Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

Di Tokyo Kita Bertemu

  • Senin, 09 November 2015
  • rani nuralam
  • Label: ,


  • “Ohayo-gozaimasu, good morning!” katanya dalam dua bahasa dengan riang menyampaikan salam seraya membungkuk hormat. Aku tersenyum.

    “Ohayo-gozaimasu, good morning, Nak!” balasku.

    Watashiwa Mimi chan desu.

    “A so desu ka. Dozo yoroshiku. O genki desu ka?” tanyaku tentang kabarnya.

    “Hai, genki desu.” Sahutnya masih dalam bahasa Jepang tentang kabarnya yang baik.

    Di tanah air biasanya orang tua yang memperkenalkan anaknya, dan si anak akan mencium tangan orang yang lebih tua sebagai tanda bakti. Tapi aku suka spontanitas ini. Gadis kecil itu membuatku rindu.

    Rahmat menyambarku dan kami langsung berpelukan. Sementara putrinya itu sudah lari ke serombongan wanita yang berada tak jauh dari kami. Rahmat bilang, “Tambah gemuk, kau! Makanya gabung ke tim futsal kita. Buat senang – senang saja! Tapi mungkin buatmu sekalian membakari karbo ya? Hahaha…”

    Kutonjok lengannya, pura – pura kesal. “Sompret kau! Ketemu – ketemu malah bicara diet. Fit and six pax! Nih!” lagakku seperti binaragawan.

    “Halah!”

    Derai kami menggelorakan musim semi yang jatuh di bulan April ini. Leganya bertemu teman sebangsa dan bicara dalam bahasa ibu. Tak ada kegundahan. Ledek – ledekan bebas bertanggung jawab adalah tanda keakraban saja. Sebenarnya kami kuliah di tempat yang sama, Universitas Tokyo. Namun, tempat tinggal yang tersebar dan kesibukan yang berbeda membuat langkanya perjumpaan kami. Chatting itu banyak manfaatnya, tapi bertatap muka dan saling menyentuh begini jauh lebih manusiawi.

    “Mimi sudah besar ya? Apa kabarmu, Mat?” tanyaku kemudian.

    “Kami bawa jajanan pasar.”

    Heh? Rahmat menerima tonjokan main – mainku lagi. Si mahasiswa terbaik dari fakultasnya, Agriculture, menyahut “jajanan pasar” pada pertanyaan yang kuajukan! Jawaban yang tak ilmiah. Jauh panggang dari api, begitu kata peribahasa di negeri kami. Aku masih ingat dengan baik bahwa jajanan pasar adalah makanan favorit Krista. Tapi begitu mahasiswa peraih cum laude dari Todai ini menyampaikan bahwa makanan tradisional Indonesia itu adalah kegemarannya pula, kedengarannya seperti ujaran “aku mencintai Krista”. Hmm, aku tak kuasa menjerumuskan diri dalam pikiranku sendiri. Sampai menduga bilakah benar begitu yang dimaksudkannya? Atau mungkinkan ia tahu kisah kasih kami dan hendak membakar rasa cemburuku?

    *

    Setiap tahun perkumpulan kami selalu mengadakan pertemuan di bawah bunga sakura yang sedang bermekaran. Selalu di pohon yang berbeda. Sakura memiliki beragam jenis. Putih dan merah jambu biasa mendominasi pemandangan. Sakura datangnya hanya setahun sekali. Dalam periode singkat. Sekitar empat belas hari saja. Sesudah itu langsung berganti dengan dedaunan hijau. Bangunan pencakar kaki lima mencuat di antara bunga – bunga berwarna merah jambu di sepanjang jalan ini. Nampak kontras sehingga membentuk pemandangan unik.

    Setiap tahun materi acara di perkumpulan masih yang itu – itu saja: sambutan – sambutan, perkenalan anggota baru, dan ramah tamah. Tidak rumit sebagaimana protokoler suatu acara di negri matahari terbit yang diselenggarakan orang Jepang sendiri. Lebih banyak senyum dan senda gurau dalam hanami kami.  Momen tradisi tahunan di Jepang untuk piknik bersama kawan atau keluarga sambil memandang keindahan bunga sakura dipergunakan sebagai ajang silaturahmi dan perkenalan anggota baru. Hal itu bukan saja berarti perkenalan dengan mahasiswa baru dari rumah, tapi juga memperkenalkan bertambahnya anggota keluarga dari mahasiwa yang membawa keluarganya ke sini.

    Tikar – tikar sudah tergelar. Bekal sudah menghampar. Mimi sedang bermain dengan anak – anak lain di tanah lapang. Satu persatu anggota perkumpulan sudah bersila di atas tikar. Kulihat Krista mengobrol dengan beberapa wanita. Anehnya, seperti tahu sedang diperhatikan, tiba - tiba Krista langsung menengok ke arahku.  “Hai!” teriaknya lembut. Tangannya melambai ke udara dan tersenyum.

    Tanganku baru setengah bergerak ketika kulihat ia kembali asyik bercengkerama dengan para wanita. 

    “Tak usah mengurus dia. Paling – paling ngerumpi. “ sergah Rahmat dan mulai mengalihkan pembicaraan soal lain. “Nah, begini,  tim futsal kita kekurangan pemain. Tidak ada pemain cadangan. Semua bermain. Inilah repotnya. Urusanku di sini sudah hampir selesai …  “

    Suara Rahmat mengambang di udara. Aku membiarkannya bicara sendiri. Aku masih memperhatikan Krista. Semua yang ingin kuketahui tentangnya berasal dari Rahmat.

    “Sesudah Mimi berusia satu tahun, Krista naik JAL menyusulku. Dia wanita hebat. Wanita penyayang. Katanya ia mau menemaniku. Bersama – sama ke manapun aku pergi. Tapi mana tega kubiarkannya dalam keadaan hamil mengarungi samudera. Perjalanan Jakarta – Tokyo teramat panjang. Memangnya Kampung Melayu – Senin! Hahaha … Aku ‘kan harus memikirkan bayi dalam kandungan Krista juga. Yang kusesali tak bisa mendampinginya saat persalinan. Tapi dia wanita tegar.

    Kau tahu kami bertemu di mana? Di chat room! Hahaha… . Aku ini memang kuper. Waktu ia mau menerima si kutu buku ini, ah betapa beruntungnya aku.” Mata Rahmat berbinar.

    “Kau yang menggombal barangkali!” olokku waktu itu.

    Rahmat tak marah. Dia malah balas mengutukiku segera mendapat wanita sebaik Krista. Ia tak tahu bahwa hal itu membuatku terenyuh.

    Krista memang wanita yang istimewa. Orang akan segera mencintainya karena ia hangat, cerdas dan bersahaja. Selama ini pertemuanku dengan Krista hanya terjadi tiga kali karena acara perkumpulan kami dan agenda KBRI. Sejak pertama kali bertemu, di Festival Hanami dua tahun yang lalu, segalanya tentang Krista mulai menancap kembali di kepalaku. Namun, aku belum sempat bercakap – cakap panjang dan mendalam dengannya. Aku tahu ia sama terperanjatnya melihat aku yang tahu – tahu berdiri di hadapannya. Jauh dari rumah kami. Ia mendekap Mimi sedemikian rupa untuk menghilangkan kegelisahannya. Sementara aku, aku seperti ingin menampar – nampar muka sendiri supaya bangun dari mimpi. Tentu saja itu bukan mimpi. Tapi setelah itu, pada pertemuan – pertemuan berikutnya, kuperhatikan Krista tak lagi menatapku. Memang tak sopan memandang orang lekat – lekat, bagaimana pun sepenasarannya dirimu.

    Hanya saja, aku berani bersumpah, pernah sekali waktu kudapati pandangannya menghujam tepat ke arahku. Terkadang aku berharap mata yang memandangku itu masih menyiratkan cinta. Aku menentang segala perasaan iba yang dikirimkan Krista saat memandang balik barang sekejaban itu.  Seolah – olah mata itu bicara tentang kebebalanku, tentang penyia – nyiaanku padanya enam tahun yang lalu, tentang kesendirianku. Yang dibicarakan selalu tentang tempat tinggal mereka, Mimi, Rahmat, KBRI, bahasa Jepang dan pertunjukan tradisional Jepang. Wajahnya bersemu merah dan bening. Suaranya terdengar ramai dan berenergi. Aku tahu, kebahagiaan yang diinginkannya sudah terpampang di depan matanya. Aku mungkin akan jadi pria tak tahu diri bila berani memisahkan mereka, padahal sudah kusaksikan wanita yang kucintai bahagia dengan keluarganya. Yah, kadang – kadang imajinasiku bisa mendaki jauh melebihi ketinggian gunung Fuji. Tapi, untunglah hanya dalam  imajinasi, yang menyesakkan.

    Barangkali aku pernah jadi pria yang paling dibencinya di seluruh dunia. Membuatnya menangis karena aku pilih magang di Australia sehabis lulus kuliah.  Aku ingat kepiluannya menahanku. Tapi aku menafikannya. Setelah dua tahun di negeri kangguru, aku mulai mencarinya. Berita yang kuterima, ia sudah menikah!

    Udara mengalir segar, dan keheningan suara Rahmat menggugah lamunanku. Pada Rahmat dengan agak malu kukatakan, “Okay! Kabari kelanjutan, Mat.” Padahal aku hanya menebak ujung perkataan pria muda yang sudah beruban itu. Rasanya ia masih bicara soal futsal ‘kan? Batinku. Aku segera memisahkan diri darinya. Berdalih hendak ambil gambar.
    *
    Rahmat dan si kecil Mimi sudah memanggil – manggilku untuk bergabung di tikar mereka sebelum acara dimulai. Kurapikan sedikit kameraku dan menyandangkannya di bahu. Siaga untuk dipergunakan. Siap mengabadikan momen langka. Apapun yang menarik hati sang subyek. Kameraku adalah mataku. Sejauh ini, sejak keluar rumah: langit, teman – teman, keramaian Taman Shinjuku, gerbang, botol, bento, Mimi, si gadis cilik yang memerangkap hatiku, Krista, dan sakura (tentu saja sakura) telah terekam dalam memori.

