Napaktilas XV
Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya menggelar acaranya yang ke – 15. Saya skip ketika perhelatan mereka yang ke – 14 menuju Batu Jaya. Jadi keikutsertaan kali ini adalah acara mahapenting untuk melengkapi koleksi situs yang dikunjungi bersama mereka. Pada Minggu, 5 April 2015 pukul 07.00 peserta berkumpul di depan Bogor Trade World, Kota Bogor. Hari cerah, udara sejuk mengantar sedikitnya 28 orang ke tujuan. Rencananya, rute yang akan dikunjungi Situs Garisul, Jasinga - Batu Tapak Harkatjaya Cigudeg - Setu Cigudeg - Mausoleum van Motman - Bendung Gunung Bubut PLTA Cikaracak - Museum Pasir Angin. Pada acara kali ini tiap peserta dikenakan biaya Rp.140.000,00 /orang. Biaya yang relatif ringan untuk sebuah wisata sejarah.
Lokasi yang kami kunjungi berada di Bogor Barat. Yang pertama disambangi adalah Situs Garisul. Jarak dari parkir bus ke lokasi adalah 500 ratus meter. Kami melalui jalan setapak. Di tengah perjalanan sebuah jembatan gantung jadi obyek menarik pertama ke makam dan tak urung para fotografer mulai beraksi. Demikian memang patut dimaklumi karena perpaduan jembatan gantung dan sungai berbatu merupakan pemandangan yang indah. Mubazir jika diabaikan. :P
Nah, sembari mengunjungi langsung obyeknya, pengetahuan tentang tempat – tempat itu tersebar di internet. Berikut ini adalah copas dari tulisan itu dan penyusunannya berdasarkan urutan kunjungan rombongan.
Makam Raja – raja Islam, Garisul
Situs Garisul terletak di Kampung Garisul, Desa Kalong Sawah, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Situs itu merupakan kompleks makam Islam era abad ke - 19. Dari https://ensiklopediwisataindonesia.wordpress.com/…/situs-g…/ Diperoleh informasi sebagai berikut. Luas area Situs Pemakaman Garisul kurang lebih 3.000 m2. Posisinya menghadap ke barat. Peninggalan bersejarah ini berasal dari abad ke-15 sampai 16 M. Dalam dekade tertentu merupakan peninggalan zaman perkembangan dan kebudayaan Islam. Namun, pada salah satu peninggalannya terdapat angka 1021-1031 Hijriah.
Di antara kumpulan makam kuno tersebut ada 9 makam utama yang merupakan simbol dari kepemimpinan. Bentuk bangunan diketahui mempunyai ciri-ciri tersendiri yang merupakan pengaruh kebesarannya. Analisis ini diambil berdasarkan makam serta ketinggian batu nisan. Hasil pengamatan dapat diketahui bahwa di antara ke-9 makam kuno tersebut terdapat nama Syekh Ishak, Panglima Sultan Hasanudin Banten dan para istrinya. Salah satu di antaranya adalah putri raja dari Kerajaan Kediri.
Yang menarik adalah setiap batu nisan mempunyai keseragaman pada jenis batu dan motifnya, dengan ketinggian rata-rata di atas permukaan tanah sekitar 20-30 cm. Selain itu, di setiap makam bercirikan satu tunggul atau satu batu nisan saja yang mempunyai relief/kaligrafi bertuliskan huruf Arab gundul, yakni berbentuk kubah atau segi tiga yang melambangkan makam prajurit. Di lokasi ini juga terdapat 9 buah batu nisan dengan ciri tersendiri, letaknya di tengah nisan lainnya. Dari 9 buah batu nisan, 7 di antaranya mempunyai bentuk lekukan yang berbeda dengan nisan lainnya yang menunjukkan bahwa 7 makam laki-laki dan yang 2 adalah makam wanita. Tinggi makam pembesar itu rata-rata 60-70 cm dengan relief dan huruf kaligrafi lebih banyak. Jarak antara satu dengan yang lainnya 170-200 cm. Nama-nama yang disebutkan terbatas pada pengetahuan yang ada, di antaranya disebutkan: Syekh Ariffuddin, Beberapa panglima perang pasukan Sultan Hasanudin, 2 orang putri raja Demak dan Cirebon, Pemimpin pasukan: Ishak. Ditinjau dari angka tahun penangalan perlu penelusuran lebih lanjut, sebab bermunculan keragaman dalam mengintreprestasikan angka tahun yang masih samar, yakni tahun 1015, 1501, dan 1021 karena tidak ada tanda-tanda petunjuk jenis tahun, apakah tahun Hijriyah, tahun Saka Jawa, atau tahun Saka Hindu.
Sebagai informasi tambahan disebutkan bahwa di makam utama dari depan saung terdapat 10 nisan bernama: (1) Syekh Syarifudin; (2) Syekh Mada; (3) Ratu Nyimas Sri Kerti Mukti; (4) Ratu Dewi Manggala; (5) belum diketahui; (6) Syekh Daud bin Syekh Mansur Cikaduweun; (7) Syekh Ishak (Ahli Tafsir); (8) Syekh Iman (Ahli Tajwid); (9) Syekh Purwa Kawasa (Ahli Perang); (10) belum diketahui.
Di luar makam kesepuluh nisan itu ada Pangeran Mangku Bumi, Pangeran Jaga Raksa, Syekh Muji, Pangeran Kerta Kencana, Ageng Manggala (istri Kerta Kencana), Pengeran Sukma Jagat, Pangeran Soca Manggala, Syekh Abdullah bin Yasin bin Yusuf, dan Syekh Yaman di tengah-tengah. Di luar dari makan raja-raja Islam ini terdapat makam Syekh Sandong (artinya selendang yang digendong dan dia seorang yang pendiam maka dikenal sebagai Mbah Sadiem).
Adapun keterangan Ketua Komunitas Napak Peninggalan Budaya, Hendra M. Astari yang mengutip Uka Tjandrasasmita (2009) bahwa situs ini telah disinggung pertama kali oleh Dr. Hoesein Djajadiningrat sebagai salah satu situs bercorak Islam yang ada di wilayah Bogor bagian Barat.
Penelitian yang intensif baru dilakukan oleh Muhammad Thoha Idris tahun 1990-an. Idris (1995) menyebutkan bahwa tipologi nisan Garisul sangat terkait dengan nisan yang ada di Banten Lama.
Beberapa nisan yg msh terbaca antara lain: makam Haji Syarif tahun 1200 H/1822 M, makam Embah Adong tahun 1215 H/1837 M, dan ada juga nisan kubur dari tahun 1238 H/1860 M. Angka-angka tahun dari abad ke-19 itu jelas ada kaitannya dengan masa pergerakan rakyat melawan penjajah yang mungkin semula mereka berada di Banten.
Musoleum van Motman
|
Musoleum van Motman |
Keluarga van Motman adalah tuan tanah yang mempunyai perkebunan yang sangat luas di wilayah Bogor pada akhir abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20. Wilayah perkebunannya meliputi daerah Dramaga, Jambu, sampai Jasinga. Moyang van Motman pertama yang menjejakkan kakinya di tanah Jawa adalah Gerrit Willem Casimir van Motman. Dia dilahirkan di Genneperhuis, Negeri Belanda pada 11 Januari 1773. Gerrit Willem sampai di Buitenzorg (sebutan Bogor waktu itu) pada usia yang terhitung masih muda.
Dengan kerja kerasnya, van Motman muda ini sudah berhasil menjadi tuan tanah pada masa pemerintahan Guberbur Jenderal Daendles (1808-1811). Tanah yang dikuasainya meliputi daerah yang cukup luas di sebelah barat Bogor. Gerrit Willem mula-mula mengusahakan tanaman tebu dan kopi di tanah perkebunannya. Tebu dan kopi adalah dua komoditas perkebunan yang menjanjikan keuntungan berlipat waktu itu.
