Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Perjalanan Nyai Dasima

  • Senin, 23 Juli 2012
  • rani nuralam
  • Label: ,
  • Menyusuri Cerita Batavia Tempoe Doeloe

    Jakarta  memang sudah berusia 485 tahun, tapi kota ini berkembang mengikuti kota – kota metropolitan di dunia seperti bunga segar yang tengah mekar.  Ibukota negara Indonesia ini tumbuh menjulang dan melebar, padat dan sesak, serta canggih dan rumit. Dengan berbagai aspek di dalamnya, siapa nyana legenda dan dongeng Betawi tetap lestari, dan dengan bangunan – bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda, menjadikan kota ini sarat sejarah. Cerita rakyat Betawi jadi tambah memikat manakala bangunan sejarah yang masih berdiri tegap itu terkait dengan cerita tersebut.  Bangunan sisa masa lalu itu bisa berupa gedung, tempat tinggal, makam, dan lain – lain.


    Populer
         Dalam khazanah cerita rakyat Betawi terdapat sebuah cerita yang terkenal yaitu “Nyai Dasima”. Ketenaran cerita ini dapat dibuktikan dengan kemunculan dalam berbagai bentuk : prosa (novel, bacaan anak – anak), puisi (syair, pantun), drama (Komedie Stamboel, Miss Riboet), film dan sinetron. Cerita ini semakin bertambah popular karena adanya lintas budaya. Cerita ini tidak saja terdapat dalam budaya Betawi dengan ditampilkan dalam pertunjukan lenong, misalnya, tetapi juga dalam budaya Sunda (Gending Karasmen), dan budaya Jawa (Rombongan Sandiwara Lokaria).

         Pada tahun 1896 G. Francis menerbitkan novel yang diberi judul Tjerita Njai Dasima. Henry Chambert – Loir dalam “Malay Literature in the 19th Century” menyebutkan bahwa di Leningraad terdapat cerita “Nyai Dasima” dalam koleksi Akhmad Beramka tentang syair nomor 68. Tidak disebutkan tahun penciptaan manuskrip ini, namun Akhmad Beramka aktif menulis antara tahun 1906 sampai dengan tahun 1909. Lie Kim Hok dan O.S Tjiang pernah menyadur cerita Nyai Dasima ini dalam bentuk syair. Menurut Claudine Salmon, kedua penulis itu menyadur dari karya G. Francis (Oetomo, 1985 : 31- 32). Kemudian A. Th. Mausamana membuat Nyai Dasima dalam bahasa Belanda pada tahun 1926. Pada perkembangan selanjutnya cerita ini muncul sebagai bacaan anak – anak dalam Cerita Betawi (Ali, 1995). Akan tetapi, pada tahun 1965 S.M. Ardan pernah mengarang Njai Dasima dalam bentuk naskah drama.

         Pada tahun 1929 cerita ini diangkat ke layar lebar dengan judul Njai Dasima 1. Setahun kemudian, berturut – turut tayang Njai Dasima 2 dan Nancy Bikin Pembalesan. Ketiga film itu adalah film bisu. Barulah beberapa tahun kemudian keluar Nyai Dasima (1932), Dasima (1940), Dasima dan Samiun (1970) sebagai film bicara. Nyai Dasima (1996) pernah ditayangkan sebagai salah satu sinetron di RCTI.
    Gereja Immanuel (Dok. DMS DKI Jakarta, 1983)

    Ringkasan Cerita
         Tjurug, Tanggerang 1813 Njai Dasima, seorang warga Kuripan, Jawa Barat menjadi gundik tuan tanah bernama Edward W yang berkebangsaan Inggris. Toean W terpikat padanya karena ia cantik, pandai menjahit dan memasak. Dari hubungan mereka lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama, Nanci.

         Setelah tinggal selama delapan tahun di sana, rumah di Tjurug pun dijual dan mereka pindah ke Betawi. Mereka tinggal di Gambir, di pinggir Kali Tjiliwoeng. Dalam dua tahun menetap di tempat tinggal yang baru, kecantikan Nyai Dasima sudah merebak. Banyak lelaki datang menggoda dan berniat merampas hartanya.

         Demikian pula dengan niat terselubung seorang lelaki muda, Samioen namanya. Laki – laki ini menyuruh Ma Boejoeng mendekati Njai Dasima. Ma Boejoeng menyamar sebagai penjual telur yang miskin. Njai Dasima merasa iba. Ma Boejoeng disuruh bekerja di tempatnya. Selama tinggal bersama, Ma Boejoeng mulailah mempengaruhi pikiran Njai Dasima bahwa hidup bersama dengan orang kafir dalam ajaran agama Islam adalah perbuatan dosa.

         Dalam merebut harta Njai Dasima, Samioen dibantu ibunya, Embok Saleha dan istrinya, Njonja Hajati pula. Berkedok guru mengaji, Embok Saleha mempengaruhi pikiran sang nyai dengan dalih agama. Samioen sendiri tidak tinggal diam. Dalam meraih cita – citanya itu ia meminta bantuan Hadji Salihoen agar menjampi Njai Dasima. Meskipun usaha mengguna – gunai itu tidak mempan, tapi komplotan itu pada akhirnya berhasil menghasut sang nyai.

         Njai Dasima “sadar” dan hendak bertobat. Ia bertekad dan nekad meninggalkan Toean W dan anaknya. Sewaktu pergi dibawanya emas, intan, uang dan perabot rumah yang mahal – mahal.  Hanya selang tiga hari  setelah itu, ia menikah dengan Samioen.

         Namun dalam satu bulan Njai Dasima tak tahan diperlakukan bagai budak oleh Njonja Hajati dan Embok Saleha. Karena itu, ia minta cerai. Samioen setuju dengan syarat  semua harta istri keduanya itu diserahkan padanya. Tapi Njai Dasima balik mengancam akan mengadukan perbuatan mereka pada hakim melalui perantara Toean W.

         Samioen khawatir. Dibujuk rayulah Njai Dasima dengan cara mengajak nonton pembacaan Hikayat Amir Hamzah, padahal tersimpan niat jahatnya untuk menghabisi nyawa Dasima. Dalam perjalanan menuju tempat acara Bang Poasa, orang suruhan Samioen, menghabisi nyawa Dasima dan mayat wanita itu dibuang ke sungai.

         Keesokan harinya mayat Dasima yang menyangkut di tempat mandi Toean W ditemukan oleh tuan tanah itu. Polisi mengusut kejadian itu. Dengan kesaksian beberapa orang, maka para pelaku pembunuhan ditangkap. Samioen dan Bang Poasa dijebloskan ke penjara.

     Legenda
         Menurut Bascom (Dananjaya, 1991 : 50), legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah benar – benar terjadi, ditokohi manusia, tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal ini. Demikian pula dengan cerita “Njai Dasima” ini. Sebagian masyarakat Betawi, terutama masyarakat Betawi Kwitang sebagai pemilik cerita ini menganggap bahwa tokoh Nyai Dasima pernah  hidup.  Anggapan itu dilatarbelakangi pula dengan adanya tempat – tempat dalam “Njai Dasima” yang dapat dilihat hingga saat ini.

         Bangunan yang melingkupi latar fisik cerita Njai Dasima merupakan bangunan bersejarah yang dibangun pada abad ke – 19. Selagi merekonstruksi lingkungan hidup Njai Dasima, kita bisa menambah pengetahuan tentang sejarah tempo doeloe pula. Sebagai contoh: (1) Rumah Nyai Dasima bersama Toean W berada di Pejambon, tepatnya di belakang Gereja Immanuel, dekat Stasiun Gambir. Gereja Immanuel didirikan dari tahun 1835-1839 dan dirancang oleh Tuan Horn. Gereja itu diresmikan tepat 24 Agustus 1839 bersamaan dengan Hari lahirnya Raja Belanda Wilem I. (2) Gedung Pancasila (Gedung Departemen Luar Negri) awalnya hanyalah sebuah hutan belukar dengan rawa – rawa. Tahun 1648 mulai berubah setelah tempat itu didiami penduduk.  Keluarga Anthony Chestelyn menguasai kawasan itu untuk pertanian tebu dan padi guna keperluan VOC. Tapi ketika tak ada pewaris yang tersisa untuk mengurusi warisan tanah itu, maka jadilah tempat itu sebagai Hertogpark sepi. Tentang gedung itu sendiri diperkirakan berdiri dan mengalami renovasi dalam kurun waktu 1890 s/d 1950, dan (3) Jembatan Kwitang (depan toko buku Gunung Agung), tempat pembunuhan Nyai Dasima.

    Penutup
         Tiap penelitian merupakan pendahuluan bagi penggalian lebih lanjut terhadap sebuah budaya. Walaupun jumlah penutur (tukang cerita) makin menyurut jumlahnya, tetapi diharapkan sastra lisan tetap bertahan. Jalan – jalan macam begini (menyusuri lingkungan hidup tokoh dalam salah satu cerita rakyat Betawi), selain menambah wawasan juga usaha tak langsung untuk menjaga warisan budaya sendiri. Sementara revolusi teknologi dan komunikasi seharusnya jadi  jalan keluar lain untuk melestarikan (dalam hal ini) cerita rakyat Betawi.


    Sumber :
    Nuralam, R. Skripsi “Transformasi Cerita Rakyat Betawi ‘Nyai Dasima’, Sebuah 
         Analisis Intertekstual,” Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 1998.
    Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, Sejarah 
         Singkat Gedung – gedung Tua di Jakarta. Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta . 1983

    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint