Seharusnya saya bisa membaca motif Jejes (10) memaksa ikut ke pasar. Karena sesampainya di sana, begitu dilihatnya ada sesuatu yang menarik, tangan saya ditahan dan ia tidak mau bergerak bagai jangkar yang mengait dasar laut. Hewan peliharaan yang lain bolehlah saya setujui, tapi tidak untuk anak ayam. Namun, karena wajahnya berubah sendu, saya pun mengalah dan membelikannya seekor anak ayam, sambil menceramahinya ini- itu.
Tapi pada waktunya pulang ke rumahnya sendiri, Jejes malah meninggalkan Seli di tempat kami. Ini momen yang benar - benar membuat saya tepok jidat, dan dengan lirih berusaha menjeritkan kata, “Tidaaaaak……!”- Iya, saya panik. Hufh! Tarik napas sebentar. Tidak apa – apa, pikir saya. Saya pernah bersenang – senang dengan semua binatang peliharaan yang dihibahkannya. Maka saya pikir, saya akan membuatkan kandang yang nyaman yang dilengkapi lampu neon ber-watt kecil yang selalu menyala supaya Seli hangat. Malamnya akan saya siapkan tumbukan beras atau pur mana tahu ia bangun tengah malam dan lapar. Lalu, wadah makanan dan minumannya akan sering – sering saya cuci supaya ia mendapatkan tempat tinggal yang higenis, dan seterusnya. Begitulah, akhirnya Seli berada dalam pengasuhan saya.
Kalau anak - anak datang, mereka senang bermain dengan Seli. Ketika satu minggu berlalu, saya pikir masa kritis sudah berlalu, Seli akan beranjak remaja dan menjelma jadi ayam jago yang gagah atau induk ayam yang gendut. Tahunya Seli tidak napsu makan dan BAB-nya berubah.
Suatu pagi tak saya dengar lagi Seli berkeciapan seperti biasa. Ruangan masih lengang dan dingin sebagaimana kesejukan pagi meresap ke dalam rumah, tapi ada perasaan mencekam. Waktu saya tengok ke kandang Seli, ternyata anak ayam itu sudah terbujur kaku. I'm a big girl dan kisah saya dengan Yanto sudah lewat 25 tahunan, tetapi melihat kejadian hari itu, lucunya (meskipun sama sekali tidak lucu) sedih yang saya rasakan masih sama seperti dulu.
'Dulu' yang saya maksud itu adalah ketika baru pulang dari sekolah dan masih mengenakan seragam putih – merah. Saya dapati Yanto diam selamanya. Saya tahu Yanto sakit, tapi kami kira ia anak ayam yang kuat. Nyatanya siang itu langit mendung. Sendirian, saya kuburkan Yanto dalam pot kembang di samping rumah.
Demikian pula Seli, ia saya kuburkan dalam pot kembang. Jejes yang saya kabarkan tentang kematian Seli sehabis pulang sekolah, menatap nanar saya dan ingin membuka kuburnya. Katanya, ia ingin melihat Seli untuk yang terakhir kali. Grrrh! Anak-anak! Tentu saja tak boleh begitu. Biar yang mati adalah binatang.
Saya selalu mengira kisah masa kecil dengan Yanto adalah kisah paling haru biru seantero jagat raya sampai Tetsuko Kuroyanagi menuturkan salah satu kisahnya dalam bab “Satu – satunya yang Kuinginkan” dalam Gadis Cilik di Jendela. Penulis itu mengisahkan pengalaman kehilangan dan perpisahan dengan dua unggas kecil yang sangat diidamkannya.
Rupanya banyak anak di dunia ini yang mengalami hal yang sama. Apa yang harus diucapkan lagi? Sepanjang yang bisa saya pikirkan, Allah sudah menjatuhkan ketentuannya. Apapun upaya yang diperbuat untuk merawat Seli hingga besar sudah berakhir. Kau tidak bisa mengembalikan rohnya kembali ke tubuh yang beku itu. Karena Seli dan saudara – saudaranya ditakdirkan hidup hanya sebentar. Mereka memang lucu, berwarna – warni dan menggemaskan, tapi mereka afkiran. Sekarang tidak ada apa-apa lagi. Yang sudah mati hanya meninggalkan kenangan. (Q)