    Kali ini kami mendapat tiga anggota baru. Dua pria, satu wanita. Aku tahu gadis baru itu. Kami pernah bertemu di perpustakaan. Dia kesulitan mencari nomor buku di katalog komputer yang disediakan pihak perpustakaan. Aku membantunya mencari keperluannya di situ. Dorongan sesama satu rumpun. Logatnya menyesatkanku. Kiraku ia encik manis dari negeri Jiran. Ternyata, datangnya dari Pekan Baru! Hani adalah mahasiswi S2 Agriculture. Melihatku, ia  melepaskan senyuman. Ia masih ingat.
    Acara selesai tak berapa lama setelah itu. Masing – masing melanjutkan acara mereka sendiri. Kami sepakat menyusuri Sungai Meguro dimana pemandangan sakura nan indah juga tersingkap. Kelompok kecil kami sekarang terdiri dari aku, Keluarga Rahmat dan Hani. Sebagai senior, Rahmat hendak mewariskan pengalamannya selama kuliah pada Hani. Demikian pula Krista, berniat menghibahkan perabotannya. Ia tidak akan membutuhkan banyak perabot untuk kenang – kenangan saat pindahan. Adapun Mimi dan aku terlibat dalam pembicaraan santai mengenai jajanan pasar Krista bento yang paling lezat. Bento lazimnya untuk wadah bekal makan besar, tapi Krista memodifikasi untuk kuenya. Dalam gendonganku, gadis cilik empat tahun itu mengatakan menyukai kue ku lebih dari apapun.
    “Ikaga desu ka?” tanyaku tentang rasa kue itu setelah ia menggigit sekali.
    Totemo oishii desu. Lezaaaaaaaaaat, Om!” Mimi menguyah baik – baik kuenya.
    Aku tertawa. Ya, aku sudah merindukan ini. Anakku mungkin akan sebesar Mimi bila aku pilih menikah ketika itu.

    *
    Di tempat tinggalku. Tiada menit tanpa menyalakan laptop. Usai menikmati hanami, aktivitas lain dimulai. Malam ini ada gambar yang harus ditransfer. Aku tahu tadi kameraku sudah merekam banyak hal.  Bidikanku seakan – akan tak terbendung. Sudah waktunya menyortir. Begitu LCD – ku menyala, ada wajah yang dominan yang terpampang di sana. Pengalihan ke angle lain selalu menghadirkannya. Wajahnya photogenic. Mode pakaiannya sangat menawan. Warnanya kontras dengan musim semi, tapi seolah – olah menyatu dengan alam, dan aku mengenalinya.

    Ibarat sakura yang keindahannya hanya sejenak, maka kali ini kupikirkan segala yang tertinggal, kemudian tentang masa depan. Gambar Hani dalam memoriku ternyata lebih banyak ketimbang obyek yang lain. Lucunya, hal itu baru kusadari belakangan. Aku tak tahu apakah aku memang sebodoh itu, padahal aku belajar di kampus terbaik ke – 12 sedunia. Menimbang isi memoriku itu pula, maka kini tentang Hani akan kutata baik – baik dalam hati. Paling tidak mengenalnya lebih dahulu. Mudah – mudahan darinya kumendapat cinta yang abadi bagai bunga eidelweiss. 

    Sakura, sakura, kau mungkin datang sesaat tapi kau sudah mengajariku menghargai keindahan, keberkahan, momentum. Ya, aku ingin merengkuhnya sekarang.
    *

    Di Sungai Meguro kami menghabiskan hari menikmati keserentakkan bermekarannya sakura dengan menyusuri sungai itu. Di festival hanami tahun ini kiranya menjadi festival terakhir bersama kami. Setelah diwisuda kemarin dulu Rahmat berencana segera memboyong keluarganya terbang pulang ke Indonesia. Sebentar lagi Krista menyelesaikan short course NOH – sebuah seni tradisional Jepang berunsur drama, tari, dan nyanyian – jadi mungkin bulan depan mereka sudah pulang. Krista sudah menjadi wanita yang berbeda. Bahagia dengan kehidupannya dan tak ingin bicara denganku. Aku tak tahu kapan kami akan bertemu lagi atau mungkinkah akan bertemu. Percakapan dengan menggunakan fasilitas Yahoo Messanger akan jadi wadah basa – basi. Yah, tapi lambat laun aku akan terbiasa melupakan kerinduan pada mereka.

    Sayonara, Genta chan!” salam Mimi ringan seperti biasa, seraya membungkuk hormat.

    Ja Sayonara, Mimi Chan!” balasku dengan membungkukkan tubuh seperti kebiasaan orang Jepang. Aku tersenyum. Menahan keinginan memeluk boneka mungil itu.

    Bekasi, 30 September 2012

    (Nuralam, Robindrani. 2012. "Di Tokyo Kita Bertemu," Japan Love Story, Kumpulan Cerpen.  Jakarta: Pena Meta Kata)


    (c) Copyright 2010 lampu bunga. Blogger template by Bloggermint