siapkan selembar peta wajah bumi, lalu bacalah puisi di setiap kerut tanahnya. di sana kami
membangun mesin dari lempengan rasa lapar. tiada pilihan lain kecuali menciptakan pilihan
kami sendiri. lalu kami pun menetek pada pabrik – pabrik, pada zigzag jarum di mesin – mesin
jahit, membordir mulut kami yang selalu sobek terbuka.
gambarlah garis-garis di mana bisa kau letakkan angka – angka. semua menari merayakan
hasrat manusia, dan di hiruk-pikuk semacam itu kami teringat burung-burung dan pepohonan
di sajak-sajak kami sebelum ini. di buku-buku, para penghitung laba, penggali bumi, juga
para perambah tanah begitu gairah mencari cara membuat kota, mesin penggemuk juga
pemangsa manusia, dan di wajah setiap kota kami, terpasang senyum pahit sakit hati.
sementara di pojok beta, kami lupa waktu. terlalu asyik merancang sebuah kota yang seluruh
bangunannya terbuat dari sirih rambat, daun bayam, bambu jalar, dan kembang mawar.
TS Pinang, 2008