Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Mengunjungi Museum

  • Senin, 04 Januari 2016
  • rani nuralam
  • Label: ,

  • Karya Aan Mansyur


    1.
    Ada remaja abadi yang tidak kaukenal dalam diriku.
    Selalu, di museum yang sama, ia seperti patung
    belum dirampungkan pahat. Ia tak mampu
    membedakan antara menghadapi lukisan dan berdiri
    di puncak tebing. Ia menjatahkan diri ke semesta
    benda-benda di bingkai ketika belum jadi bangkai
    atau hantu.

    Tempat tidur dan segala yang tertanggal di atasnya
    masih pepohonan. Bekas luka dan kesendirian
    perempuan itu masih kuda muda liar dan
    senyuman. Dan lain-lain yang hanya terlihat jika
    kausentuh. Waktu, umpama, sebelum terkutuk jadi
    kalender atau jam dinding yang ketagihan
    mengulang hidup dan tidak menyelesaikannya.

    Dunia lama selalu baru terjadi di hadapannya. Ia
    menjauhkan diri dari segala yang ada di luar pintu
    museum. Ia merasa terjebak di antara doa dan
    ciuman pertama. Jika ia menganggap lukisan
    sebagai keindahan, semesta itu memudar. Ia tidak
    ingin aman dan tercatat sebagai penghuni masa
    lampau terlalu cepat.
    Ia dan seorang gadis di sekolahnya pernah saling
    jatuh mencintai. Semua pria dewasa, termasuk guru,
    hanya orang bodoh di depan gadis itu. Ia ingin gadis
    itu tumbuh lebih nyata dari kecantikannya. Ia ingin
    menjadi sihir dan gadis itu percaya pada keajaiban.

    2.
    Ia ingin sihir tampak nyata dari lukisan atau
    lebih hidup dari seluruh yang sibuk di luar museum.
    Tapi ia tak ingin cinta jadi tangga yang mengangkat
    merendahkan diri sendiri.

    3.
    Ia setuju, dan ia tak setuju. Ia melihat gadis itu tak
    mampu menerima hidupnya sendiri sebagai
    kesibukan yang lumrah dan boleh ditunda. Ia
    mengejar dirinya sebagai karir, mengubah
    kecantikannya jadi jam kerja.

    Di museum, ia ingin mengembalikan bekas luka di
    punggung perempuan itu jadi senyuman. Ia ingin
    meniupkan apapun yang mampu mengubah ranjang,
    selimut, dan pakaian perempuan itu jadi serat-serat
    pohon. Ia ingin menjadi penyair atau, setidaknya,
    kembali jadi seorang yang belum pernah bercita-cita
    mengenal kuas dan warna. Ia ingin jadi pencuri
    takdir sendiri, pulang ke sekolah yang tidak kenal
    ujian dan acara penamatan.

    4.
    “Setiap orang adalah lukisan, jika tak membiarkan
    diri terperangkap bingkai,” kata pelayan toko buku
    itu pada hari terakhir bekerja, hari terakhir sebelum
    jadi hantu lain di pikiran remaja abadi dalam diriku.
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint