Bagai
oleh Lan Fang
aku menantikanmu bagai tetes tirta di pasir,
bagai kesunyataan hujan tanpa air, zikir tanpa akhir.
aku mencintaimu bagai laut,
bagai induk semua anak sungai, muara semua kabut.
aku merindukanmu bagai pengembara cakrawala,
: sedang kau bagaimana?
aku menantikanmu bagai tetes tirta di pasir,
bagai kesunyataan hujan tanpa air, zikir tanpa akhir.
aku mencintaimu bagai laut,
bagai induk semua anak sungai, muara semua kabut.
aku merindukanmu bagai pengembara cakrawala,
: sedang kau bagaimana?
9 Rubaiyat Langit dan Hujan
Oleh Lan Fang
(1)
kau sedikit sekali kusimpan dalam kenangan.
apakah cinta harus memiliki banyak ingatan?
bukankah sebongkah awan
sudah cukup mencucurkan hujan?
(2)
kita bersisian tak memberi sela untuk udara.
“aku rindu jadi sengaja mimpi kuciptakan.
kita di sana. tapi bila kau sendirian saja
lihatlah, rintik hujan masih bertahan.”
(3)
rindu hujan tak terlihat di mana dasarnya,
langit: “bila terlalu dalam nanti kau menangis,”
diam-diam hujan menghimpun desis gerimis
yang bergelayutan di ujung harum hio sua.
(4)
“tidakkah kau mencintaiku?” hujan
tak berharap langit mengiyakan.
hujan hanya ingin mencium pelupuknya
ketika dipandang begitu mesra.
(5)
aku ingin memujamu seperti hujan.
menurutmu, “jangan”
hujan adalah tangis langit.
tetap basah ketika kemarau yang sulit.
(6)
apakah yang paling penting bila hujan reda?
sorak kanak-kanak bermain bola dan sepeda.
tidak. pergilah ke pekarangan dan tengok saja
hatiku dibasahi cinta. warnanya seperti apa?
(7)
aku tak menyukai langit karena bulan begitu jauh.
aku mencintai bintang-bintang di mata yang teduh.
“bagaimana kita menyeimbangkannya? aku bukan langit,”
begitulah, bisikmu, “aku kabut di kaki bukit.”
(8)
tiba-tiba gelombang hujan mendesing.
kata dan suara memburu ledakan cahaya.
burung kecil berlomba dengan pesawat udara.
aneh…, mereka sama sekali tidak bising.
(9)
“aku tulis 9 rubaiyat untukmu.” hampir usai,
tetapi langit belum terang sehabis hujan.
jika begitu langitkah? hujankah? oh, bukan.
jangan sembilan! ini rubaiyat yang tak selesai.
(1)
kau sedikit sekali kusimpan dalam kenangan.
apakah cinta harus memiliki banyak ingatan?
bukankah sebongkah awan
sudah cukup mencucurkan hujan?
(2)
kita bersisian tak memberi sela untuk udara.
“aku rindu jadi sengaja mimpi kuciptakan.
kita di sana. tapi bila kau sendirian saja
lihatlah, rintik hujan masih bertahan.”
(3)
rindu hujan tak terlihat di mana dasarnya,
langit: “bila terlalu dalam nanti kau menangis,”
diam-diam hujan menghimpun desis gerimis
yang bergelayutan di ujung harum hio sua.
(4)
“tidakkah kau mencintaiku?” hujan
tak berharap langit mengiyakan.
hujan hanya ingin mencium pelupuknya
ketika dipandang begitu mesra.
(5)
aku ingin memujamu seperti hujan.
menurutmu, “jangan”
hujan adalah tangis langit.
tetap basah ketika kemarau yang sulit.
(6)
apakah yang paling penting bila hujan reda?
sorak kanak-kanak bermain bola dan sepeda.
tidak. pergilah ke pekarangan dan tengok saja
hatiku dibasahi cinta. warnanya seperti apa?
(7)
aku tak menyukai langit karena bulan begitu jauh.
aku mencintai bintang-bintang di mata yang teduh.
“bagaimana kita menyeimbangkannya? aku bukan langit,”
begitulah, bisikmu, “aku kabut di kaki bukit.”
(8)
tiba-tiba gelombang hujan mendesing.
kata dan suara memburu ledakan cahaya.
burung kecil berlomba dengan pesawat udara.
aneh…, mereka sama sekali tidak bising.
(9)
“aku tulis 9 rubaiyat untukmu.” hampir usai,
tetapi langit belum terang sehabis hujan.
jika begitu langitkah? hujankah? oh, bukan.
jangan sembilan! ini rubaiyat yang tak selesai.
Tangis Belibis
Oleh Lan Fang
(1)
teduh, suara subuh.
sepi, bunyi tubuh.
gerimis mendenting hening
dan Kau begitu bening.
(2)
kepada kesepiankah kita berpulang?
Atau kita ingin kesepian itu datang?
di dalam kesepian, para malaikat menemani
bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam. para
malaikat berjubah tembus cahaya. para
malaikat yang memberikan sepasang sayap ketika
bocah-bocah itu menginginkannya. para
malaikat yang memahkotai mereka
dengan mawar tak berduri, mahkota yang tak melukai.
“sekarang kami peri!” mereka melonjak-lonjak tak mau
pergi dari waktu kanak-kanak di mana langit selalu jingga.
apakah kita salah satu di antara mereka? tidak! kita hanya
anak-anak bisu yang lahir dari malam berbatu.
tiba-tiba sungai waktu berseru “lekas! kalian sudah
menua,” daun-daun berkemas, kering lalu lepas.
tetapi kau tak mengajakku bergegas.
(sungguh tidak kusangka ternyata usia tidak berbau)
kita pun terpasung pada palung terpanjang, tersepi.
sssttt..., puisi sedang berbunga, di sini.
(Ket. 1. bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)
(3)
aku ini malam
tahukah kau kalau malam terbuat dari purnama
bundar yang memudar? ada perempuan berdada
asap yang menyerap pendar bintang. sepasang matanya
yang berasap juga mengirimkan pesan,
“mari bersulang di kaki rupang.”
itulah pesan yang belum mampu kueja. tetapi ia
tetap setia beranjali, bermudra, dan membakar dupa
untuk menjerat sekerat cahaya.
maka malam pun gelap, segelap aku. aku pun remuk,
seremuk asap. asap yang masih setia bermoksa.
(4)
suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.
azan Jogya dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku gembira: “apakah kau bangun untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!
(5)
seorang musafir menyiarkan syair, “oh, Roh, betapa aku
tersiksa puisi cinta. cinta yang terbakar bersamaMu.”
ketika itu ada yang berteriak dan ada yang tersumbat,
ada yang bergerak dan ada yang merambat, ada Badai
Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi Cahaya, Cahaya di Atas
Cahaya “aum mani padme hum.” ketika itu ada
seekor belibis menangis.
(1)
teduh, suara subuh.
sepi, bunyi tubuh.
gerimis mendenting hening
dan Kau begitu bening.
(2)
kepada kesepiankah kita berpulang?
Atau kita ingin kesepian itu datang?
di dalam kesepian, para malaikat menemani
bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam. para
malaikat berjubah tembus cahaya. para
malaikat yang memberikan sepasang sayap ketika
bocah-bocah itu menginginkannya. para
malaikat yang memahkotai mereka
dengan mawar tak berduri, mahkota yang tak melukai.
“sekarang kami peri!” mereka melonjak-lonjak tak mau
pergi dari waktu kanak-kanak di mana langit selalu jingga.
apakah kita salah satu di antara mereka? tidak! kita hanya
anak-anak bisu yang lahir dari malam berbatu.
tiba-tiba sungai waktu berseru “lekas! kalian sudah
menua,” daun-daun berkemas, kering lalu lepas.
tetapi kau tak mengajakku bergegas.
(sungguh tidak kusangka ternyata usia tidak berbau)
kita pun terpasung pada palung terpanjang, tersepi.
sssttt..., puisi sedang berbunga, di sini.
(Ket. 1. bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)
(3)
aku ini malam
tahukah kau kalau malam terbuat dari purnama
bundar yang memudar? ada perempuan berdada
asap yang menyerap pendar bintang. sepasang matanya
yang berasap juga mengirimkan pesan,
“mari bersulang di kaki rupang.”
itulah pesan yang belum mampu kueja. tetapi ia
tetap setia beranjali, bermudra, dan membakar dupa
untuk menjerat sekerat cahaya.
maka malam pun gelap, segelap aku. aku pun remuk,
seremuk asap. asap yang masih setia bermoksa.
(4)
suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.
azan Jogya dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku gembira: “apakah kau bangun untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!
(5)
seorang musafir menyiarkan syair, “oh, Roh, betapa aku
tersiksa puisi cinta. cinta yang terbakar bersamaMu.”
ketika itu ada yang berteriak dan ada yang tersumbat,
ada yang bergerak dan ada yang merambat, ada Badai
Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi Cahaya, Cahaya di Atas
Cahaya “aum mani padme hum.” ketika itu ada
seekor belibis menangis.
Sebuah Pagi
Oleh Lan Fang
pada sebuah pagi yang sumringah. burung-burung singgah
mematuki bebijian seperti memetik putik-putik puitik,
lalu mereka memeluk suluk untuk mewuwung suwung
pada sebuah pagi yang sumringah. burung-burung singgah
mematuki bebijian seperti memetik putik-putik puitik,
lalu mereka memeluk suluk untuk mewuwung suwung
6 Sonet Bunga Tidur
oleh Lan Fang
sudah berapa malam kau tak berkunjung. pasti kau sedang sibuk.
maka, mataku tak bertabir gula. rupanya kau meneropong bintang.
tolong, ambilkan satu saja untukku. biarkan yang lain, sayang.
sebab di plafon, para tikus berpesta sampai gaduh. gludak gluduk.
“kenapa tak menyukai mereka? maaf, bila tak berkenan,” kau selalu sopan.
aku hanya cemas : apakah tikus-tikus bisa dijadikan sonet yang rupawan?
mereka hanya kusir kereta labu Cinderella, pengerat kayu yang berisik sekali.
di mana akan kau sematkan sebiji bintang itu? di rambut atau di jantung hati?
telah kurangkai kembang setaman. sebab banyak rahasia yang kita simpan.
semua hanya untukmu. sebab bertambah malam mata harus semakin awas.
abrakadabra! ingin kumusnahkan kutuk itu agar kita tidak berbeda pikiran.
kini jangan marah bila kutarik empat larik. kau nafas yang tak akan kulepas.
sekarang aku (ingin) merebahi pundakmu. ciumlah mataku.
kelopak dan bulumataku. kau akan menemukan banyak sonet di situ.
sudah berapa malam kau tak berkunjung. pasti kau sedang sibuk.
maka, mataku tak bertabir gula. rupanya kau meneropong bintang.
tolong, ambilkan satu saja untukku. biarkan yang lain, sayang.
sebab di plafon, para tikus berpesta sampai gaduh. gludak gluduk.
“kenapa tak menyukai mereka? maaf, bila tak berkenan,” kau selalu sopan.
aku hanya cemas : apakah tikus-tikus bisa dijadikan sonet yang rupawan?
mereka hanya kusir kereta labu Cinderella, pengerat kayu yang berisik sekali.
di mana akan kau sematkan sebiji bintang itu? di rambut atau di jantung hati?
telah kurangkai kembang setaman. sebab banyak rahasia yang kita simpan.
semua hanya untukmu. sebab bertambah malam mata harus semakin awas.
abrakadabra! ingin kumusnahkan kutuk itu agar kita tidak berbeda pikiran.
kini jangan marah bila kutarik empat larik. kau nafas yang tak akan kulepas.
sekarang aku (ingin) merebahi pundakmu. ciumlah mataku.
kelopak dan bulumataku. kau akan menemukan banyak sonet di situ.
Sangat Bukan
Oleh Lan Fang
apakah kau: angin yang melekat pada kaca pintu?
sangat bukan,
aku pintu, tempat syair menumpahkan ragu.
kalau begitu apakah kau: keraguan yang dipanah rindu?
sangat bukan,
aku rindu yang melayari waktu demi waktu
jadi apakah kau: waktu yang tersulut sumbu
sangat bukan,
aku sumbu bulan dari celah kelambu.
apakah kau: angin yang melekat pada kaca pintu?
sangat bukan,
aku pintu, tempat syair menumpahkan ragu.
kalau begitu apakah kau: keraguan yang dipanah rindu?
sangat bukan,
aku rindu yang melayari waktu demi waktu
jadi apakah kau: waktu yang tersulut sumbu
sangat bukan,
aku sumbu bulan dari celah kelambu.
Langganan:
Postingan (Atom)
Langganan:
Postingan (Atom)
:)
Daftar Isi 2019
Arsip
-
►
2011
(26)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (4)
- Agustus (2)
- September (4)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (3)
-
►
2012
(32)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (3)
- Agustus (2)
- September (3)
- Oktober (3)
- November (1)
- Desember (3)
-
►
2013
(28)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (2)
- Juni (3)
- Juli (1)
- Agustus (2)
- September (1)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2014
(23)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (2)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (2)
- Agustus (3)
- September (2)
- Oktober (2)
- November (1)
- Desember (1)
-
►
2015
(26)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (1)
- Oktober (2)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2016
(14)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (1)
- April (1)
- Mei (1)
- Juni (1)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (2)
- Oktober (1)
- November (1)
- Desember (1)