Karya
Mardi Luhung
Ada amsal tentang kenangan awal. Kenangan pada jajaran rumah yang berubin tebal dan bertembok tinggi. Serta patung kilin yang bersiaga di tempat ibadah. Patung kilin yang menyimpan wujud mustika di delapan-belas bagian tubuhnya. Juga tentang telur-telur bebek yang tergeletak di sepanjang got kering sebelah trotoar. Telur-telur bebek yang dipunguti oleh tangan si kanak. Tangan yang kini telah dewasa. Yang diam-diam juga ingin memetik matahari sebelum lingsir. Atau mewarnai kulit delima agar tetap merona. Semerona ibu yang telah jadi bidadari. Bidadari yang setiap bersedih, berziarah ke makam Tuan Maulana. Dengan air mata berlinang. Juga dengan kerudung yang berjuntai menawan.
Dan ada amsal tentang kenangan berikutnya. Kenangan pada aroma yang memberat. seberat napas yang membau sengak. Yang mengingatkan bau asap yang mengepul dari sekian cerobong. Sekian cerobong, yang jika gerhana tiba, bergerak dan berjalan tegap. Seperti seregu sedadu yang berbaris-baris. Berderap. Berderap. Berderap. Dan sesekali memeragakan kerancakan jalan di tempat. Kerancakan yang membuat permukaan pantai jadi bergoyang. Sampai tiga ikan buntal yang berenang, pun seketika membuntalkan perutnya. Sebab menganggap, ada musuh yang akan menyergap. Musuh yang mungkin terang. Mungkin gelap. Atau malah mungkin samar. Tapi amat dekat. Sedekat urat leher. (Gresik, 2016)
Mardi Luhung
Ada amsal tentang kenangan awal. Kenangan pada jajaran rumah yang berubin tebal dan bertembok tinggi. Serta patung kilin yang bersiaga di tempat ibadah. Patung kilin yang menyimpan wujud mustika di delapan-belas bagian tubuhnya. Juga tentang telur-telur bebek yang tergeletak di sepanjang got kering sebelah trotoar. Telur-telur bebek yang dipunguti oleh tangan si kanak. Tangan yang kini telah dewasa. Yang diam-diam juga ingin memetik matahari sebelum lingsir. Atau mewarnai kulit delima agar tetap merona. Semerona ibu yang telah jadi bidadari. Bidadari yang setiap bersedih, berziarah ke makam Tuan Maulana. Dengan air mata berlinang. Juga dengan kerudung yang berjuntai menawan.
Dan ada amsal tentang kenangan berikutnya. Kenangan pada aroma yang memberat. seberat napas yang membau sengak. Yang mengingatkan bau asap yang mengepul dari sekian cerobong. Sekian cerobong, yang jika gerhana tiba, bergerak dan berjalan tegap. Seperti seregu sedadu yang berbaris-baris. Berderap. Berderap. Berderap. Dan sesekali memeragakan kerancakan jalan di tempat. Kerancakan yang membuat permukaan pantai jadi bergoyang. Sampai tiga ikan buntal yang berenang, pun seketika membuntalkan perutnya. Sebab menganggap, ada musuh yang akan menyergap. Musuh yang mungkin terang. Mungkin gelap. Atau malah mungkin samar. Tapi amat dekat. Sedekat urat leher. (Gresik, 2016)