
Tak sedikit pun kau rela beranjak
Karena kau semakin ingin memahaminya dengan menutup matamu rapat-rapat
Sehingga keindahan ini semakin sedemikian jelas kaulihat
dengan tarikan napasmu
dan degup jantungmu
Berdirilah dengan tenang, dan beri dunia yang kaukenal ini warna
Beri ia suara, seperti desau angin atau bunyi-bunyi malam yang hening
Semakin membuat kelopak matamu terkunci rapat, dan sedikit bergerak.
(Biarkan saja dan tetap berdirilah di sana, dengan tenang)
Lihatlah.
Persis di depanmu ada lorong yang gelap,
Lorong di antara bongkahan batu cadas yang keras
Batu dengan lumut hutan perawan yang basah
Di mana aku ingin mengajakmu ke sana
Melangkahlah dengan pelan, masuki keheningannya dengan sabar.
Dan sedikit demi sedikit kautinggalkan cahaya hutan yang remang.
Pandanganmu mulai mengabur, sedikit masih seperti ada saputan putih yang pudar,
lalu gelap dan sunyi.
Sunyi dan gelap.
Sesunyi desau dedaunan yang semakin jauh.
Kamu hanya bisa melihat dengan kaki yang telanjang
Merambati tanah dengan sedemikian hati-hati.
Tanah yang lembut dan basah, pada lorong yang semakin jauh.
Dan gelap semakin ada pada di antara dua kelopak matamu
Lalu kedua kelopak matamu semakin berat menekan ke bawah,
dan kau pun tenggelam dalam ketenangan
Kini, aku ingin mengajakmu berjalan pada sepuluh langkah yang kaukenal.
Dan pada langkah kesepuluh, kau akan menuju cahaya di sebuah mulut lorong.
Langkah satu, berjalanlah dengan senyap.
Langkah dua dan tiga, matamu mengenali warna lorong yang gelap.
Kakimu menyentuhi detail tanah lembut yang basah
Langkah empat, kau semakin jauh, dan matamu seribu kali lebih teduh
Langkah lima, enam, tujuh, kau meneliti tarikan dan hembusan napasmu yang tenang
Degup jantung pun ritmik terdengar dengan gerak yang teratur
Langkah delapan kau mulai melihat satu titik cahaya di depan, dan napasmu semakin tenang
Langkah sembilan, kau semakin mendekati cahaya yang kian membesar, membentuk spektrum yang memasuki lorong di mana kau berada.
Matamu mulai mengenal dinding sekelilingnya. Kau memberi warna, kau memberi rasa, dan kau mulai memahami, bahwa saat ini kau semakin mendekati mulut lorong itu.
Langkah sepuluh, kau kini persis berada di mulut lorong yang terang.
Di luar, cahaya kabut hutan yang damai, menenggelamkanmu dalam kesempurnaan hidup.
Kau hirup energinya, memasuki sel-sel tubuhmu, menebarkan kesehatan yang merambat dari kepala, wajah, leher, dada, tangan, perut, betis dan telapak kakimu.
Dan bersamaan dengan itu, kamu memandang hidup dengan semangat kebahagiaan yang sempurna
Hidup adalah cahaya kabut yang damai, adalah detak jantung yang sehat dan teratur, adalah tarikan napas yang segar dan lepas, adalah masa depan yang cerah
adalah tubuh yang sehat
adalah impian indah yang menjadi ada
Hiruplah cahaya kabut itu, dan kau menghirup semangat hidup yang menjalari setiap jalur napasmu.
Lalu diam. Dan nikmati saja ekstase diri, dalam senyap yang membuatmu malas untuk bergerak
Malas bergerak, dalam sunyi dan senyap.
Dalam tidur yang lelap
(Lalu pada tiga puluh detak jantungmu sejak ini waktu, kau pun terjaga pelan.
Pada tiga puluh detak jantungmu sejak ini waktu, kau terbangun dengan tenang.
Maka berhitunglah hingga tiga puluh detak jantungmu, sejak ini waktu...)
Asep Herna, 17 November 2011