Sebagai tuan tanah yang memiliki lahan perkebunan yang terhitung luas, setidaknya Menir Motman membangun pesanggrahan (landhuis) di tiga tempat yang berbeda, yaitu di Dramaga, Jambu dan Jasinga. Bangunan landhuis di Dramaga masih berdiri sampai sekarang, sedangkan landhuis Jasinga keberadaannya dibuktikan dari sebuah foto koleksi Tropenmuseum Belanda yang memperlihatkan sebuah rumah tak jauh dari aliran sungai Cidurian. Adapun rumah yang di Jambu tidak jelas di mana keberadaannya.
Sempat adanya landhuis van Motman di afdeling Jambu bisa disimpulkan dari keterangan di situs www.uwstamboomonline.nl yang menyebutkan adanya empat anak Gerrit Willem yang dilahirkan di tempat ini antara tahun 1811-1814.
Tentang Gerrit Willem Casimir sendiri tidak jelas di mana dimakamkannya. Dia meninggal tanggal 25 Mei 1821 di Dramaga, dan disebutkan dikuburkan di Jasinga. Begitu pula tidak ada keterangan tentang jasad siapa saja yang diawetkan di cungkup moseleum Jambu ini. Hanya saja masyarakat setempat menyebutkan, sampai tahun 1965 masih terlihat empat jasad keluarga van Motman di dalam bangunan moseleum yang di tempatkan di dalam peti kayu yang sisi atasnya ditutupi kaca.
Keadaan mausoleum pada saat dikunjungi ini tak berbeda jauh dari penggambaran yang ditulis Hendra M. Astari pada tahun 2010 itu. Sampai sekarang bangunan moseleum di kompleks astana ini masih berdiri kokoh. Walaupun keadaannya terlihat kumuh dan tak terawat. Bangunan seluas kira-kira 40 m² ini dominan berwarna putih, dengan bagian yang mulai menghitam di sana-sini. Bangunan moseleum ini berbentuk letter plus (palang), dan menurut Anthony Holle, salah seorang kerabat keluarga van Motman, arsitekturnya merupakan replika dari gereja Santo Petrus yang berada di Kota Roma, Italia.
Cungkup ini orientasinya menghadap ke arah utara-selatan. Pintu masuknya berada di sebelah selatan. Dahulunya terdapat daun pintu di lawang masuk ini, tetapi sekarang keadaannya kosong melompong tanpa penghalang. Ukuran lawang pintu ini kira-kira 2 X 1,5 m. Tepat di atas pintu masuk terdapat tulisan “FAM: P.R. v MOTMAN”.
Ornamen ram kaca di setiap dinding bagian atas yang berbentuk setengah lingkaran telah bolong tanpa kaca penutupnya, yang tertinggal tinggal rangka kayuna. Pada bagian atas bangunan, tepat di tengahnya ada kubah segi delapan bergaris tengah 1,5 meter.
Di bagian dalam bangunan, sisi sebelah barat dan timurnya ada ruangan seperti kamar yang dibagi menjadi dua tingkat. Di tempat inilah disemayamkan empat jasad mumi keluarga van Motman. Di bagian dalam bangungan ini masih terlihat rangka besi behel berserakan, sepertinya telah dicabut dengan paksa. Juga terlihat coretan hasil aksi vandalisme di sekeliling dinding bangunan.
Di dinding selatan dan utara bagian dalam, masih terlihat warna cat hijau melapisi dindingnya. Malahan ragam hiasnya juga masih terlihat jelas. Di dinding ini juga tak lepas dari aksi vandalisme, banyak terdapat coretan yang tidak tentu artinya.
Di halaman luar moseleum, keadaannya sangat mengkhawatirkan. Tanaman semak dan rumput liar tumbuh di mana-mana, begitu pula dengan talas liar banyak tumbuh di sana. Sepertinya halaman ini telah dijadikan kebun, karena telah ditanami oleh beberapa tumbuhan seperti pisang dan tanaman albasia.
Di halaman cungkup ini masih terlihat adanya 12 pilar bekas nisan kuburan Belanda. Pilar-pilar tersebut keadaannya merana sekali karena telah ditumbuhi oleh tanaman merambat. Luas keseluruhan lahan kompleks Astana van Motman ini sekarang tinggal 600 m².
Museum Pasir Angin
|
Komunitas Napaktilas Peninggalan Budaya di Museum Pasir Angin |
Situs Pasir Angin terletak di Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Bukit Pasir Angin berada tidak jauh dari aliran sungai Cianten. Situs ini ditandai dengan adanya sebuah batu monolit. Yang istimewa dari monolit ini adalah memiliki bidang datar di beberapa sisinya. Orientasi dari monolit setinggi 1,2 meter ini menghadap ke arah timur.
Bagi orang awam sepertinya tidak ada yang aneh dari seonggok batu di puncak bukit ini, tetapi bagi para ahli, batu yang memiliki bidang datar dan berada di ketinggian, serta tidak jauh dari aliran sungai akan sangat menarik perhatian.
Esensi dari kehidupan bercorak megalitik adalah adanya pemujaan terhadap arwah para leluhur. Dan para pendukung kebudayaan ini percaya bahwa tempat-tempat tinggi seperti gunung dan bukit merupakan tempat bersemayamnya arwah-arwah tersebut. Sehingga tidak mengherankan jika di ketinggian banyak ditemui peninggalan tempat pemujaan (punden), seperti halnya situs Pasir Angin.
Di situs ini pada tahun 1970 dilakukan ekskavasi atau upaya penggalian yang dilakukan oleh tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) yang dipimpin oleh R.P. Soejono. Ekskavasi ini berlangsung sampai tahun 1975.
Dari penggalian ini dihasilkan banyak artefak-artefak yang menunjukkan bahwa situs ini dahulunya merupakan tempat nenek moyang kita melakukan kegiatan ritual. Barang-barang yang ditemukan di sini, antara lain: kapak perunggu, tongkat perunggu, manik-manik batu daun kaca, mata tombak, kapak besi, gerabah, dan lain-lain.
Dari penggalian ini terlihat bahwa barang-barang yang ditemukan ternyata berada di sekitar batu monolit dan berkumpul membujur dari barat ke timur. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan yang melibatkan benda-benda temuan tersebut dipusatkan pada batu monolit ini.
Mengenai orientasi kegiatan di sekitar monolit dengan arah hadap timur-barat, menurut Haris Sukendar, hal ini disejajarkan dengan perjalanan matahari. Tempat matahari terbit, yaitu di timur merupakan perlambang dari kelahiran atau kehidupan, sementara tempat tenggelam matahari di barat merupakan simbol dari kematian.
Diperkirakan situs Pasir Angin ini digunakan menjadi tempat ritual pada masa logam awal sekitar tahun 600 – 200 SM. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis radio aktif atom karbon C14 dari sampel arang di situs tersebut yang menunjukan pertanggalan absolut dari tahun 1000 SM sampai 1000 tahun Masehi. Kira-kira selama 2000 tahun upacara atau tradisi megalitik terus berlangsung di tempat ini.
Penelitian dan penggalian yang dilakukan selama kurang lebih enam tahun di situs Pasir Angin ini telah menghasilkan begitu banyak barang temuan. Untuk menyimpan benda-benda tersebut akhirnya dibangunlah site museum di tempat ini pada tahun 1976.
Memang tidak semua benda hasil penggalian ditempatkan di museum ini, ada juga yang dibawa ke Jakarta dan disimpan di museum pusat dan di kantor Puslitarkenas.
Museum Purbakala Pasir Angin yang dibangun tak jauh dari batu monolit ini, selanjutnya tidak hanya menyimpan benda purbakala dari situs ini, tetapi juga dari situs-situs lain di sekitar Bogor. Seperti sejumlah arca dari situs Gunung Cibodas Ciampea yang keadaannya banyak yang tidak utuh lagi. Disimpan juga di museum ini manik-manik dan guci keramik yang ditemukan secara tidak sengaja di situs Pasir Gintung.
Sampai sekarang museum Pasir Angin merupakan satu-satunya museum yang berada di wilayah kabupaten Bogor. Sebagai tempat penyimpan benda-benda bersejarah tentunya museum ini bisa dioptimalkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu sejarah dan arkeologi. Keberadaannya juga bisa untuk lebih mengenalkan para generasi muda terhadap sejarah masa lalu bangsanya, sehingga para penerus bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya.
Keberadaan situs Pasir Angin dan museumnya merupakan cermin perjalanan budaya megalitik di Indonesia. Ritus pemujaan di tempat ini ternyata dilakukan dari masa prasejarah sampai terus tembus ke masa sejarah (kira-kira abad ke-10).
PLTA Karacak
Keberadaan Waduk Gunung Bubut berkaitan erat dengan berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kracak. Waduk ini dimaksudkan untuk tempat menghimpun air agar turbin PLTA senantiasa berputar sepanjang waktu. Sehingga PLTA ini dapat terus beroperasi dan secara berkesinambungan dapat menyuplai listrik ke konsumennya.
Melihat cukup luasnya areal Waduk Gunung Bubut ini, bisa diperkirakan pembangunannya memakan waktu yang cukup lama. Bila PLTA Kracak mulai beroperasi tahun 1926, tentunya berbagai persiapan termasuk pembangunan Waduk Gunung Bubut dilakukan sebelumnya. Diperkirakan selesainya pembangunan waduk ini pada tahun 1925 atau paling telat awal tahun 1926.
Secara resmi pihak PLTA Kracak menamakan waduk ini dengan istilah Kolam Tando Air (KTA). Sementara masyarakat setempat menyebut tempat ini dengan nama Gunung Bubut. Mungkin sudah menjadi ingatan kolektif masyarakat, bahwa pembangunan waduk dilakukan dengan cara membubut (menggali/melubangi) gunung (bukit), sehingga sebutan Gunung Bubut atau gunung yang dibubut lebih membekas dibanding sebutan kolam tando air versi PLTA.
Waduk Gunung Bubut atau Kolam Tando Air (KTA) berlokasi di Kampung Karacak, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang. Hanya 300 meter dari pinggir jalan kabupaten Leuwiliang – Puraseda, dan sekitar 5 kilometer dari kantor kecamatan Leuwiliang.
Waduk ini dibuat dengan konstruksi beton. Luas areal permukaan waduknya sendiri mencapai 42.000 m², sedangkan luas dasarnya 35.000 m². Waduk ini dapat menampung air sebanyak 187.000 m³ dan ketinggian air maksimal yang bisa ditampung adalah sampai 7,25 m.
Berada di ketinggian 388 m dpl, waduk inipun dilengkapi dengan jalur limpasan air atau spillway. Hal ini untuk safetyjika terjadi keadaan over capacity, air yang berlebih bisa dialirkan melalui jalur ini, langsung menuju sungai Cianten.
Waduk Gunung Bubut berfungsi untuk menampung air yang dialirkan dari Bendung Cianten di Desa Karyasari dan Bendung Cikuluwung di Cibitung Kulon yang berada di daerah hulu. Dengan bantuan gravitasi bumi, dari waduk ini air dialirkan melalui dua pipa pesat (penstock) dengan diameter sekitar 2 meter menuju turbin PLTA yang dipasang di Rumah Pembangkit (Power House).
Untuk mencapai Waduk Gunung Bubut ini, dari Jalan Karacak kita bisa berjalan kaki menyusuri jalan kecil di sisi jalur pipa pesat. Kontur jalannya cenderung menanjak dan puncaknya kita akan melewati tanjakan terjal dengan sekitar 200 anak tanggga menuju waduk ini.
|
Pertemuan Dua Sungai : Cianten dan Cikuluwung |
Sumber: