Enaknya yang punya kampung, apalagi ke sebuah kampung indah yang ada di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah hmmm bikin iri. Melongok ke selokan saja rasanya maknyes. Got di sana adalah kali kecil berair jernih. Tanpa jentik nyamuk, kecuali ikan cere, udang, kepiting, dan ular kadut. Hawanya sejuk. Rumah keluarga besar itu merupakan bangunan tua dengan beberapa kali renovasi. Tampilannya sudah seperti kebanyakan rumah di Jakarta. Di ruang tengah berdiri gebyok jati abad 19, beberapa pintu berpalang kayu dan pawon yang bertungku kayu. Ada amben. Rumah sudah berlantai tegel dan keramik, penerangan bukan lagi sentir atau petromaks, dan pewaris rumah hanya pakai kain dan kebaya saat ada hajatan penting. Suguhan makan besarnya - salah satunya - adalah ikan nila goreng. Ikan nila dari kolam sendiri. Lalu, disantap sebagai teman makan nasi. Eh, jangan membayangkan nasi itu disuguhkan dalam sangku anyaman bambu ya? Tapi kami menciduknya langsung dari magicjar! Saat bersantap kenikmatannya lebih dari lumayan. Slurp. Menginap di sana seakan tinggal di sebuah vila di kawasan wisata Puncak.
BENDUNGAN GRUNGGUNGAN
Sebagai pemanasan sebelum ke tujuan wisata, kali kecil yang bersisian dengan sawah dekat rumah kami menginap kami sisiri. Gemericik air memang instrumental musik paling yahud, sementara pemandangan hamparan padi ibarat permadani penyejuk mata. Tujuan perjalanan adalah Bendungan Grunggungan yang didirikan tahun 1989, yang dengan berjalan kaki perlu sekitar tiga puluh menit yang terasa singkat. Di sana tak ada pengunjung lain, tak ada atraksi pertunjukan apapun atau pun pedagang suvenir. Yang ada cuma bendungan, desau pohon bambu dan kotekan kami karena tempat itu tidak dimaksudkan sebagai tempat tujuan wisata oleh pemerintah setempat. Sampai di sana ya cuma duduk beristirahat dan menikmati alam.
RAWA PENING
Desa kami berada di atas bukit, dan dari tempat kaki berpijak tampak Rawa Pening. Kata ‘pening’ berasal dari "bening". Rawa itu adalah sebuah danau sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas 2.670 HA, tempat ini menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.
Dengan berojeg ria dari Desa Kayuwangi, tempat kami menginap itu ke Rawa Pening perlu 15 menitan dengan ongkos sepuluh ribu perak. Kalau santai, tinggal jalan kaki turun ke kaki bukit sambil menikmati pemandangannya yang ciamik. Lalu, naik (the one and only) angkot yang biasa beroperasi, dan cukup bilang pada kenek atau supir dengan tata krama ketimuran, “Ke Rawa Pening, Mas!” maka Anda akan diantar sampai depan gerbang.
Tentang Rawa Pening, ada sebuah cerita fantastis yang pernah dituturkan seorang tetua di sana bertahun – tahun yang lalu. Konon di dalam Rawa Pening itu hiduplah seekor ular sebesar pohon kelapa! Hiiii … Ya ya ya, memang bikin bergidik. Makanya ketika bertandang ke tempat itu, imajinasi saya sudah kemana – mana, membayangkan ada mahluk itu dibalik eceng gondok yang menutupi danau itu. Padahal tempat itu sangat indah, cahaya matahari pagi memang bikin efek kehangatan dramatis. Di lokasi yang sama terdapat area wisata, Bukit Cinta, nama yang provokatif. Patung naga melengkapi keunikan tempat itu seolah – olah menegaskan tentang legenda Rawa Pening itu.
Asal Usul Rawa Pening
Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri. Penduduk desa tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami, namun ia hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah? Siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomoyo. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah? Siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomoyo. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta.
Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!” Nenek menuruti saran anak itu.
Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta. Ia coba ikut dan meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu, bahkan ia ditendang agar ergi dari tempat pesta. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam, kecuali janda tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa menjadi rawa-rawa, karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening” yang berada di kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Harga Tiket pada hari biasa: Rp 3.000, hari libur dan tanggal merah: Rp 3.500, tarif Kapal: Rp 30.000 / 30 menit maksimal 8 orang.
CANDI GEDONG SONGO
Kalau sudah di kampung, Candi Gedong Songo selalu terangan – angan kembali. Terakhir ke sana tiga puluh tahun yang lalu. Kesadaran tentang sejarah ketika masih di bangku SD dan masa dewasa jelas berbeda. Candi ini termasuk salah satu peninggalan budaya Hindu dari zaman Syainlendra pada abad IX (tahun 927M). Lokasinya berada di desa Candi Kecamatan Ambarawa di lereng Gunung Ungaran. Jarak Gedong Songo - Kota Ambarawa 14 km, dan Gedong Songo - Kota Semarang 39 km .
Dalam http://www.indahnesia.info/2010/06/pagi-hari-di-kompleks-candi-gedong.html dikatakan, gedong dalam bahasa Jawa artinya bangunan, songo artinya sembilan. Secara harafiah, Gedong Songo artinya sembilan bangunan. Namun, pada kenyataannya, jumlah candi yang terdapat di kompleks ini resminya hanya lima (beberapa referensi menyebutkan enam). Lalu, mengapa disebut Gedong Songo?
Kompleks candi yang berdiri sekitar abad 8-9 M ini ditemukan oleh penjajah Belanda pada abad ke-18. Waktu itu, mereka mencatat ada sembilan buah bangunan candi di dalam kompleks ini. Inventarisasi berikutnya yang dilakukan sekitar abad ke-19 awal, entah mereka mencatat dengan baik atau tidak, sempat tercatat hanya tujuh bangunan yang tampak hingga pernah disebut Gedong Pitoe oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Tampaknya fenomena ini bukanlah sesuatu hal yang mistis. Penginventarisasian pada jaman dahulu yang agak semrawut mungkin menjadi penyebabnya. Barulah pada awal abad ke-20, bangunan-bangunan dalam kompleks candi ini secara resmi diketahui hanya ada lima buah saja, hingga sekarang (sekali lagi, beberapa referensi menyebutkan enam kompleks candi).
Posisi lokasi candi berjauhan bisa bikin lelah, tetapi jasa penyewaan kuda sebagai transportasi sudah disiapkan untuk disewa. Jadi tidak perlu khawatir, pengunjung bisa menyewa kuda-kuda itu. Gedong Songo ini buka mulai pukul 06.30 - 17.00. Sepotong tiket masuk harganya Rp. 5.000.
PALAGAN AMBARAWA
Di sini pengunjung bisa lihat sepenggal peninggalan perjuangan tentara Indonesia melawan kompeni. Lokasinya berada di pusat kota Ambarawa. Jarak Palagan - Kota Ungaran 15 km, Palagan - Kota Semarang 35 km.
Museum Isdiman (Monumen Palagan Ambarawa) didirikan pada 15 Desember 1973 dan diresmikan pada 15 Desember 1974 oleh Presiden RI ke-2 yakni Presiden Soeharto. Museum Isdiman didirikan untuk mengenang pertempuran yang terjadi di Ambarawa melawan sekutu. Di mana pada peristiwa yang heroik tersebut gugur Let.Kol Isdiman yang diberondong oleh sekutu pada saat timbang terima jabatan di SD Tempuran (Jambu) tak jauh dari kota Ambarawa. Jalannya pertempuran dipimpin langsung oleh Kol. Sudirman dengan siasat Supit Urang mulai tanggal 20 November 1945 – 15 Desember 1945. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1945 dijadikan hari Infanteri. Monumen ini sendiri didirikan pertama kali tanggal 15 Desember 1973 (peletakan batu pertama). Jumlah koleksi yang ada di museum ini adalah pakaian sejumlah 5 set, senjata 25 jenis, lukisan-lukisan dan maket teknik supit urang, 1 pesawat, 1 kereta, 1 tank, 2 truk, dan meriam. Sementara koleksi utama dari museum ini berupa senjata dan pakaian yang digunakan dalam pertempuran di Palangan Ambarawa.
Buka setiap hari Pukul 08.00 – 16.00. Biaya tiket masuk pada hari biasa Rp 4.000, hari Minggu/besar Rp 5.000.
Lokasi di kota Ambarawa. Berdekatan dengan Palagan Ambarawa. Jarak Museum Kereta api - Kota Ungaran 15 km, Palagan - Kota Semarang 35 km.
Kota Ambarawa di Jawa Tengah merupakan kota tua yang pada jaman kolonial Belanda merupakan daerah militer. Menjelang akhir abad ke-19 Raja Belanda ketika itu, Willem I, ingin mendirikan stasiun kereta api di kota itu guna memudahkan mengangkut pasukannya menuju Semarang. Maka, pada, 21 Mei 1873 dibangunlah Stasiun Kereta Api Ambarawa di atas tanah seluas 127.500 meter persegi. Stasiun itu kemudian dikenal dengan sebutan Stasiun Willem I.
Pada 1970an, kegiatan di stasiun itu mulai ditutup. Mula-mula yang dihentikan pengoperasiannya adalah jalur Ambarawa - Kedungjati - Semarang. Pada 1976, layanan untuk lintas Ambarawa - Secang - Magelang, serta Ambarawa - Parakan - Temanggung juga ditutup.
Setelah penutupan kegiatan itu, Stasiun Kereta Api Ambarawa dijadikan Museum Kereta Api. Peresmian museum dilaksanakan pada 8 April 1976 oleh Gubernur Jawa Tengah kala itu Supardjo Rustam bersama Kepala PJKA Eksploitasi, Soeharso. Sebanyak 21 lokomotif kuno yang menggunakan bahan bakar kayu yang pernah digunakan dalam pertempuran, khususnya kereta yang mengangkut tentara Indonesia dalam perang menghadapi tentara Belanda, diabadikan di sana.
Museum Kereta Api Ambarawa merupakan satu-satunya museum kereta api berteknologi kuno yang digunakan sebagai alat transportasi sejak masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia sampai dengan tahun 1964. Lokomotif yang ada di museum itu merupakan penarik gerbong yang digerakkan dengan bahan bakar kayu dan batu bara. Tiga lokomotif di antaranya masih dapat beroperasi dengan baik.Di museum itu juga terdapat tiga mesin hitung, tiga mesin ketik, beberapa pesawat telepon dan peralatan kuno lainnya yang dulu digunakan di stasiun tersebut.
Wisatawan yang datang ke museum itu akan disuguhi pemandangan alam yang indah, bangunan dengan arsitek kuno, dan lokomotif dengan menggunakan bahan bakar kayu dan batu bara. Pengunjung juga masih bisa menikmati perjalanan dengan kereta api kuno tersebut.
Stasiun Ambarawa memiliki lokomotif tua yang masih sanggup digunakan untuk mendaki jalur pegunungan dengan roda bergigi. Kereta bergerigi itu masih mampu berjalan pada kemiringan 30 derajat menuju stasiun Bedono yang berjarak sembilan kilo meter dengan waktu tempuh satu jam dengan penumpang 80 orang. Untuk menikmati perjalanan wisata menggunakan kereta api uap bergerigi buatan Jerman tahun 1902 dan dua gerbong buatan Belanda tahun 1911, wisatawan dikenakan tarif dua juta rupiah untuk sekali jalan, namun mampu mengangkut puluhan orang. Tiket masuk museum seharga Rp. 3.000 untuk orang dewasa dan Rp. 2.000 untuk anak – anak.
KOLAM PEMANDIAN MUNCUL
Tempat ini ada di kaki bukit tempat kami menginap. Di sisi bukit yang lain. Terkenal sebagai kolam renang umum yang airnya jernih dan sangat dingin. Lokasinya berada di Desa Rowo Boni, Kecamatan Banyubiru. Jarak dari Ambarawa - Pemandian Muncul adalah delapan kilometer. (*)
Referensi :