Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Karena Ibu

  • Senin, 18 Desember 2017
  • rani nuralam
  • Label: ,




  • "My Ceri Tree,  
    Genting,  dan  
    Loteng"


    Ketika kecil, ada sebuah pohon di depan rumah. Aku tak tahu sejak kapan pohon itu tumbuh, tahu – tahu ia muncul dan membesar. Entah mengapa tak ada anak – anak yang menyerbunya meskipun buah – buahnya yang mungil itu telah meranum, padahal pohon itu terkesan meneduhi.

     Banyak orang buta waktu tumbuhan itu dipanggil kersen karena di tempatku lazimnya dikenal dengan nama pohon ceri. Nama ilmiahnya adalah Muntingia calabura L. Gampang tumbuhnya. Tak perlu perawatan khusus. Pohon itu banyak berdiri di pinggiran jalan sebagai penaung pedagang – pedagang kaki lima atau jadi pangkalan ojeg.

    Pohon itu bagian kesenanganku karena hobiku memanjat. Aku tahu rasanya berada di ketinggian. Pemandangan dari ketinggian dapat melambungkan khayalan ke mana – mana. Asyik sekali pengembaraan itu. 

    Di hari minggu pagi aku senantiasa memanjat dan bertengger di dahan my ceri tree yang kuat. Aku sudah kelas lima SD. Aku sudah besar jadi tak ada keraguan saat naik ke atas pohon dan beraktivitas di sana. Ada saja yang bisa dilakukan, tapi tak pernah lama. Kadangkala aku hanya ingin menikmati ceri merah, menghabiskan sekantung kecil kacang kulit sisa suguhan pada turnamen bridge mingguan bapak – bapak kompleks kami semalam di rumah atau cuma berniat menghabiskan sebutir permen yang emoh aku bagi ke siapa pun. 

    Hingga tibalah suatu ketika di hari minggu, “Turun!” sebuah suara memerintahku.

    Tampak orang tuaku memelotiku. Melihat siapa di sebelahnya, dugaku tetangga kami telat menghasut orang tuaku, “Pamali atuh, anak gadis manjat – manjat pohon.”

    Aku kesal dimarahi. Tak paham sama sekali mengapa larangan itu perlu diberlakukan. Seharusnya ibu tidak muncul. Tapi, kubiarkan tubuhku merosot ke tanah tanpa berani bertanya mengapa.

    *

    Beberapa hari kemudian, ada sebuah tangga yang menjulur ke atap. Tangga itu membangkitkan ideku. Untuk beberapa saat, tiap sore anak – anak tangga itu berhasil kudaki. Berada di atas atap asik juga ternyata. Walaupun cuma duduk – duduk melihat pemandangan di langit : layang – layang, burung gereja, pesawat terbang, dan langit yang terlihat indah. Pemandangannya tak pernah membosankan. Terasa damai, seolah tak ada oksigen. Tapi kesenangan itu juga sebentar saja. Di suatu sore ibu menangkap basah aku. “Turun! Nanti genting bocor!”

    *
           
             Ibu selalu melarang ini dan itu. Kesal rasanya, tapi hal itu tak membuatku jera. Pada suatu hari ketika hujan turun deras aku naik ke loteng tempat jemuran. Aku bermain hujan di sana. Aman.  Tak ada ibu. Serunya bermain hujan, apalagi saat kakak dan adikku bergabung. Tapi karena mereka, kami ketahuan. Mereka riuh sekali mengalahkan suara hujan. Ibu menyuruh kami masuk dengan keras. Gelagatnya membuatku harus bersiap menerima omelan. Tapi ada hal lain yang bikin ciut hati.

    Kulihat sisi lutut kaki kiriku terluka. Ada tetesan merah keluar dari kulit yang terkonyak. Aku tak tahu dari mana asalnya. Aku tak merasakan sakit. Air hujan pun tak memerihkan luka itu. Aku terdiam. Berpikir keras bagaimana menyembunyikannya dari ibu. Terlambat! Di anak tangga, ibu yang sudah menunggu melihat tetesan darah di kakiku.

    Waktu ibu terpekik, kagetku setengah mati. Teriakannya, alamat hukuman buatku. Aku bakal dimarahi. Tapi tidak! Ibu menghambur, memeriksa dan menanyakan keadaanku. Suaranya berbeda. Wajahnya berubah. Ia melembut. Sepertinya khawatir. Aku menjawab sebisanya dengan terbata – bata, dan sebentar kemudian, aku sudah dibaringkan di tempat tidur. Lukaku diobati.

    Semula kupikir kegalakan ibu tak ada matinya. Ia akan selalu jadi sosok wanita yang keras dan diktator. Tetapi, karena kejadian itu, aku belajar bahwa ibu tidak seperti itu. Ada kalanya ia memang harus tegas dan keras, tapi hatinya selalu lembut. Sebagai anak, aku seharusnya mematuhi perkataannya karena ibu tahu yang terbaik buat anak - anaknya. (R)





    DERAI DERAI CEMARA

  • Senin, 11 Desember 2017
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • Karya Chairil Anwar

     

        cemara menderai sampai jauh
        terasa hari akan jadi malam
        ada beberapa dahan di tingkap merapuh
        dipukul angin yang terpendam

        aku sekarang orangnya bisa tahan
        sudah berapa waktu bukan kanak lagi
        tapi dulu memang ada suatu bahan
        yang bukan dasar perhitungan kini

        hidup hanya menunda kekalahan
        tambah terasing dari cinta sekolah rendah
        dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
        sebelum pada akhirnya kita menyerah
    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint