Ibuku ya cuma satu. Yang melahirkanku ya cuma beliau itu. Yang dikira orang keturunan Arab atau India lantaran hidungnya yang mancung. Yang kalau sedang senang hatinya akan memasakkan hidangan buat kami tak kira – kira. Yang naluri keibuannya begitu kuat sampai – sampai kadangkala timbul jengkelku karena seperti tertangkap basah merahasiakan sesuatu darinya. Ya yang itu, ibu kandungku.
*
Di luar itu kupunyai beberapa ibu. Tak sampai hitungan jutaan. Kupanggil ia : ibu, bunda, nenek, dan oma. Bila tak ada para ibuku, aku bagai itik kehilangan induk.
Mau sok maskulin seperti gaya Demi Moore dalam G.I Jane sudah keburu tertegur ibuku melalui keseharian penampilannya yang tetap terbungkus dalam pakaian yang rapat dan modis. Padahal ibuku yang baru datang dari Madinah ini kalau sudah melatih kalestenik auranya menyala – nyala dan bikin semangat semua orang bangkit.
Mau petentang petenteng menantang dunia, teringat pada ibuku yang nggak jago senam, yang gerakan senamnya tanpa power, yang suaranya telah parau, yang berkutat dengan masuk angin atau encok, yang banyak giginya tanggal, tapi tetap rutin datang ke klub senam. Hanya hadir. Tetap semangat. Dengan senyum yang sama dan sederhana.
Malu rasanya membusungkan dada karena ibu - ibuku orang hebat. Ibuku yang berikutnya ini juga. Beliau memiliki sederet piala kejayaan dan jago split. Tetapi beliau tetap bermurah hati membalas salamku dengan memberi ciuman pada pipi
Sebal kalau punya ibu yang bawel, sok tahu, dan egois. Bikinku ogah mendekatinya. Bertahun – tahun berlatih senam, gerakan senam ibuku ini tidak pernah beres. Begitulah kalau keras kepala dan sombong, meskipun begitu bukan berarti ia tak memiliki sisi terang. Siapa yang akan mengira ibuku yang satu ini melakukan suatu kebaikan dengan diam – diam.
Ibuku yang lain sebenarnya hendak menjadikanku anaknya. …
Satu saat ibuku membisikkan doanya ke dalam telingaku agar aku mendapatkan yang terbaik.
Silih berganti ibu – ibuku itu menuangkan air segar ke dalam pot kehidupanku sehingga kembangnya tetap segar.
Merekalah ibuku. Mereka para wanita yang mampu mengistimewakan diri sendiri. Produk kolot, jadi tahu betul arti malu. Banyak cingcong pada sesuatu yang meresahkan norma. Tetap menyinari kendati usia menuju senja. Biar dibilang "neli" hanya karena berpenampilan trendi dan enerjik, mereka santai saja. Ibu - ibuku adalah wanita sholeha, anggota pengajian, kecuali oma.
Mendapatkan mereka tahun ini juga merupakan berkah sehingga kalau aku menangis, aku sudah tahu harus lari kemana.
Kampung Betawi
Kali ini tidak jauh - jauh perginya. Masih di seputaran ibukota Jakarta, tepatnya di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di sana ada Perkampungan Budaya Betawi. Masyarakat umum sering menyingkatnya sebagai Kampung Betawi. Di sini pengunjung bisa menikmati empat obyek wisata sekaligus, yakni wisata budaya, wisata air, wisata agro dan wisata kuliner. Setiap hari buka antara jam 09.00 - 17.00. Tidak dipungut biaya tiket masuk. Pengunjung cuma harus mengeluarkan kocek Rp.5.000 untuk parkir motor, Rp.10.000 untuk mobil, dan Rp.25.000 untuk bis pada "petugas parkir" on the spot.
Tiap akhir pekan ditampilkan pagelaran kesenian Betawi macam tari, musik dan teater tradisional di teater terbuka; dan untuk agenda tahunan pun pengurus sudah menyiapkan sederet acara dengan seksama seperti acara pekan Desember, pekan nuansa Islami, dan/atau pekan lebaran.
Bukan itu saja, Kampung Betawi juga menyediakan latihan buat para pemuda yang ingin berlatih silat dan tari.
Wisata Air
Ada dua buah setu yang berdampingan dengan Perkampungan Budaya Betawi, yaitu Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Pengunjung disuguhkan permainan sepeda air, olahraga kano, dan pemancingan. Tinggal dipilih mana yang diminati.
Wisata Agro

Wisata Kuliner
Sajak Isbedy Stiawan Z S
aku datang bukan untuk perang
di gelanggang lengang
aku memandangmu tidak dendam
sebagaimana dua orang tadi
datang padaku ingin berteduh
... dan sembunyikan tubuhnya
dari terik maupun gerimis
kau tahu? dua orang ini
telah mencoreng dindingku
November 2011, Isbedy Stiawan Z S
di gelanggang lengang
aku memandangmu tidak dendam
sebagaimana dua orang tadi
datang padaku ingin berteduh
... dan sembunyikan tubuhnya
dari terik maupun gerimis
kau tahu? dua orang ini
telah mencoreng dindingku
November 2011, Isbedy Stiawan Z S
Langganan:
Postingan (Atom)
Langganan:
Postingan (Atom)
:)

Daftar Isi 2019
Arsip
-
▼
2011
(26)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (4)
- Agustus (2)
- September (4)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (3)
-
►
2012
(32)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (4)
- Juli (3)
- Agustus (2)
- September (3)
- Oktober (3)
- November (1)
- Desember (3)
-
►
2013
(28)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (2)
- Juni (3)
- Juli (1)
- Agustus (2)
- September (1)
- Oktober (3)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2014
(23)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (2)
- April (2)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (2)
- Agustus (3)
- September (2)
- Oktober (2)
- November (1)
- Desember (1)
-
►
2015
(26)
- Januari (2)
- Februari (3)
- Maret (3)
- April (3)
- Mei (3)
- Juni (2)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (1)
- Oktober (2)
- November (3)
- Desember (2)
-
►
2016
(14)
- Januari (2)
- Februari (1)
- Maret (1)
- April (1)
- Mei (1)
- Juni (1)
- Juli (1)
- Agustus (1)
- September (2)
- Oktober (1)
- November (1)
- Desember (1)