Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

  • Minggu, 08 September 2019
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Karya
    Taufik Ismail


    Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
    Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
    Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
    Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
    Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
    Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
    Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
    Whitefish Bay kampung asalnya
    Kagum dia pada revolusi Indonesia
    Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
    Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
    Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernyaDadaku busung jadi anak Indonesia
    Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
    Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
    Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
    Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
    Mengapa sering benar aku merunduk kini
    Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
    Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
    Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
    Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
    Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
    Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
    Dan kubenamkan topi baret di kepala
    Malu aku jadi orang Indonesia
    Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
    Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
    berterang-terang curang susah dicari tandingan,
    Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
    dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
    secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
    Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
    senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
    peuyeum dipotong birokrasi
    lebih separuh masuk kantung jas safari,
    Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
    anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
    menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
    agar orangtua mereka bersenang hati,
    Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
    sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
    penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
    Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
    sandiwara yang opininya bersilang tak habis
    dan tak utus dilarang-larang,
    Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
    supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
    Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
    ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
    sekarang saja sementara mereka kalah,
    kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
    oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
    Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
    dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
    kabarnya dengan sepotong SK
    suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
    Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
    lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
    Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
    fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
    Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
    jadi pertunjukan teror penonton antarkotacuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
    tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
    yang disetujui bersama,Di negeriku rupanya sudah diputuskan
    kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
    lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
    karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
    sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
    Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
    dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
    Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
    Nipah, Santa Cruz dan Irian,
    ada pula pembantahan terang-terangan
    yang merupakan dusta terang-terangan
    di bawah cahaya surya terang-terangan,
    dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
    saksi terang-terangan,
    Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
    tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
    menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
    Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
    Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
    Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
    Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
    Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
    Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
    Dan kubenamkan topi baret di kepala
    Malu aku jadi orang Indonesia.1998

    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint